Jika Pejabat Negara Tidak Bisa Ngomong Inggris


Dosakah jika pejabat negara tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik? Tentu saja tidak. Bahasa Inggris bukan bahasa kita. Dia juga bukan bahasa resmi di Indonesia. Bukan juga bahasa pengantar pendidikan dan penyelenggaraan negara. Semua dokumen resmi negara dalam Bahasa Indonesia. Semua siaran TV, buku, lagu dan sebagainya, hadir dalam Bahasa Indonesia juga. Tidak ada alasan mendesak untuk fasih berbahasa Inggris. Benarkah demikian?

Saya kerap menghadiri forum internasional yang mempertemukan perangkat negara dari berbagai bangsa, termasuk Indonesia. Salah satu yang pernah saya ikuti adalah Maritime Security Desktop Exercise (MSDE) yang mempertemukan para penegak hukum di laut dari berbagai negara. Hingga 20an negara turut berpartisipasi dalam sebuah acara MSDE sehingga diskusinya sangat menarik. Yang selalu menggelitik saya adalah minimnya kontribusi orang Indonesia dalam diskusi tersebut meskipun peserta terbanyak selalu dari Indonesia karena diadakan di Indonesia.

Mengapa partisipasi orang Indonesia sangat rendah? Diskusinya dalam Bahasa Inggris dan teman-teman kita itu tidak fasih berbahasa Inggris. Tema diskusi yang berlangsung sangat penting dan itu membahas peran serta negara-negara dalam menangani keamanan laut di kawasan. Partisipasi yang rendah saat diskusi seakan-akan mencerminkan rendahnya kontribusi kita dalam menangani kemanan laut, padahal belum tentu demikian. Di lapangan, petugas kita mungkin sangat bagus dan cekatan serta berperan besar tapi semua itu tidak nampak karena mereka tidak bisa menceritakannya. Petugas kita mungkin punya banyak pengetahuan dan pengalaman yang lebih hebat dari petugas negara lain tetapi semua itu tidak muncul karena mereka tidak bisa menceritakannya. Saya sering kali merasa gemas menyaksikan itu.

Apakah semua itu terjadi karena memang kemampuan Bahasa Inggris mereka tidak memadai? Ternyata tidak juga. Ketika forum seperti itu difasilitasi dengan penerjemah, ternyata partisipasi juga tidak meningkat tajam. Tidak banyak dari teman-teman kita itu yang berinisiatif berbicara, berpendapat, apalagi berdebat secara sehat dalam diskusi. Berada di tengah-tengah orang dari berbagai negara tiba-tiba saja membuat mereka menjadi pemalu atau menerapkan dengan baik pepatah “air beriak tanda tak dalam”. Mereka yakin bahwa diam itu emas. Saya yakin, itu juga pernah terjadi pada kita. Saya dan Anda, para pembaca.

Ada masalah mendasar seperti yang pernah saya tulis sebelumnya. Kita mudah sekali takut berbicara di depan orang karena takut malu atau dipermalukan. Ini tidak lepas dari cara kita dibesarkan dan dididik sejak kecil.

Jika kembali pada pertanyaan mendasar, apakah dosa jika pejabat negara tidak bisa berbicara dalam Bahasa Inggris dengan baik? Tetap saja tidak dosa. Meski begitu, ada beberapa hal yang perlu diingat. Di era yang kian hari kian mengglobal, banyak hal yang tidak bisa kita putuskan sendiri dan harus melalui perundingan dengan negara lain. Kita harus menjaga kepentingan kita agar tidak tergilas oleh roda globalisasi. Bagaimana kita mempertahankan kepentingan Indonesia jika dalam diskusi dan negosiasi di forum dunia, kita bahkan tidak bisa secara baik menyampaikan gagasan atau keinginan kita dalam bahasa yang dipahami dunia? Lebih menarik lagi, ketika kita diberi kesempatan untuk menggunakan Bahasa Indonesia, ternyata kita juga tidak selalu bisa menyampaikan dengan tata bahasa yang mudah dipahami, memikat dan meyakinkan. Maka penerjemahan yang dilakukan oleh seorang professional sekalipun tidak akan bisa membantu banyak.

Kita tidak mau didikte oleh siapapun. Itu pasti. Kita tidak takut kepada negara manapun. Itu jelas. Kita tidak akan kompromi soal kedaulatan dan hak berdaulat bangsa kita. Itu tak diragukan. Di era damai seperti ini, semua itu tidak lagi dilakukan dengan angkat senjata tetapi dengan diplomasi. Perjuangan kita terjadi di meja-meja perundingan dan di ruang-ruang rapat yang mentereng. Kemenangan kita tidak lagi ditentukan oleh kemampuan kita bertahan di gua-gua bawah tanah dengan persediaan makanan seadanya. Kehebatan kita untuk melawan dominasi kekuatan bangsa lain tidak lagi ditentukan oleh seberapa banyak peluru yang bisa kita tumpahkan dalam sebuah perang.

Dalam interaksi antarbangsa, kedigdayaan kita kini ditentukan oleh kemampuan kita untuk menguasai dengan baik aturan-aturan dunia serta menyampaikannya secara meyakinkan untuk membela kepentingan kita di depan ratusan orang yang juga terbaik dari negaranya. Kehormatan kita ditentukan oleh pemahaman kita secara komprehensif atas isu-isu yang melanda dunia serta kecakapan kita untuk memformulasikan solusi ilmiah yang bersifat lintas disiplin lalu disampaikan dengan bahasa yang mencerahkan sehingga membuat kolega dari berbagai negara mengangguk tanda setuju.

Di forum-forum lintasnegara, keberadaan kita tidak lagi ditentukan oleh jumlah karena jumlah itu hanya membanggakan saat berfoto bersama tetapi segera tenggelam ketika hanya bisa senyum dan diam saat diskusi. Kehormatan kita ditentukan oleh keberanian untuk berdiri atau angkat tangan lalu berbicara dengan santun, diplomatis dengan menunjukkan pemahaman secara komprehensif lalu secara simpatik memperjuangkan kepentingan nasional kita. Kehormatan dan kehebatan kita tidak ditentukan oleh kemampuan kita untuk bergumam nyinyir di kerumunan orang Indonesia saat makan siang atau sekedar menggerundel di belakang saat menyaksikan presentasi kawan dari Malaysia sambil berkata “kalau itu sih, kita juga bisa”.

Apakah ini soal Bahasa Inggris semata? Nampaknya tidak. Kita harus tumbuh menjadi pribadi yang gemar belajar secara serius dan mendalam tentang sesuatu lalu mampu mengaitkannya dengan berbagai isu yang menjadi perhatian dunia. Dengan pengetahuan yang baik dan peran yang signifikan, kita akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, positif, hormat pada bangsa lain, sekaligus tidak merasa lebih rendah dari siapapun. Hal ini tentu tidak terwujud dalam semalam. Dari kecil, generasi Indonesia harus dibesarkan di lingkungan yang terbiasa mengapresisi, bukan mencela. Anak-anak kita harus dibiasakan berbicara untuk menyampaikan gagasan dengan baik, bukan untuk mengatakan bahwa dia paling benar dan yang lain salah tetapi untuk mengkonstruksi sebuah bangunan ide yang akan besar dan kuat karena berbagai gagasan yang disatukan.

PS. Jika kamu mahasiswa mahasiswa, coba bayangkan kamu sedang berada di sebuah gedung di Brussels, duduk melingkar di sebuah meja bundar dan di depanmu ada mahasiswa dari Oxford, Harvard, Cambridge, MIT, UNSW, NUS, UM. Renungkan dengan baik, apa yang akan kamu sumbangkan dalam sebuah diskusi yang membahas isu nano-technology, atau deradikalisasi, atau Brexit atau tata kelola laut dunia. Setelah jelas dan tegas kamu formulasikan kontribusi untuk dunia di bidang-bidang itu, silakan berkomentar tentang pejabat kita yang tidak cakap berbahasa Inggris.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

9 thoughts on “Jika Pejabat Negara Tidak Bisa Ngomong Inggris”

  1. Keren Bli, saya akan lakukan berbagai diskusi untuk memperkaya wawasan dan keberanian berargumen di depan umum. terima kasih atas tulisannya Bli Andi.

  2. …kok langsung ingat videonya menteri kehutanan yang sama pak Harrison Ford ya, hehe. miris memang melihat perwakilan kita rata-rata ‘melempem’ di ajang2 pertemuan dan diskusi internasional. budaya malu, kurang pede, dan diam saja masih terlalu kuat, sayang ya. tapi sudah ada kan beberapa generasi muda di pemerintahan yg jago bahasa inggris di pertemuan internasional. mudah2an semakin baik ke depannya.

  3. Jujur saja, saya adalah salah satu orang grogi ketika ketemu orang asing (bule). Ini disebabkan karena persoalan bahasa, takut tidak bisa ngomong dan dianggap memalukan. Dulu bahkan mungkin lebih parah, saya pernah beranggapan bahwa bule itu selalu lebih hebat, dalam segala hal. Tetapi pandangan itu mulai memudar saat tahun 2007an saya pernah bekerja 1 ruangan dengan dosen bule, ternyata dia masih katrok soal komputer dan internet. Pernah juga main bulutangkis melawan bule, penampilannya sangat atletis tapi mainnya acakadut, hehe. Kini saya lebih percaya diri, saya pikir orang luar itu juga manusia, sama seperti kita.
    Bahkan, kini di Bali sangat banyak bule yang makan di warung2 murah meriah, jadi pandangan bahwa bule selalu lebih hebat itu ternyata salah besar.

  4. Membiasakan diri untuk menyampaikan ide dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami bisa menjadi bahan untuk diskusi sehat, kita sudah diajari seperti itu sejak kecil, hanya saja seiring perubahan lingkungan tinggal, mungkin saja kita hanya lupa sedikit pak.

  5. Bli Andi, Bahasa Inggris saya rasa bukan lagi nilai tambah tapi nilai wajib. ini yang saya rasa, walau sudah dapat beasiswa namun bahasa inggris yang masih level beginner membuat sy harus merelakan kuliah di kampus Australia mengingat IELTS masih dibawah 6. Tulisan Bli Andi menyadarkan kembali bahwa saya musti bersiap dengan matang dalam bahasa Inggris setelah itu bermimpi untuk kuliah di luar negeri dan hadir di konfrensi. Terimakasih atas tulisan2 yang bernas dari Bli Andi.
    Salam hormat

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: