Restoran

Table fourteen ready for main, please!” Jo berteriak sambil menggotong tumpukan piring dan mangkok kotor di tangannya. Digeletakkannya piring dan mangkok itu di atas meja aluminium di sebelahku. Suara berisik menyentak seiring sendok dan garpu yang berserakan di atas meja. Tak sempat kuperhatikan lebih lama, tanganku sedang tak boleh berhenti menggosok ember plastik putih yang licin karena minyak. Air hangat cenderung panas mengalir dari keran membantuku mengenyahkan minyak yang susah pergi.

Continue reading “Restoran”

Guru dan Murid

Jalanan di sekitar Thirroul, Wollongong sudah gelap dan udara dingin menyengat ketika saya berjalan menuju stasiun kereta. Di samping saya berjalan seorang lelaki kulit putih sambil memegang tali kendali seekor anjing yang berjalan enerjik di depannya. Anjing itu kelihatan sangat aktif sehingga lelaki itu sekali waktu harus menarik agak keras atau sekedar menahan tali kendalinya. Dari mulutnya tidak henti-hentinya keluar peringatan “Amber, slow down!” atau “Amber, no!” untuk mengendalikan anjing kesayangannya itu. Lelaki itu adalah guru saya ketika S2 dan S3. Clive Schofield namanya, seorang lelaki berkebangsaan Inggris.

Malam itu kami menikmati makan malam di rumahnya di Thirroul, tidak jauh dari kampus University of Wollongong, almamater S3 saya. Tiga hari sebelumnya, kami mengikuti sebuah kursus intensif terkait delimitasi batas maritim internasional. Kali ini, saya dan Clive adalah peserta kursus yang disajikan oleh seorang pakar dan praktisi dari Fugro, Kanada. Penat dan lelah setelah tiga hari kursus intensif akhirnya terbayar dengan sebuah makan malam yang akrab di kediamannya. Malam itu, makan malam kami hanya dihadiri empat orang: saya, Clive, Rob (trainer dari Kanada) dan Sandra (isteri Clive). Salmon panggang yang nikmat menjadi penutup yang sempurna. Selepas makan malam itulah, Clive mengantarkan saya ke stasiun kereta karena saya akan bertolak ke Sydney, menginap di rumah seorang teman.

Di sepanjang jalan, kami bercerita dan berkelakar. Saya sempatkan untuk mengingatkan dia bagaimana awalnya kami bertemu. Tiba-tiba saja ingatan saya melambung ke 12 tahun silam ketika pertama kali bertemu dengan Clive. Saya ingatkan dia pertemuan pertama kami, saya ingatkan dia soal panci dan alat dapur lain yang pernah dia berikan ke saya tahun 2004 dan segala macam hal yang kami lalui. “You were younger than I am now when you became my master degree supervisor” kata saya untuk menegaskan betapa mudanya dia dulu ketika menjadi guru saya pertama kali. Perjalanan penuh kelakar, tak terasa lagi bahwa kami adalah guru dan murid tetapi dua orang kawan yang setara. Pendidikan dan kesadaran memang menciptakan kesetaraan.

Beberapa minggu sebelumnya Clive mengirimkan email pada saya dan meminta saya datang ke Wollongong untuk mengikuti training. Dia mengatakan, semua biaya akan ditanggung dia. Tiket dan akomodasi untuk saya akan dibayarinya sampai tuntas. Saya paham, intinya cuma satu, dia ingin saya menemaninya mengikuti training itu, dengan harapan saya merekam lebih banyak pelajaran sehingga bisa ‘dimanfaatkan’ oleh dia secara positif di masa depan. Strateginya jitu, ajaklah lebih banyak orang belajar hal yang sama sehingga jika nanti ada kesulitan maka ada lebih banyak orang yang akan membantu. Bukankah ini cerdas?

Siapa yang bisa menolak tawaran ‘jalan-jalan’ ke almamater secara gratis. Saya langsung iyakan meskipun itu artinya harus menjadwal ulang beberapa kegiatan lain. Saya tidak melihatnya hanya sebagai kegiatan singkat tetapi peluang kerjasama jangka panjang. Clive adalah ‘Dewa’ di bidangnya. Bersahabat erat dan dekat dengan ‘Dewa’ bisa mendatangkan banyak peluang. Namun lebih dari semua itu, bertemu seorang sahabat yang secara tulus ingin saling mendukung tentu saja tidak pernah salah. Itulah alasan saya terbang menemui musim semi di Wollongong. Dua tahun setelah menyelesaikan S3, kembali ke Wollongong terasa seperti pulang ke rumah sendiri.

You can leave me, I am good” kata saya beberapa menit setelah Clive menemani saya di stasiun kereta. Saya pikir dia harus segera pulang mengingat dia sebenarnya sedang pemulihan dari sakit dan Sandra, isterinya, serta dua anaknya ‘tertinggal’ di rumah. “That’s okay, I will wait until your train comes” katanya menegaskan. Perhatian sederhana ini menjadi tanda hubungan yang baik.

Beberapa menit kemudian, kereta saya tiba. Dengan cepat saya bergegas masuk gerbong disaksikan oleh Clive yang masih menunggu. Dari jendela kereta saya lihat dia melambaikan tangan sambil menahan Amber, anjing kesayangannya yang mulai gelisah dan ingin segera beranjak pergi. Di kereta yang membawa saya ke Sydney, saya merenungkan sebuah hubungan yang erat. Jika ada yang bertanya apa tandanya hubungan seorang murid dan guru telah dimulai dan dibina dengan baik, maka malam ini adalah salah satu jawabannya. Hubungan antara guru dan murid yang melampui ruang-ruang ilmiah yang kadang sempit dan kaku atau sekedar sekat-sekat administrasi.

Stay tuned: Sepuluh tips berinteraksi dengan pembimbing/profesor

Kembali ke Sydney

soh

Di tangga-tangga Sydney Opera House, aku duduk termenung. Sendiri dan merasa sepi di tengah keramaian. Jauh di sisi selatan, nampak gedung-gedung tinggi menjulang, angkuh berebut ruang yang dilatari langit biru, bersih tanpa noda. Sydney Tower nampak khas, mengingatkan orang-orang yang pernah gandrung dengan film animasi “Finding Nemo”. Di pelataran Sydney Opera House, orang berlalu lalang menikmati hari yang cerah dan sejuk. Meskipun matahari menikam bumi, nuansa musim dingin belum sempurna diambil alih musim semi. Bagi penduduk katulistiwa sepertiku, Musim semi masih menyisakan dingin yang menyengat. Matahari yang menikam dan hembusan angin dingin yang bersemangat adalah paduan yang menghadirkan kesejukan. Di sini, di tangga-tangga ini, aku terduduk menikmati. Memandang dan menjadi pengamat, berusaha tidak terlibat.

Continue reading “Kembali ke Sydney”

Pulang ke Indonesia

Yogyakarta, Awal Agustus 1996

id16Kami bertiga, calon mahasiswa UGM itu, berjongkok di dekat pagar tembok berwarna putih kusam. Pagar itu ada di depan sebuah rumah sederhana, milik seorang lelaki tiga puluhan tahun yang kami hormati. Beliau adalah dosen UGM yang telah menjadi ‘bapak asuh’ bagi kami bertiga dalam beberapa hari ini. Kami yang baru tiba di Jogja untuk menuntut ilmu, ‘diangkat’ anak oleh beliau dan diizinkan tinggal di rumahnya.

Peringatan Hari Kemerdekaan segera tiba dan kami bersemangat mengecat pagar tembok itu dengan warna putih. Kami bertiga, beberapa orang anak kos lain dan lelaki panutan itu bekerja sambil bermain dan berkelakar. Semua cerita dan lelucoh mengalir deras, penggal demi penggal tembok kusam itu berubah putih bersih dan bercahaya. Ini adalah pengalaman baru bagi saya. Mengecat tembok dengan semangat untuk peringatan hari kemerdekaan tidak saya temui di kampung saya di Bali.

Sore sudah mampir, pagar tembok sudah putih sempurna. Cahaya matahari membuatnya cerah berwibawa. Di sisi tembok itu menjulang umbul-umbul merah putih, silih berganti dengan bedera yang berkibar perlahan oleh angin sore yang mulai malas. Saya berdiri menatap, melepas penat yang segera berlalu demi menyaksikan nuansa merah putih yang berwibawa.

Wollongong, November 2013

Now, your thesis is done and you are ready to submit. Congratulation!” tiba-tiba lamunan saya buyar oleh kalimat berwibawa lelaki di depan saya. Kata-katanya mantap memberi selamat dan semangat. Wajah lelaki usia empat puluhan itu nampak serius meskipun selalu ada senyum di bibirnya. Dia duduk tenang dan santai di kursi sambil sesekali memutar tempat duduknya sehingga tubuhnya bergoyang kiri dan kanan secara wajar. Baru sadar lagi, saya memperbaiki posisi duduk di depannya, menyimak dengan seksama. Hari itu tidak biasa, kami tidak sedang membicarakan disertasi saya seperti minggu-minggu sebelumnya. Rupanya urusan disertasi sudah tidak lagi masuk dalam prioritasnya karena memang disertasi saya sudah rampung. Paripurna sudah sebuah tugas besar nan panjang. Hari itu, Prof. Clive Schofield, pembimbing saya, memanggil saya untuk urusan yang lebih dari sekedar disertasi.

Saya hanya tersenyum saja sambil berterima kasih ringan. Ada rasa tidak percaya, akhirnya proyek panjang itu terselesaikan. Pendidikan saya di Australia telah mencapai titik akhir dan saatnya untuk menyudahi perjalanan di Negeri Kangguru ini. Terbayang jelas dalam ingatan ketika saya tiba pertama kali di Sydney tanggal 14 Januari tahun 2004 dan artinya itu sudah berlalu satu dekade. Selama itu pula saya tidak pernah lepas dari Australia, mulai dari S2, penelitian atas prakarsa PBB, S3 dan bahkan Postdoc. Satu dekade ini saya telah menghabiskan waktu di Australia dengan status sebagai mahasiswa dan atau peneliti. Hari itu, saat Clive memanggil saya, drama sepuluh tahun perjuangan itu seperti diputar ulang dengan kecepatan tinggi.

What is your plan?” tanya Clive pada saya yang masih belum bisa menguasai keadaan dengan baik. Saya masih tersenyum saja, tidak berkata banyak. Saya hanya mengatakan “well…” sambil menganggukkan wajah dan tersenyum pertanda ada gejolak dalam hati yang mendesak dan tidak tuntas.

The door is always open for you, Andi” kata Clive. Dia kemudian melanjutkan bahwa jika saya berniat bekerja di University of Wollongong bersama dia maka kesempatan itu terbuka lebar. Ada berbagai topik penelitian yang bisa saya kerjakan dan Clive akan dengan senang hati bekerja dengan saya. Begitu dia menegaskan. “It is your call” katanya sambil tersenyum, menyerahkan pilihan itu kepada saya.

Mendapat tawaran dari seorang ‘Dewa’ di bidangnya untuk bekerja dan meneliti di sebuah institusi terkemuka Australia tentulah sangat menggoda. Di tengah kegalauan dan kekhawatiran untuk kembali ke tanah air karena terbayang akan terjadi perubahan drastis dalam hal budaya meneliti dan juga urusan finansial, tawaran Clive itu adalah godaan yang merangsang. Meski menawarkan itu, nampak jelas Clive mengenal saya dengan baik. Dia tidak memaksa, tidak juga ada kesan menakan.

I cannot thank you enough for everything you have done for me Clive” kata saya memulai dan dia tersenyum. “I appreciate your offer and I will treat this as an open opportunity. You know, I will go home to Indonesia” demikian saya sampaikan lalu berhenti sesaat. Wajahnya tidak terkejut meskipun saya melihat raut muka yang tidak biasa pada Clive. Entah apa itu. Dia hanya mengangguk dan tersenyum tanpa berkata, tanda mengerti apa yang saya sampaikan.

Clive seperti mendengar kata-kata yang tidak saya ucapkan dalam percakapan diam kami. Dia mungkin mendengar saya bergumam “Aku ingin pulang, mengecat pagar rumah yang mungkin mulai kusam. Aku ingin melihatnya putih cemerlang, di sela kibasan Sang Merah Putih yang tak tunduk oleh tikaman matahari sore yang temaram.”

Yogyakarta, 16 Agustus 2016

Wajah, Paspor dan Warga Negara

Dalam satu adegan film “The Karate Kid”, Dre Parker (Jaden Smith) dipaksa ibunya untuk bercakap-cakap dengan ‘orang China’ yang duduk di bangku seberang. Mereka duduk di satu pesawat dan akan berangkat ke China. Ibu dan anak itu pindah ke China dari Detroit karena alasan pekerjaan. Menurut ibunya, itulah saatnya Dre melatih Bahasa Mandarinnya dan berlatih langsung dengan orang China adalah kesempatan baik. Dari wajahnya, lelaki yang duduk di bangku seberang memang nampak ‘sangat China’. Wajahnya tidak menipu.

Dengan perasaan sedikit dongkol karena dipaksa Ibunya, Dre menyapa lelaki itu dalam Bahasa Mandarin yang terbata. Inti pertanyaanya adalah “siapa nama Anda dan apa kabar?”. Dre bersusah payah mengucapkan kalimat itu karena belum fasih lalu menunggu jawaban ‘orang China’ itu. Jawaban lelaki itu menyentak dan di luar dugaan Dre dan Ibunya. Lelaki itu berkata “Dude I am from Detroit” untuk menegaskan bahwa dia adalah orang Amerika dan bahkan mungkin tidak bisa Bahasa Mandarin sama sekali. Wajahnya ternyata menipu.

Apa yang dilakukan ibu Dre dalam film itu mewakili jutaan umat manusia di muka bumi. Kita mudah sekali menuduh dan menduga kewarganegaraan seseorang dari kenampakan wajahnya. Ketika datang ke Australia untuk pertama kali tahun 2004 saya terkejut melihat sebagian besar mahasiswa UNSW adalah ‘orang China’. Selidik punya selidik, sebagian besar dari mereka adalah keturunan orang China yang sudah puluhan tahun di Australia. Sangat banyak dari mereka yang merupakan kelahiran Australia bahkan termasuk generasi ketiga. Artinya, mahasiswa yang nampak berwajah ‘China’ itu lahir dari orang tua yang juga lahir di Australia. Yang membuat mereka tetap ‘berwajah China’ adalah fakta bahwa orang tua mereka menikah dengan sesama keturunan China.

Seorang kawan Indonesia bahkan pernah menegaskan bahwa “kuliah di UNSW serasa kuliah di Beijing” karena kebanyakan orang China. Pernyataan ini sempat menimbulkan kontroversi karena orang China yang dimaksud ternyata bukanlah warga negara China tetapi keturunan bangsa China yang telah menetap di Australia. Hal ini sempat menimbulkan rasa kurang nyaman bagi teman-teman warga negara Indonesiaa yang juga keturunan China yang bersekolah di UNSW. Menuduh kewarganegaraan dari tampilan wajah adalah kekeliruan serius.

Obama adalah orang non-kulit putih pertama yang menjadi Presiden Amerika. Ke-Amerika-an Obama bahkan pernah diragukan dan sekelompok orang kulit putih pernah menjadikan itu sebagai isu politik untuk mengalahkannya saat pemilu. Sangat menarik sesungguhnya ketika orang kulit putih yang mempersoalkan hal itu karena orang kulit putih juga pendatang di Amerika. Orang kulit putih yang meragukan kewarganegaraan seorang kulit hitam di Amerika Serikat adalah sebuah kelucuan tingkat tinggi karena keduanya adalah ‘tamu’ di tanah Amerika. Ini mirip dengan orang kulit putih di Australia yang merasa tidak nyaman dengan kedatangan orang Asia dan menuduh orang Asia telah merebut kesempatan kerja mereka sebagai ‘tuan rumah’ di Australia. Orang kulit putih dan Asia sama-sama ‘tamu’ di tanah Australia.

Jika Anda berkunjung ke New York dan naik kereta dari Queens ke Manhattan di pagi hari, Anda akan menemukan sebuah dunia yang mungkin berbeda dibandingkan yang Anda bayangkan. Jika Anda rajin menonton film Hollywood yang konvensional, mungkin Anda membayangkan orang Amerika seperti Aston Kutcher atau Taylor Swift. Anda mungkin akan terkejut karena orang Amerika di kereta itu ternyata sebagian besar berkulit hitam atau nampak seperti orang Jawa. Mereka adalah orang Amerika yang mungkin bahkan sudah merupakan keturunan kedua atau ketiga yang lahir di Amerika.

Dalam tugas saya di Kantor Urusan Internasional UGM, saya sering sekali menerima tamu dari universitas di luar negeri, baik itu professor, peneliti atau pejabat universitas. Pada awalnya saya agak terkejut melihat wajah yang muncul. Pejabat tinggi sebuah universitas di Australia ternyata berwajah China. Professor senior yang disegani di sebuah perguruan tinggi Inggris ternyata mirip Shahrukh Khan. Kepala Kantor Urusan Internasional di sebuah perguruan tinggi di ASEAN ternyata dari Jawa. Peneliti handal dari universitas terkemuka di Amerika ternyata keturunan Kenya. Ini mirip dengan pengalaman kawan-kawan Indonesia yang bersekolah di Australia yang ternyata dibimbing oleh orang China, Korea atau Bangladesh. Sejumlah kawan dari Malang yang sekolah di Wollongong, Australia, bahkan dibimbing oleh professor yang berasal dari Surabaya. Demikianlah dunia. Kekurangpahaman akan menimbulkan keterkejutan.

Kita hidup di satu tempat yang oleh Konichi Omahe disebut sebagai dunia tanpa batas alias “borderless world”. Kenampakan wajah bukan lagi penentu kewarganegaraan. Kebangsaan, suku dan etnis tidak lagi didikte oleh wilayah geografis. Kefasihan seseorang akan suatu bahasa tidak lagi mencerminkan paspor yang dipegangnya. Mereka yang tidak memahami dunia dengan baik mungkin akan terkejut ketika seorang berwajah Sunda mengaku warga negara Jerman tetapi mereka yang luas wawasannya tidak akan terkejut. Kenampakan wajah, bahasa, kegemaran akan makanan bukan penenda kewarganegaraan. Kewarganegaraan ditentukan dengan paspor. Wajah Melayu yang berselera masakan Padang bisa saja berpaspor Amerika. Kita tidak pernah tahu sebelum melihat paspornya.

Beasiswa Australia Awards tahun 2017 dibuka tanggal 1 Februari 2016

STOP Press!

Tulisan ini adalah untuk pembukaan pendaftaran tahun 2016. Jika yang Anda cari adalah informasi untuk pembukaan beasiswa tahun 2017, silakan baca tulisan ini. Meski demikian, tulisan di bawah ini tetap penting untuk dibaca karena memuat banyak informasi dan tips umum. Terima kasih 🙂

Berbagi pengalaman meraih beasiswa adalah seperti menahan pintu.
Buku Tips meraih beasiswa Australia

Ini hari yang ditunggu-tunggu banyak orang. Pemerintah Australia kembali memberi kesempatan kepada penduduk Indonesia yang memenuhi syarat utuk belajar S2 atau S3 di universitas-universitas terkemuka di Australia. Yang menarik, seluruh biaya akan ditanggung oleh Pemerintah Australia melalui skema Australia Awards Scholarship (AAS). Khusus untuk Indonesia, beasiswa ini juga dikenal dengan Australia Awards Indonesia atau AAI. Beasiswa ini mengalami perubahan nama berapa kali, mulai dari Colombo Plan tahun 1960an, AIDAB di awal tahun 1990an, ADS di tahun 2000an awal dan kini AAS atau AAI. Barangnya tidak jauh beda, hanya pengelolaannya yang sedikit berbeda. Bagi kita, orang Indonesia, yang penting adalah bagaimana memenuhi persyaratan dan mendapatkan kesempatan itu. Untuk AAS tahun 2017, pendaftaran sudah dibuka tanggal 1 Februari 2016 dan ditutup tanggal 30 Maret 2016. Periode pendaftaran memang cukup singkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ada beberapa hal yang perlu diketahui tentang AAS ini:

Continue reading “Beasiswa Australia Awards tahun 2017 dibuka tanggal 1 Februari 2016”

Pendaftaran Beasiswa Australia Awards kapan ya?

Pendaftaran Beasiswa Australia Awards kapan ya? Ini pertanyaan biasa dan sangat mainstream. Selalu saja ada orang yang bertanya soal pendaftaran beasiswa luar negeri. Pertanyaan bisa datang dari mahasiswa, dosen bahkan pejabat negara yang ingin sekolah ke luar negeri. Urusannya tentu cepat beres kalau saya jawab dengan singkat padat dan jelas. Hanya saja kadang saya tidak rela berpikir sesederhana itu.

Continue reading “Pendaftaran Beasiswa Australia Awards kapan ya?”

Boikot Bali

Kemarin saya membuka acara orientasi mahasiswa internasional di UGM. Tidak tanggung-tanggung, saya harus memberi sambutan sebanyak dua kali karena ada dua kelompok mahasiswa internasional yang mengikuti orientasi. Tidak kurang dari 120 mahasiswa dari berbagai negara yang tercatat sebagai mahasiswa baru semester ini di UGM.

Saya selalu menyempatkan diri bertanya asal negara para mahasiswa itu. Australia selalu mendominasi di kedua kelompok. Tidak lupa saya bercerita agak personal terkait pengalaman saya selama di Australia. Sekali dua kali saya berbahasa Inggris dengan logat Australia yang mengundang gelak tawa. Yang terpenting, saya sampaikan betapa saya memiliki berbagai pemahaman yang salah tentang Australia sebelum saya berkunjung ke negeri Kangguru itu. Cerita itu saya maksudkan untuk mengajak semua mahasiswa Internasional itu untuk menjadikan pengalaman belajar di UGM itu sebagai kesempatan untuk memahami perbedaan. Perbedaan itu keniscayaan dan kita tidak pernah bisa memaksa orang lain untuk menjadi diri kita, sekaligus kita tidak perlu merasa harus menjadi seperti orang lain. Yang terpenting adalah memahami perbedaan itu lalu melakukan tindakan yang menyesuaikan.

Continue reading “Boikot Bali”

Pendaftaran Australia Awards Scholarship 2016 telah dibuka!

STOP!

Mungkin Anda sedang mencari informasi pendaftaran Beasiswa Australia Awards tahun 2017. Informasi di bawah ini adalah untuk tahun 2016 dan sudah ditutup. Untuk periode 2017, beasiswa ini akan dibuka tanggal 1 Februari 2016. Silakan baca tulisan ini.

Penjelasan singkat
Australia Awards Scholarship alias AAS adalah beasiswa penuh bagi masyarakat Indonesia yang memenuhi syarat untuk studi S2 atau S3 di perguruan tinggi Australia. Jika Anda sudah menyelesaikan pendidikan S1 dan berusia di bawah 42 tahun, Anda berkesempatan untuk mendaftar. Berikut ini hal-hal penting yang mungkin membantu Anda.

Continue reading “Pendaftaran Australia Awards Scholarship 2016 telah dibuka!”

Saya Jadi Kepala KUA

Saya mendapat tugas sebagai Kepala Kantor Urusan Internasional alias Office of International Affairs UGM sejak pertengahan tahun lalu. Sebagian teman saya menganggap ini musibah, sebagian lain menyelamati sebagai pencapaian. Saya sendiri menganggap ini kesempatan belajar yang kadang membawa musibah mendewasakan. Tapi tulisan ini bukan tentang pencapaian atau musibah.

Meskipun saya merasa peran kantor ini sangat penting dalam konteks internasionalisasi pendidikan di UGM, ternyata kantor ini, yang disingkat KUI atau OIA, tidak dikenal oleh semua orang UGM sekalipun. KUI? Opo kui? tanya banyak orang dengan logat Jogja yang enak didengar.

Continue reading “Saya Jadi Kepala KUA”