Bercermin pada [kejayusan] Dilan: Sebuah Resensi Film

Sebuah twit dari seorang public figure yang saya ikuti pemikiran dan karyanya berbunyi “Dilan is officially the new AADC”. Dalam hati saya bertanya “apa ya?” Saya pengagum AADC dan selama ini belum menemukan tandinganya, meskipun memang harus diakui bahwa film Indonesia sepertinya sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Saya tahu, pendapat public figure ini subyektif tetapi saya penasaran. Hanya ada satu cara untuk mengetahui kebenarannya: nonton.

Continue reading “Bercermin pada [kejayusan] Dilan: Sebuah Resensi Film”

Mas Suripto, Wajah Amerika di Jakarta

Pagi-pagi sekali, di Hari Pancasila 2017, saya sudah berada di Ibukota Jakarta. Berjalan menyusuri Jalan Medan Merdeka Selatan, dari jauh saya sudah melihat orang-orang berbaris di depan Kedutaan Besar Amerika. Ingatan saya melayang ke suatu hari satu dekade silam.

Jakarta, 20 Februari 2007
“Jangan berteduh Pak! Baris yang rapi!” saya terkejut mendengar teriakan itu. Seorang lelaki berseragam kecokelatan berteriak dari jauh memberi perintah kepada seorang lelaki usia 50an tahun yang berpakaian rapi. Lelaki dalam antrian itu hendak berteduh sejenak dan keluar dari antrian yang telah mengular. Matahari yang mulai hangat rupanya membuat lelaki yang telah matang itu merasa kepanasan. Tak ayal, teriakan lelaki yang memasang tampang sangar itu mengurungkan niat lelaki malang itu. Sementara saya yang ada tidak jauh dari lelaki itu merasakan ketidaknyamanan. Amerika memang kejam. Satpam di kedutaannya di Jakarta saja kejam sekali.

Continue reading “Mas Suripto, Wajah Amerika di Jakarta”

Mengingat Ibu Rita, Rektor Perempuan Pertama UGM

Di tahun 2010 saya menulis sebuah artikel berjudul Kartono untuk memberikan kritik satir pada dunia tentang marjinalnya peran kepemimpinan perempuan. Pada artikel yang berlatar waktu masa depan itu saya menulis bahwa UGM saja, sebuah universitas terbesar di Indonesia, tidak pernah dipimpin perempuan sampai 100 tahun usianya. Di tahun 2014, kritik saya itu runtuh gugur karena munculnya sebuah kebenaran baru. Prediksi satir saya tidak menjadi nyata. Sejak November 2014, seorang perempuan bernama Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D mendapatkan hak penuh untuk kami panggil sebagai Ibu Rektor UGM.

Continue reading “Mengingat Ibu Rita, Rektor Perempuan Pertama UGM”

Jika Pejabat Negara Tidak Bisa Ngomong Inggris

Dosakah jika pejabat negara tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik? Tentu saja tidak. Bahasa Inggris bukan bahasa kita. Dia juga bukan bahasa resmi di Indonesia. Bukan juga bahasa pengantar pendidikan dan penyelenggaraan negara. Semua dokumen resmi negara dalam Bahasa Indonesia. Semua siaran TV, buku, lagu dan sebagainya, hadir dalam Bahasa Indonesia juga. Tidak ada alasan mendesak untuk fasih berbahasa Inggris. Benarkah demikian?

Saya kerap menghadiri forum internasional yang mempertemukan perangkat negara dari berbagai bangsa, termasuk Indonesia. Salah satu yang pernah saya ikuti adalah Maritime Security Desktop Exercise (MSDE) yang mempertemukan para penegak hukum di laut dari berbagai negara. Hingga 20an negara turut berpartisipasi dalam sebuah acara MSDE sehingga diskusinya sangat menarik. Yang selalu menggelitik saya adalah minimnya kontribusi orang Indonesia dalam diskusi tersebut meskipun peserta terbanyak selalu dari Indonesia karena diadakan di Indonesia.

Continue reading “Jika Pejabat Negara Tidak Bisa Ngomong Inggris”

Mobil Mogok

Matahari terik, tepat di atas kepala ketika mobil kami tiba-tiba mati dan tidak bisa dihidupkan di Jalan Sudirman di depan BCA, Yogyakarta. Kami yang menuju tempat kondangan pernikahan jadi panik. Saya coba hidupkan berkali-kali tidak berhasil. Sementara itu, mobil di belakang kami mulai tidak sabar. Satu per satu dari barisan mobil itu membunyikan klakson mereka. Makin lama makin tidak sabar dan kian liar. Lengkingan suara klakson itu membuat kami makin panik.

Continue reading “Mobil Mogok”

Beda Waktu

Jakarta, 10 Januari 2000
Ini hari adalah akhir minggu pertama aku kerja praktik. Beruntung sekali aku bisa kerja praktik di sebuah perusahaan besar yang diincar oleh hampir semua temanku. Meski merasa bangga, aku juga terkejut. Ternyata perusahaan besar itu tidak sebagus yang aku duga. Sistemnya masih konvensional, birokrasinya lambat. Dalam rapat tadi siang, aku dilibatkan untuk mendengar dan belajar sistem di perusahaan itu. Aku menyimak dengan antusias.

Tiba giliran aku diberi kesempatan berbicara, aku manfaatkan dengan baik. Aku memberi kritik pedas dan tajam kepada manajemen. Aku sampaikan bahwa banyak sekali praktik di kantor itu yang tidak sesuai dengan kaidah. Dengan lantang aku sampaikan kritik dan desakan untuk segera berbenah. Aku tahu, ada beberapa orang yang merasa tertampar dengan komentar itu, tapi aku tidak peduli. Kebenaran harus disampaikan dan mereka memang harus ditampar agar sadar. Aku yakin kehadiranku di sana akan membawa perubahan signifikan.

Budi “the Coolest” Mulyana

Continue reading “Beda Waktu”

Tips Presentasi: Sepuluh Intermezzo

Intermezzo atau icebreaker sangat penting dalam persentasi. Fungsinya untuk mecairkan suasana yang tegang, terutama di awal presentasi atau mengajak kembali pemirsa untuk berkonsentrasi pada presentasi kita. Ada sepuluh tips intermezzo yang biasa saya pakai.

andisenpi

  1. Soal nama
    Intermezzo ini paling sering saya gunakan. Pelafalan nama saya dalam Bahasa Inggris yang bisa berarti “Saya membuat Andi Arsana [I Made Andi Arsana]” sangat sering saya jadikan bahan kelakar. Hingga hari ini, belum pernah gagal. Selalu ada sebagian besar, jika tidak semua, pendengar yang tertawa dan akhirnya terbawa.

    Cara saya menyampaikan kelakar tentang nama ini bermacam-macam. Kadang saya mulai dengan mengutip kejadian kecil saat ada peserta yang bertanya soal nama saya lalu saya ceritakan bagaimana saya menjelaskan pada peserta itu. Kadang saya memulai presentasi dengan mengatakan “I want to make a clarification regarding lingering question about my name”, seakan-akan itu masalah serius. Cara kedua biasanya saya sampaikan saat menjadi pembicara kunci dan dengan asumsi bahwa ada cukup banyak orang yang sudah pernah melihat/mendengar nama saya.

    Mereka yang namanya hanya satu kata, misalnya “Suprapto” atau “Parjono” atau yang lain, bisa berkelakar dengan mengatakan “I am someone without last name” atau “with my one-word name, I cannot even have an email” atau “I need to repeat my one-word name so I can have a surname”. Bagi yang namanya berarti hal lain dalam bahasa Inggris seperti “Yuni” (kata yang sama dalam bahasa Inggris berarti university) “Dedi” (daddy = ayah), “Yugo” (you go, I go), “lukman” (look, Man!) dan lain-lain bisa menjadikan namanya sebagai bahan kelakar.

  2. Pepatah/ungkapan/nasihat
    Dalam kuliah tamu yang saya berikan di Kamboja beberapa waktu lalu, saya menghadapi para petinggi dari Asia-Pasific yang ahli di bidangnya ada praktisi kawakan. Saya merasa perlu untuk menegaskan bahwa saya tidak ingin menggurui mereka. Untuk itu saya mengutip pepatah “menggarami lautan”. Saya mulai dengan menampilkan sebuah slide bergambar laut dan garam lalu berkata “In Indonesia, we know a saying ‘salting the ocean’, which means blah blah. I am not salting the ocean today and I hope I won’t sound like preaching”. Kutipan itu sanggup membuat peserta yang sebagian besar dari Asia tersenyum positif dan merasa nyaman.
  3. Apresiasi pada panitia
    Betapapun sederhananya, selalu penting untuk mengapresiasi panitia yang telah mengundang kita. Saat berbicara di Kamboja, saya bilang “I have to thank ReCAAP and especially Executive Director Kuroki for this invitation. Because of you, Sir, I am stepping my feet for the first time on the land of Cambodia.” Dalam acara yang beda lingkupnya, pujian kepada panitia atas kerja keras mereka sangat perlu disampaikan. Misalnya, “panitianya gigih sekali dan sangat bijaksana saat memenuhi permintaan saya yang kadang menyulitkan”. Saat diundang di UAD Jogja, saya sengaja memotret sebuah tanda bertuliskan nama saya di tempat parkir yang disediakan khusus untuk mobil saya. Foto itu saya masukkan menjadi slide pertama saat presentasi sambil memberikan pujian akan keseriusan panitia. Tentu saja panitia senang mendapat apresiasi seperti itu. Ada banyak cara memberikan apresiasi kepada panitia.
  4. Apresiasi pada hadirin
    Presentasi adalah tentang presenter dan pendengar/hadirin. Sebagus-bagusnya komunikasi serta persiapan pembicara dengan panitia, kesuksesan sebuah presentasi tetap akan dinilai oleh hadirin. Maka dari itu, membuat hadiri tertarik, merasa nyaman, dan terutama merasa penting/dihargai sangatlah penting.

    Jika presentasi di hari libur (Sabtu atau Minggu), saya biasanya mulai dengan kalimat “jika di hari Minggu, biasanya anak-anak muda memilih untuk tidur lebih lama dan bangun lebih siang, para pemenang seperti kalian ini memilih untuk ada di sini” sambil menunjuk mereka dan selalu disambut dengan tepuk tangan. Jika sudah dimulai dengan pujian yang membuat hadirin nyaman dan merasa dihargai maka berikutnya pembicara seakan punya ‘hak’ untuk meledek dan megolok-olok mereka dalam batas wajar. Ledekan itupun akan disambut tawa dan nuansa yang positif.

    Apresiasi kepada hadirin juga bisa berupa pujian pada mereka yang datang dari jauh atau menempuh perjalanan sulit. Jika pesertanya senior, bisa sampaikan apresiasi atas kebijaksanaan mereka untuk rela mendengar pembicara yang lebih junior. Jika yang hadir rekan-rekan sejawat atau orang dengan profesi dan keahlian yang mirip, bisa mengatakan bahwa “saya ada di sini karena kebaikan hati Bapak Ibu untuk memberi saya kesempatan berbagi, meskipun belum tentu lebih ahli.”

  5. Kejadian lucu/menarik
    Saat datang ke tempat presentasi, kemungkinan akan ada kejadian lucu atau menarik yang kita alami. Hal ini bisa kita ceritakan di awal presentasi untuk mencairkan suasana. Saat presentasi di Siem Reap beberapa waktu lalu, saya dikira orang Kamboja oleh resepsionis hotel. Saya sudah memberinya paspor tetapi dia tidak memperhatikan dan langsung nyerocos pada saya dalam Bahasa Khmer. Saya tertegun dan pasang wajah ‘bloon’ sambil menyampaikan bahwa saya orang Indonesia dan tidak bisa Bahasa Khmer. Spontan mbak resepsionis itu minta maaf dan mengatakan saya mirip orang Kamboja. Saya menjawab sopan dan berkata “well, you look like Indonesian” yang membuatnya tersipu malu.

    Kejadian yang menimpa saya di meja resepsi itu saya ceritakan saat presentasi. Hadirin tentu saja tertawa karena rupanya mereka bisa melihat, saya memang nampak seperti orang Kamboja. “I might look like a Cambodian but I am not. Believe me!” kata saya menegaskan sok serius dan disambut tawa hadirin. Kejadian menarik lainnya tentu banyak, seperti tentang salah paham bahasa, tentang tanda di toilet yang tidak biasa, tentang alat transportasi yang tidak lazim atau bahkan ekstrim, tentang toilet Jepang yang hangat, dal lain-lain.

  6. Mengolok-olok diri sendiri
    Lelucon yang paling aman dan hampir selalu efektif adalah mengolok-olok diri sendiri. Saat presentasi di Jakarta sepuluh tahun silam, panitia mengira saya asisten pembicara. Mereka tidak menanggapi saya semestinya ketika saya hendak menyerahkan file presentasi. Kejadian itu saya ungkap saat presentasi dengan mengatakan “saya sadar, tampang saya memang kurang meyakinkan”. Pak Jokowi juga sering berkelakar yang mengolok-olok dirinya sendiri dengan menceritakan kejadian ‘memalukan’ ketika menjadi pembina upacara di awal-awal masa jabatannya sebagai Walikota Solo. Hal yang sama dilakukan Pak Dino Patti Djalal terkait cerita sopirnya yang lebih gagah darinya saat menjadi Duta Besar RI di Washington. Mengolok-olok diri sendiri itu aman, namun hanya bisa dilakukan oleh orang yang percaya diri.
  7. Interaksi dengan peserta atau panitia
    Inti dari sebuah presentasi yang baik adalah setiap orang merasa terlibat dan penting perannya. Hal ini bisa diwujudkan melalui interaksi dengan pendengar atau panitia. Di sebuah acara seminar beasiswa, panitianya pernah mengalami kepanikan karena LCD tidak bekerja dengan baik. Pembicaraan saya jadi tersendat. Saya pun seseungguhnya kecewa dan ada rasa tidak nyaman, menyesalkan mengapa panitia tidak melakukan persiapan dengan baik. Pilihannya ada dua, saya jadikan itu momen untuk menunjukkan kekesalan atau harus menyelamatkan situasi. Saya sampaikan “saya paham, tadi panitia pasti sangat panik ketika LCD tidak berfungsi. Saya kagum pada kesabaran mereka untuk tetap bekerja memperbaiki sampai akhirnya bisa berjalan lancar. Kita beri tepuk tangan yang meriah pada panitia kita yang keren hari ini.”

    Akan lebih mudah jika ada peserta yang kita kenal dan pernah mengalami interaksi personal sebelumnya. Misalnya, kita bisa mmengatakan “saya sudah mengenal Pak Budi, yang duduk di depan ini sejak 20 tahun lalu. Terus terang rasanya agak aneh karena saya harus ada di depan Bapak sekarang ini. Matur nuwun sudah datang ya Pak.”

    Kadang kita juga berbicara di depan orang-orang yang kita kenal sejak lama. Ini bisa jadi bahan intermezzo yang baik, misalnya dengan mengatakan “di sini juga ada Mas Indro, kawan baik saya sejak belasan tahun. Beliau pasti merasa aneh karena harus mendengarkan saya, padahal zaman dulu saya terus yang harus mendengarkan dia.” Dalam sebuah acara di Jakarta, saya juga pernah tampil di depan sahabat-sahabat saya ketika kuliah. Saya meyapa mereka dengan nada agak nakal “Mas Nashihun ini sahabat saya sejak lama, sekarang sudah jadi pengusaha sukses padahal saya tahu beliau nggak pinter-piter amat” dan disambut gelak tawa hadirin. Candaan yang demikian hanya bisa disampaikan jika sangat akrab dan sebaiknya ditutup dengan pernyataan positif. Saat itu saya bilang “meskipun saya tadi membully beliau, kenyataannya, beliaulah yang paling sering membantu saya saat ini jika perlu dana untuk penelitian.”

  8. Kejadian atau fenomena umum yang diketahui hadirin
    Intermezzo yang aman dan efektif adalah tentang topik yang diketahui semua orang. Makanya, kejadian atau topik umum menjadi pilihan yang baik untuk dijadikan intermezzo. Topik-topik yang bisa dipilih misalnya pilkada, kasus kejahatan yang sedang menjadi topik nasional, kejadian yang menyangkut selebriti, kejadian lucu yang sedang viral di media sosial, atau kebijakan nasional yang sedang menjadi buah bibir. Hal ini bisa diungkapkan dengan cara jenaka sehingga mengurangi sensitivitas yang ditimbulkan.

    Jika presentasi di suatu daerah di Indonesia, hal-hal yang menjadi pembicaraan di daerah itu bisa dijadikan intermezzo. Jika merasa nyaman, isu politik atau keresahan sosial juga bisa dikemukakan. Misalnya “orang Tabanan memang seniman semua ya, bukan cuma pagar tembok dan Pura, jalan juga diukir” untuk mengkritik jalan yang rusak. Bisa juga berkelakar tentang makanan khas daerah tersebut, misalnya mengatakan “I wake up a little bit late, I got drunk by kimchi, last night” jika presentasi di Korea.

  9. Keterkaitan dengan pembicara lainnya
    Memuji pembicara lain adalah intermezzo yang aman dan positif. Tidak pernah salah. Akan lebih baik lagi jika bisa mengaitkan topik yang kita bicarakan dengan topik yang dibicarakan pembicara lain. Jika belum kenal baik, sebaiknya selalu menyampaikan hal positif, bukan hal negatif. Kadang ada pembicara yang menunjukkan kesan rivalitas atau persaingan dengan pembicara lainnya.

    Naluri persaingan bisa muncul dalam bentuk pembelaan atau menjelek-jelekkan pembicara lainnya, atau sekedar untuk menunjukkan dia lebih baik dari pembicara sebelumnya. Misalnya, kalimat yang sebaiknya dihindari adalah “apa yang disampaikan Bapak X yang berbicara sebelumnya itu keliru dan saya harus koreksi.” Cara yang baik mengungkapkan koreksi misalnya, “apa yang disampaikan Bapak X sangat menarik dan memberi wawasan baru bagi kita semua. Saya tertarik, terutama tentang poin A karena kebetulan saya juga mendalami hal itu. Saya tertarik mendiskusikan ini nanti karena ada perspektif lain yang saya dapatkan dibandingkan yang saya ketahui selama ini.” Intinya, tidak ada yang lebih aman dari pujian. Setidaknya di kesempatan pertama.

  10. Soal honor
    Soal honor tentu sensitif tetapi bisa jadi bahan intermezzo yang baik jika dikemas dengan cantik. Misalnya dengan mengatakan “saya harus pastikan materinya tepat 15 menit karena kalau tidak honor saya akan dipotong.” Jika Anda menjadi moderator, soal honor juga bisa menjadi bahan kelakar yang baik. Misalnya dengan mengatakan “saya tetap harus mengenalkan Pak Joko sebagai pembicara meskipun beliau sudah terkenal. Jika tidak, honor saya tidak akan cair.” Jika Anda dibantu operator saat presentasi, kadang operatornya terlalu cepat menganti slide atau menjalankan animasi. Bagi saya yang sangat mengandalkan animasi yang tepat, hal ini bisa berdampak serius. Biasanya saya menggoda mereka dengan mengatakan “mencet yang bener, nanti honornya saya potong lho” atau “jangan cepat-cepat Mas, mau cari sampingan di tempat lain ya? Honornya kurang pasti nih”. Biasanya hadirin merespon dengan tawa.

Itulah sepuluh contoh intermezzo. Punya idea lain? Silakan komentar di bawah.

Merelakan Anies

Bahwa saya mengagumi dan meneladani Mas Anies Baswedan, itu adalah keniscayaan. Saya tidak membantah, tidak juga menyesalinya sampai detik ini. Anies adalah pribadi yang padanya saya belajar banyak hal dan tetap akan terus belajar. Bahwa dia punya kelamahan dan tidak sempurna, tentu tidak ada satupun yang harus terkejut. Dan bahwa kini Mas Anies menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta, ini adalah kisah dan perihal yang lain.

avengers
Dipinjam dari dunia maya

Continue reading “Merelakan Anies”

Guru dan Murid

Jalanan di sekitar Thirroul, Wollongong sudah gelap dan udara dingin menyengat ketika saya berjalan menuju stasiun kereta. Di samping saya berjalan seorang lelaki kulit putih sambil memegang tali kendali seekor anjing yang berjalan enerjik di depannya. Anjing itu kelihatan sangat aktif sehingga lelaki itu sekali waktu harus menarik agak keras atau sekedar menahan tali kendalinya. Dari mulutnya tidak henti-hentinya keluar peringatan “Amber, slow down!” atau “Amber, no!” untuk mengendalikan anjing kesayangannya itu. Lelaki itu adalah guru saya ketika S2 dan S3. Clive Schofield namanya, seorang lelaki berkebangsaan Inggris.

Malam itu kami menikmati makan malam di rumahnya di Thirroul, tidak jauh dari kampus University of Wollongong, almamater S3 saya. Tiga hari sebelumnya, kami mengikuti sebuah kursus intensif terkait delimitasi batas maritim internasional. Kali ini, saya dan Clive adalah peserta kursus yang disajikan oleh seorang pakar dan praktisi dari Fugro, Kanada. Penat dan lelah setelah tiga hari kursus intensif akhirnya terbayar dengan sebuah makan malam yang akrab di kediamannya. Malam itu, makan malam kami hanya dihadiri empat orang: saya, Clive, Rob (trainer dari Kanada) dan Sandra (isteri Clive). Salmon panggang yang nikmat menjadi penutup yang sempurna. Selepas makan malam itulah, Clive mengantarkan saya ke stasiun kereta karena saya akan bertolak ke Sydney, menginap di rumah seorang teman.

Di sepanjang jalan, kami bercerita dan berkelakar. Saya sempatkan untuk mengingatkan dia bagaimana awalnya kami bertemu. Tiba-tiba saja ingatan saya melambung ke 12 tahun silam ketika pertama kali bertemu dengan Clive. Saya ingatkan dia pertemuan pertama kami, saya ingatkan dia soal panci dan alat dapur lain yang pernah dia berikan ke saya tahun 2004 dan segala macam hal yang kami lalui. “You were younger than I am now when you became my master degree supervisor” kata saya untuk menegaskan betapa mudanya dia dulu ketika menjadi guru saya pertama kali. Perjalanan penuh kelakar, tak terasa lagi bahwa kami adalah guru dan murid tetapi dua orang kawan yang setara. Pendidikan dan kesadaran memang menciptakan kesetaraan.

Beberapa minggu sebelumnya Clive mengirimkan email pada saya dan meminta saya datang ke Wollongong untuk mengikuti training. Dia mengatakan, semua biaya akan ditanggung dia. Tiket dan akomodasi untuk saya akan dibayarinya sampai tuntas. Saya paham, intinya cuma satu, dia ingin saya menemaninya mengikuti training itu, dengan harapan saya merekam lebih banyak pelajaran sehingga bisa ‘dimanfaatkan’ oleh dia secara positif di masa depan. Strateginya jitu, ajaklah lebih banyak orang belajar hal yang sama sehingga jika nanti ada kesulitan maka ada lebih banyak orang yang akan membantu. Bukankah ini cerdas?

Siapa yang bisa menolak tawaran ‘jalan-jalan’ ke almamater secara gratis. Saya langsung iyakan meskipun itu artinya harus menjadwal ulang beberapa kegiatan lain. Saya tidak melihatnya hanya sebagai kegiatan singkat tetapi peluang kerjasama jangka panjang. Clive adalah ‘Dewa’ di bidangnya. Bersahabat erat dan dekat dengan ‘Dewa’ bisa mendatangkan banyak peluang. Namun lebih dari semua itu, bertemu seorang sahabat yang secara tulus ingin saling mendukung tentu saja tidak pernah salah. Itulah alasan saya terbang menemui musim semi di Wollongong. Dua tahun setelah menyelesaikan S3, kembali ke Wollongong terasa seperti pulang ke rumah sendiri.

You can leave me, I am good” kata saya beberapa menit setelah Clive menemani saya di stasiun kereta. Saya pikir dia harus segera pulang mengingat dia sebenarnya sedang pemulihan dari sakit dan Sandra, isterinya, serta dua anaknya ‘tertinggal’ di rumah. “That’s okay, I will wait until your train comes” katanya menegaskan. Perhatian sederhana ini menjadi tanda hubungan yang baik.

Beberapa menit kemudian, kereta saya tiba. Dengan cepat saya bergegas masuk gerbong disaksikan oleh Clive yang masih menunggu. Dari jendela kereta saya lihat dia melambaikan tangan sambil menahan Amber, anjing kesayangannya yang mulai gelisah dan ingin segera beranjak pergi. Di kereta yang membawa saya ke Sydney, saya merenungkan sebuah hubungan yang erat. Jika ada yang bertanya apa tandanya hubungan seorang murid dan guru telah dimulai dan dibina dengan baik, maka malam ini adalah salah satu jawabannya. Hubungan antara guru dan murid yang melampui ruang-ruang ilmiah yang kadang sempit dan kaku atau sekedar sekat-sekat administrasi.

Stay tuned: Sepuluh tips berinteraksi dengan pembimbing/profesor

Pulang ke Indonesia

Yogyakarta, Awal Agustus 1996

id16Kami bertiga, calon mahasiswa UGM itu, berjongkok di dekat pagar tembok berwarna putih kusam. Pagar itu ada di depan sebuah rumah sederhana, milik seorang lelaki tiga puluhan tahun yang kami hormati. Beliau adalah dosen UGM yang telah menjadi ‘bapak asuh’ bagi kami bertiga dalam beberapa hari ini. Kami yang baru tiba di Jogja untuk menuntut ilmu, ‘diangkat’ anak oleh beliau dan diizinkan tinggal di rumahnya.

Peringatan Hari Kemerdekaan segera tiba dan kami bersemangat mengecat pagar tembok itu dengan warna putih. Kami bertiga, beberapa orang anak kos lain dan lelaki panutan itu bekerja sambil bermain dan berkelakar. Semua cerita dan lelucoh mengalir deras, penggal demi penggal tembok kusam itu berubah putih bersih dan bercahaya. Ini adalah pengalaman baru bagi saya. Mengecat tembok dengan semangat untuk peringatan hari kemerdekaan tidak saya temui di kampung saya di Bali.

Sore sudah mampir, pagar tembok sudah putih sempurna. Cahaya matahari membuatnya cerah berwibawa. Di sisi tembok itu menjulang umbul-umbul merah putih, silih berganti dengan bedera yang berkibar perlahan oleh angin sore yang mulai malas. Saya berdiri menatap, melepas penat yang segera berlalu demi menyaksikan nuansa merah putih yang berwibawa.

Wollongong, November 2013

Now, your thesis is done and you are ready to submit. Congratulation!” tiba-tiba lamunan saya buyar oleh kalimat berwibawa lelaki di depan saya. Kata-katanya mantap memberi selamat dan semangat. Wajah lelaki usia empat puluhan itu nampak serius meskipun selalu ada senyum di bibirnya. Dia duduk tenang dan santai di kursi sambil sesekali memutar tempat duduknya sehingga tubuhnya bergoyang kiri dan kanan secara wajar. Baru sadar lagi, saya memperbaiki posisi duduk di depannya, menyimak dengan seksama. Hari itu tidak biasa, kami tidak sedang membicarakan disertasi saya seperti minggu-minggu sebelumnya. Rupanya urusan disertasi sudah tidak lagi masuk dalam prioritasnya karena memang disertasi saya sudah rampung. Paripurna sudah sebuah tugas besar nan panjang. Hari itu, Prof. Clive Schofield, pembimbing saya, memanggil saya untuk urusan yang lebih dari sekedar disertasi.

Saya hanya tersenyum saja sambil berterima kasih ringan. Ada rasa tidak percaya, akhirnya proyek panjang itu terselesaikan. Pendidikan saya di Australia telah mencapai titik akhir dan saatnya untuk menyudahi perjalanan di Negeri Kangguru ini. Terbayang jelas dalam ingatan ketika saya tiba pertama kali di Sydney tanggal 14 Januari tahun 2004 dan artinya itu sudah berlalu satu dekade. Selama itu pula saya tidak pernah lepas dari Australia, mulai dari S2, penelitian atas prakarsa PBB, S3 dan bahkan Postdoc. Satu dekade ini saya telah menghabiskan waktu di Australia dengan status sebagai mahasiswa dan atau peneliti. Hari itu, saat Clive memanggil saya, drama sepuluh tahun perjuangan itu seperti diputar ulang dengan kecepatan tinggi.

What is your plan?” tanya Clive pada saya yang masih belum bisa menguasai keadaan dengan baik. Saya masih tersenyum saja, tidak berkata banyak. Saya hanya mengatakan “well…” sambil menganggukkan wajah dan tersenyum pertanda ada gejolak dalam hati yang mendesak dan tidak tuntas.

The door is always open for you, Andi” kata Clive. Dia kemudian melanjutkan bahwa jika saya berniat bekerja di University of Wollongong bersama dia maka kesempatan itu terbuka lebar. Ada berbagai topik penelitian yang bisa saya kerjakan dan Clive akan dengan senang hati bekerja dengan saya. Begitu dia menegaskan. “It is your call” katanya sambil tersenyum, menyerahkan pilihan itu kepada saya.

Mendapat tawaran dari seorang ‘Dewa’ di bidangnya untuk bekerja dan meneliti di sebuah institusi terkemuka Australia tentulah sangat menggoda. Di tengah kegalauan dan kekhawatiran untuk kembali ke tanah air karena terbayang akan terjadi perubahan drastis dalam hal budaya meneliti dan juga urusan finansial, tawaran Clive itu adalah godaan yang merangsang. Meski menawarkan itu, nampak jelas Clive mengenal saya dengan baik. Dia tidak memaksa, tidak juga ada kesan menakan.

I cannot thank you enough for everything you have done for me Clive” kata saya memulai dan dia tersenyum. “I appreciate your offer and I will treat this as an open opportunity. You know, I will go home to Indonesia” demikian saya sampaikan lalu berhenti sesaat. Wajahnya tidak terkejut meskipun saya melihat raut muka yang tidak biasa pada Clive. Entah apa itu. Dia hanya mengangguk dan tersenyum tanpa berkata, tanda mengerti apa yang saya sampaikan.

Clive seperti mendengar kata-kata yang tidak saya ucapkan dalam percakapan diam kami. Dia mungkin mendengar saya bergumam “Aku ingin pulang, mengecat pagar rumah yang mungkin mulai kusam. Aku ingin melihatnya putih cemerlang, di sela kibasan Sang Merah Putih yang tak tunduk oleh tikaman matahari sore yang temaram.”

Yogyakarta, 16 Agustus 2016