Pernahkah kisanak rasakan menjadi murid baru di sebuah perguruan? Cobalah menjadi murid baru di Sydney dan datanglah dari kota-kota kecil di Indonesia ke kota megapolitan Sydney. Mereka yang datang dari Jakarta atau kota besar lainnya mungkin akan terpana. Bukan terpana karena kemewahan dan kemegahannya tetapi karena kesepiannya dan hingar bingarnya yang tak sehebat Ibukota kita.
Jika kisanak belum pernah ke negeri seberang, terkejutlah karena tanah rantau tak jauh berbeda dengan ibu pertiwi. Bahwa globalisasi itu niscaya. Tempelan merek barang keseharian di pinggir jalan di Tabanan, tak jauh berbeda dengan semarak umbul-umbul di Kingsford. Tapi cobalah rasakan manusia-manusianya yang berbeda. Mereka menuggu lampu berpijar hijau untuk menyeberang jalan dan sabar menunggu bus di halte yang sudah diharuskan. Mereka berjalan tanpa perlu menoleh ketika melintasi jalanan yang dicat loreng putih. Mereka hidup dalam kepastian. Maka jangan heran jika kecelakaan bisa terjadi dengan hebat dan mengakibatkan celaka 13 jika satu saja dari mereka tidak mengikuti kaidah. Kepastian yang memanjakan itu bisa membuat mereka tidak waspada. Berbeda dengan kita yang senantiasa siaga. Kita tidak melewati lampu hijau dengan santai karena selalu memberi ruang bagi pelanggar dari sisi lainnya. Kita tidak menyeberang jalan di zebra cross dengan tenang karena selalu menoleransi mobil yang tetap melaju dengan kecepatan sama dari dua arah berbeda. Kita hidup di negeri yang mendidik kewaspadaan tinggi.
Cobalah melintas di depan sebuah rumah di malam hari maka terpanalah dengan lampu yang menyala sendiri seakan pemiliknya baik hati memberi penerangan. Atau berjalanlah di tepian Anzac Parade di Kingsford maka akan ada dua bahasa yang sering digunakan: Indonesia dan Jawa. Tidak saja percakapan yang sangat khas Jakarta dan Jawa Timuran, para perempuan berjilbab melenggang dengan tenang di bus atau taman-taman kota. Sementara itu, di kampus tak ubahnya Hong Kong karena para sahabat berkulit kuning dan bermata sipit mendominasi. Tapi jangan buru-buru menuduh mereka orang China, Jepang atau Korea. Bisa jadi mereka adalah generasi migran ketiga yang Bahasa Inggrisnya bahkan sudah lebih Aussie dibandingkan para bule berkulit putih yang berkeliaran di Chatswood atau Cabramatta.
Saat menengok Sydney Opera House silakan membandingkan dengan Keong Mas di Jakarta dan berpikirlah bahwa gedung berwibawa itu tidaklah sebesar yang kisanak bayangkan sebelumnya. Memang cerita dan imajinasi kita yang telah menghadirkan gambar dan bayangan yang dramatis. Ini mirip dengan kekecewaan kita akan Ferry Fadli yang memerankan Brama Kumbara di tahun 1980an. Lelaki bersuara berwibawa itu ternyata kurus kerempeng sementara kita mengharapkannya tinggi besar dan tegap serta tampan. Yang membuat kisanak kecewa adalah harapan yang berlebih dan dipupuk oleh iklan dan promosi yang membuai-buai.
Kisanak, nikmatilah kebaikan dan keramahan para pendahulu kita, murid Indonesia senior yang telah lebih dulu melanglang buana di negeri seberang. Kepada kebaikan mereka kisanak bersandar dan ketulusan mereka menunjukkan jalan akan kisanak catat sepanjang hayat. Maknailah ketulusan mereka saat menunjukkan bagaimana caranya membuat sebuah rekening di Commonwealth Bank atau saat mereka memberi tahu tiket bus yang tepat untuk mengunjungi Pantai Maroubra. Atau saat mereka merelakan sebagian waktunya untuk memelopori perjalanan menjelajahi Sydney yang menawan hingga Taronga Zoo. Syukurilah kebaikan kecil mereka yang telah mencarikan jadwal sebuah festifal di Darling Harbour karena tanpa itu, akan ada banyak kegembiraan dan keceriaan yang terlewatkan. Nikmatilah perjalanan dengan Ferry dari Circular Quay dekat Sydney Opera House di sepanjang teluk yang tenang. Lalu turunlah dan susuri pinggiran dermaga yang dipadati kedai-kedai yang menawarkan berbagai rupa hidangan. Cobalah duduk di pinggir dermaga, memandang bebek kuning raksasa yang menjadi ikon Sydney Festifal. Berpikirlah kemudian, mengapa ribuan manusia datang hanya untuk menyaksikan benda sederhana itu.
Di suatu pagi saat musim panas di penghujung Januari, naiklah Sydney tower di tengah kota dan pandangilah kota yang membentang 360 derajat. Tandailah Fox Studio yang menurut kelakar salah satu pemandunya merupakan yang terbesar di dunia, atau amatilah Sydney Olympic Park yang jadi perhatian dunia di awal millennium ketiga silam. Dari atas, akan kisanak saksikan juga kampus UNSW di Kensington yang berpintu 14, duduk tenang di pinggir timur Anzac Parade. Dari tower itu, turunlah menyusuri kota yang mulai temaram, lalu kembalilah ke Darling Harbour. Tanggal 26 Januari adalah Australia Day dan nikmatilah gegap gempitanya kembang api yang menutup parade kapal di dermaga yang cantik itu. Mungkin kisanak akan setuju dengan orang-orang Amerika dan Eropa yang datang dari jauh bahwa kembang api itu adalah yang paling cantik selama ini. Desiran angin laut, bahana musik menghentak yang dimainkan para marinir dan pijar dramatis kembang api adalah paduan yang menggelora. Kisanak tidak akan menyesali malam yang dihabiskan hingga larut sebelum beranjak menuju Hyde Park di Elizabeth Street dan melaju pulang dengan bus kota yang nyaman.
Rindukah kisanak dengan sambal terasi atau penganan kecil yang biasa ditemukan di Pasar Sambilegi di Jogja? Cobalah mampir di Toko White Lotus di dekat bundaran Kingsford dan temukanlah berbagai macam bahan dan makanan jadi yang akan mengobati rindu akan tanah air. Tidak usah bersusah payah menerapkan hasil IELTS yang di atas 6,5 itu, karena Koh Fendy seorang diaspora yang fasih berbahasa Indonesia. Di sebelahnya berdere-deret toko buah dan sayur, yang kasirnya juga orang Indonesia. Jika betanya “do you have prawn?” kepada penjaga IGA di Kingsford, bersiaplah mendapat jawaban “Oh, udang, mau berapa kilo?” Tapi jangan membeli kangkung setiap hari karena segenggam harganya AUD 1, setara dengan Rp 10 ribu. Tahan juga nafsu akan mangga apalagi papaya karena keduanya termasuk buah eksotis yang mahalnya tak terkira. Yang suka sambal sereh mungkin perlu berpikir mencari alternatif karena sebatang sereh bisa berharga AUD 2 lebih.
Di sebuah apartemen sederhana berkamar dua yang dekat UNSW, bersiap-siaplah merencanakan keuangan dengan sangat ketat karena tak mudah menemukan yang harganya kurang dari AUD 400 seminggu. Maka kisanak harus berbagi dengan teman, bila perlu sekamar berdua jika berhemat adalah agenda utama. Bersiap-siaplah pintar memasak meski harus terpaksa karena bahan mentah dan makanan jadi dipisahkan jurang harga yang menganga lebar. Berhati-hatilah setelah memasak karena sampah kering, sampah basah, sampah daur ulang harus dipilah dan dipilih. Jangan heran jika tetangga menergur kisanak karena membuang botol susu di tempat sampah yang tepat tetapi belum dicuci bersih dari bekas susu yang tersisa. Jangan merasa bersalah jika tak mengenal nama tetangga yang pintu apartemennya berciuman dengan pintu kisanak, meskipun tak pernah luput mengucapkan “good morning” dengan wajah ceria setiap pagi. Hidup di sini memang demikian, orang tak usil dengan urusan pribadi orang dengan tetap bisa beramah tamah dan menolong dengan cekatan.
Nikmatilah menjadi murid baru di Sydney. Tidak saja perpustakaannya yang senyaman mall-mall di Jakarta tapi karena koleksi bukunya yang memancing iri dan memuaskan dahaga para pemburu ilmu. Tidak saja karena kesempatan berguru pada para pendekar ilmu pengetahuan yang tersohor tetapi karena rasa syukur akan alam yang menghadirkan sekelompok burung gagak yang jinak di sepanjang jalan menuju kampus. Tidak saja karena berkah dari jurnal-jurnal pengetahuan kelas dunia, tetapi karena kebiasaan membuka dan menahan pintu untuk memastikan orang di belakang kisanak bisa masuk ruangan dengan leluasa sambil menyimak senyum manisnya yang mengatakan “thank you so much”. Nikmatilah menjadi murid di Sydney selagi bisa, sebelum ditenggelamkan oleh buku, jurnal dan dokumen kasus yang membuat kisanak panas dingin, grogi mendekati tenggat waktu penyerahan tugas yang terasa mengancam. Nikmatilah menjadi murid baru di Sydney, bukan saja untuk senyum simpul di masa depan, tetapi untuk cerita-cerita menggugah yang nanti kita kisahkan pada anak cucu yang akan berkelana lebih jauh dan lebih lama tanpa kehilangan cintanya pada Nusantara.
Oh my God, begitu menggugah…
kenapa aku bisa gagal tahun lalu? hiks.. tahun ini aku coba lagi..
Good luck, jangan menyerah ya 🙂
selalu menyenangkan membaca tulisan Pak Andi..informatif dan menginspirasi..
saya juga salah satu dari ratusan peserta yg menunggu hasil wawancara ADS kemarin, yg sangat terbantu melalui tulisan-tulisan Pak Andi… terima kasih banyak Pak..
dan yg paling mengejutkan? disebutkan pula Pasar Sambilegi, hehehe… (kampung saya di Sambilegi)…jadi kangen rumah di Jogja Pak..hehehe…
Salam 🙂
Wah sesama orang Jogja to 😉 Saya lebih sering ke pasar Sambilegi dibandingkan ke supermarket 🙂 God luck ya 🙂
Luar biasa pengalamannya pak,
salam kenal dari saya mahasiswa Universitas Riau manajemen informatika
🙂
saya jadi ingin kuliah di luar negeri
Saya doakan 🙂
Saya juga dari Riau… salam kenal…
Salam kenal Indra 🙂
Sydney… saya ingat heboh memaksa supir taksi untuk lewat Opera House saat saya pertama kali ke situ… dan saya foto dari jendela taksi yg berjalan.. tapi.. saya ga berhasil melihat gambarnya.. karena lensa kamera saya tiba-tiba basah.. hiksss..
Tuhan,kirim saya kesana lagiii.. plisssss… (berdoa yang kenceng)
Amiiin
Sangat indah sekali..pengen bgt kesana..sedang mencoba keberuntungan untuk bisa sekolah disana..tks pak andi.
Selamat berjuang Agus.
Tks atas ceritanya Pak Andi, insyaallah ke depannya saya akan banyak sharing dengan Bapak. Tahun ini saya mencoba tes beasiswa ADS 2014.
Good luck Aan.
Waaaah mas andy!!!!! Aku jadi kangen sydney lagiii!!!
Ayo main ke Sydney lagi Valen 🙂
Luar biasa Sydney 🙂
Maksudnya tulisan Mas Andi juga hehe
Makasih Mbak Vita 🙂
Sydney memang luar biasa, makanya bisa nulis yang agak bagus he he.
Wah,makasih tulisannya Mas Andi,In Shaa Allah sy akan kesan 19 Feb ini utk belajar di USYD,kalau ada kenalan n info USYD,bolee yaa..thank you..
Welcome 🙂 Ada kenalan. Silakan email saya, nanti saya kenalkan.
miss Sydney so much.. Makasi buat tulisannya mas Andi =)
Come here Grace 🙂
Bli Andi.. aduh.. bak shakespeare tulisan ini
I enjoyed it very much, apalagi kekecewaan yang sama akan Feri Fadly ‘Brama Kumbara’ juga muncul 🙂
Terima kasih, Mantili 🙂
thought provoking… Terimakasih inspirasinya… kerasa banget Pak Andi berbicara dengan hati… 🙂
Thought Provoking… Maturnuwun inspirasinya… Kerasa banget Pak Andi berbicara dengan hati…. adeeeeeeeemmmmmmmm
Pleasure is mine …
Wah kacau nih, kok saya jadi ketagihan baca tulisannya bung Andi ….
Ada MSG-nya Om Bayu 🙂 Hati2!
Waaa mas Andi jadi pengen balik lagi ke Sydney.. Tulisannya seperti membuat kembali ke masa lalu *jiahh* 😀 salam buat mba Asti.. 🙂
Ayo balik Dian 🙂 Ok nanti salamnya disampaikan ya. Selamat berkarya di UI.
amazing.
bapak andi, saya novi seorang pekrja d ritel yang masih menyimpan mimpi untuk bisa kuliah di luar negeri. Saya sering membuka announcement soal scholarship study to overseas. Tapi saya masih bingung untuk masuk ke situ. Mohon penjelasanya.
Silakan baca tulisan saya Beasiswa untuk orang awam. Cari aja ya 🙂
saya menangis iri membaca ini pak… perjuanganx masih jauh untuk layak menikmati semuax… T_T
iya pak andi, saya paling kaget dgn kebiasaan org asing yg menahan pintu untuk org setelah mereka 🙂 *berasa ditungguin gitu
RESPECT! bulek juga manusia, terkadang lebih manusiawi. Open Minded dan tanpa pamrih mungkin ya, walaupun cuma sekedar menahan pintu. bener hak tyas?
Pengalaman saya, tidak ‘terkadang’ tapi ‘lebih sering’ 🙂
jadi ingat pas waktu masih norak noraknya pas di Gong… Someday will visit Oz soon 🙂