
Setiap kali mengiklankan buku, saya merasa risih karena merasa berjualan ilmu pengetahuan. Kadang ada yang bergurau, saya beralih profesi jadi salesman. Idealnya, menurut saya, ilmu pengetahuan harus disebarkan tanpa berbayar untuk kemajuan peradaban. Sayang sekali kita tidak hidup di dunia ideal seperti itu. Ada kertas yang harus dibeli untuk membuat buku dan ada tinta yang harus dibayar. Mesin untuk mencetak juga tidak gratis serta orang-orang yang bekerja di industri penerbitan dan percetakan memiliki anak yang harus membayar SPP. Singkat kata, penerbitan buku sudah menjadi industri mapan yang harus menghidupi banyak manusia.
Mengapa tidak gratiskan saja buku itu dengan meyebarkan dalam bentuk digital? Sebenarnya ini menjadi salah satu alternatif. Lalu siapa yang akan membayar upah kerja seorang penulis yang menghabiskan banyak sekali waktunya untuk menulis? Saya punya ide cerdas: seorang penulis harus bekerja di bidang lain juga untuk menghidupi dirinya sehingga tidak tergantung dengan penjualan buku. Seorang penulis bisa saja memiliki bisnis restoran yang menguntungkan atau ikut MLM yang membuat cepat kaya sehingga tidak peduli dengan hasil penjualan bukunya.
Tapi sebentar. Kalau saya bisa kaya dengan punya restoran dan ikut MLM, mengapa harus repot-repot menulis buku yang mewajibkan membaca berpuluh buku dan berbelas jurnal? Mengapa tidak tinggalkan saja pekerjaan menulis buku lalu berjualan makanan atau bisnis properti? Jika terjebak pada situasi membandingkan seperti ini, rasanya opsinya cukup jelas dan saya khawatir menulis buku tidak menjadi pilihan pertama.
Apakah penulis buku bisa kaya? Bisa! Andrea Hirata dan JK Rowling contohnya. Tapi mari kita simak bagaimana penulis buku memperoleh uang. Imbalan penulis buku adalah royalti yang besarnya biasanya 10% dari harga jual buku. Jika bukunya seharga 50 ribu maka penulis mendapatkan 5 ribu per eksemplar. Jika bukunya serius dan penting tetapi tidak bisa membuat pembaca “menjadi kaya dalam waktu 30 hari”, maka bisa laku seribu eksemplar dalam waktu 3 tahun sudah bagus. Artinya apa? Dalam tiga tahun penulis mendapat imbalan sebesar 5 juta rupiah saja. Tentu saja ini dengan asumsi semua buku terjual dan tidak ada teman yang minta buku gratis. Bayangkanlah berapa eksemplar buku harus terjual agar penulis buku bisa kaya?
Jika ada orang yang bisa mencari uang dari sumber lain tetapi tetap memilih untuk menulis buku, sesungguhnya yang demikian termasuk ke dalam golongan orang-orang yang nekat. Maka ketika saya menjual buku, alasannya jelas bukan untuk membayar cicilan rumah atau membeli bensin mobil karena itu jelas-jelas tidak cukup. Alasannya sederhana saja, untuk mengingatkan para pembaca tentang variasi penggunaan uang. Bahwa uang bisa juga dipakai untuk membeli buku selain untuk membeli pulsa. Bahwa sumber pengetahuan itu tidak cukup hanya lewat twitter atau notes di Facebook atau artikel di Wikipedia. Bahwa usaha untuk menyebarkan ilmu pengetahuan itu memerlukan apresiasi karena penulis pada akhirnya adalah manusia biasa saja.
Jika ada yang mengutamakan penggunaan uangnya untuk membeli smartphone dan tidak membeli buku maka itu adalah pilihan yang patut dihormati. Tapi jika ada yang gemar berBBM lalu minta dihadiahi buku gratis maka itu sesungguhnya sama dengan meminta subsidi BBM kepada penulis yang kenyataannya tidak bisa hidup dengan royalty 10% dari kerja siang malamnya. Seorang penulis yang memberikan buku gratis kepada seseorang adalah yang telah berpikir melampui ekonomi dan orang itu pastilah begitu istimewa. Maka menjual dan membeli buku sesungguhnya lebih dari sekedar hitung-hitungan ekonomi. Ini adalah proses pendidikan itu sendiri.
“Tapi jika ada yang gemar berBBM lalu minta dihadiahi buku gratis maka itu sesungguhnya sama dengan meminta subsidi BBM kepada penulis yang kenyataannya tidak bisa hidup dengan royalty 10% dari kerja siang malamnya. Seorang penulis yang memberikan buku gratis kepada seseorang adalah yang telah berpikir melampui ekonomi dan orang itu pastilah begitu istimewa.” — sangat sepakat dengan ini, kawan. 🙂
Things like this should go viral. Sometimes people mistake our kindness by thinking that they deserve everything of our sweat. Even people who don’t really know us think they should be given a book with our signature in it. Goodness gracious, keramahtamahan salah kaprah. 🙂
Subhan Zein
Mantabs penuh dengan filosofi mas, thanks sudah mengingatkan utk membeli buku lagi. Dapat salam dari ade mas…
betul pak,, setuju..
doain novel ku diterbitkan ya bli…. udah setahun tapi belum ada kabar, kabar terakhir udah masuk shortlist, tapi belum ada kelanjutan. ini lagi nulis buku ajar, tapi kesibukan kerja buat calon buku gak kelar juga. memang harus disiplin luar biasa untuk buat buku disamping pekerjaan utama yang juga bikin gak bernafas 🙂 btw, kasih tau dong strategi pengaturan waktu dan mood dalam menulis buku 🙂
Aku doakan Dev 🙂
Bagi waktu? Wah aku bukan orang yg tepat untuk bernasihat ini he he. Mengalir saja 🙂
hmmm sangat menyentuh untuk mengubah mindset yg selama ini ada……
kalo di luar negeri bukunya dah di jual melalui ebook pdf juga, cuman di indonesia kurang populer karena sepi peminat , sepi pasar, ato banyak pembajakan …:D … ada cita2 untuk membangun publisher online. semoga aja bisa kesampaian .. mampir2 ke http://www.lombokmedia.com ya bli kalo ada waktu luang ….
Di luar negeri mana? Timor Leste? Myanmar? Somalia? he he.
Indonesia juga sudah menjual buku digital kok. Mizan salah satunya. OK nanti saya mampir.
luar negerinya yg negara maju om hahaha….us, europe.
amazon dengan kindle book nya, google dengan readernya.www.packtpub.com ini langgananku ….hihihi….dll
Ya kita perlu lebih banyak pihak yang mau menerbitkan digital book.
Btw, perlu kriteria yg pas jika bicara ‘negara maju’. Kalau bicara Eropa, hanya ada 6 negara yg lbh baik dari Indonesia dalam hal GPD yaitu Jerman, Prancis, UK, Russia, Italia, dan Spanyol 🙂 http://www.indexq.org/economy/gdp.php
Reblogged this on tofaninoff wordálana.
benar sekali pak, ada beberapa komponen yang harus dibayar dalam penerbitan buku. saya setuju sekali dengan pendapat pak andi.
jerih payah dalam menuangkan ide dalam bentuk buku hendaklah di apresiasi apalagi kita punya keinginan untuk mencari ilmu yang lebih.
Terima kasih Nani 🙂
Tarik napas dalam-dalam. ternyata pola pikir kebanyakan saudaraku masih sempit, selalu suka yg gratis.
Saya dukung mahakarya, Pak I Made Andi Arsana – cukup beli di tiko buku terdekat. Lalu membaca tiap kata-kata yang meracuni otak tuk belajar dan keliling dunia beneran.
bagijku, buku-buku itu harus dalam bentuk fisik dan tak begitu suka dalam bentuk di gital, karna dapat di coret atau tandai informasi penting, apalagi tanah air sering kehilangan daya listrik (pemadaman bergilir PLN – earth hour). Sedangkan journal lebih sering di print sebelum di telaah lebih dalam, hehehe
Yang saya kagumi dari seorang penulis, wawasan yang luas dan wibawa tinggi saat bertututur kata.
Mohon maaf saya sering baca gratis info ausie di Blog Bapak I Made Andi Arsana
Terima kasih Mas Kharis 🙂
setuju pak, kalau buat yang ga jelas aja berani mengeluarkan uang banyak, masa untuk hal penting e.g cari buku buat pengetahuan yang jumlahnya lebih kecil dari pengeluaran lain aja ga bisa?
hehe
Pandangan yang baik. Terima kasih Novi 🙂