Kemarin saya membuka acara orientasi mahasiswa internasional di UGM. Tidak tanggung-tanggung, saya harus memberi sambutan sebanyak dua kali karena ada dua kelompok mahasiswa internasional yang mengikuti orientasi. Tidak kurang dari 120 mahasiswa dari berbagai negara yang tercatat sebagai mahasiswa baru semester ini di UGM.
Saya selalu menyempatkan diri bertanya asal negara para mahasiswa itu. Australia selalu mendominasi di kedua kelompok. Tidak lupa saya bercerita agak personal terkait pengalaman saya selama di Australia. Sekali dua kali saya berbahasa Inggris dengan logat Australia yang mengundang gelak tawa. Yang terpenting, saya sampaikan betapa saya memiliki berbagai pemahaman yang salah tentang Australia sebelum saya berkunjung ke negeri Kangguru itu. Cerita itu saya maksudkan untuk mengajak semua mahasiswa Internasional itu untuk menjadikan pengalaman belajar di UGM itu sebagai kesempatan untuk memahami perbedaan. Perbedaan itu keniscayaan dan kita tidak pernah bisa memaksa orang lain untuk menjadi diri kita, sekaligus kita tidak perlu merasa harus menjadi seperti orang lain. Yang terpenting adalah memahami perbedaan itu lalu melakukan tindakan yang menyesuaikan.
Anak muda Australia itu bertepuk tangan riuh ketika saya mengatakan untuk pertama kali bahwa saya alumni Australia. Lebih riuh lagi ketika saya mengatakan saya berasal dari Bali. Bali memang rumah kedua bagi sebagian anak muda Australia. Konon, Bali adalah tujuan luar negeri pertama bagi sebagian besar anak muda di Australia. Entah apa yang mereka pikirkan, mereka tertawa agak getir ketika saya mengatakan salam saya untuk Tony Abbott, perdana menteri mereka.
Kejadian pagi kemarin mengingatkan saya akan usaha Australia untuk mencegah eksekusi mati pelaku Bali Nine yang terbukti melanggar hukum di Indonesia. Konon para netizen Australia bahkan melakukan gerakan memboikot Bali. Mereka tidak mau datang ke Bali untuk berwisata sebagai aksi protes atas tindakan pemerintah Indonesia mengeksekusi warga negara mereka. Netizen Indonesia bereaksi cukup keras. Perang dunia mayapun terjadi. Saling balas komentar di Facebook dan Twitter tidak bisa dielakkan.
Yang menjadi warga aktif dunia maya tentu tidak terkejut dengan perang maya semacam ini. Ini sudah berlangsung lama dan akan terus berlangsung hingga waktu yang lama. Perang antarwarga sangat biasa terjadi di dunia maya untuk berbagai kasus. Saya sendiri tidak heran, sekaligus tidak merasa perlu marah berlebihan. Apa yang dilakukan sebagian netizen Australia tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lakukan ketika satu atau dua WNI dieksekusi di Timur Tengah, misalnya. Tanpa mempertimbangkan terlalu banyak soal hukum di Timur Tengah, tidak sedikit yang tetap berusaha mencegah eksekusi WNI itu. Mirip dengan Netizen, pemerintah kita mati matian melakukan pembelaan dan memohon agar eksekusi tidak dilakukan. Toh, semua itu tetap terjadi. Hukum adalah hukum, dan hukum punya yurisdiksinya masing-masing. Pada akhirnya semua orang harus menghormati itu.
Salahkan Australia ketika mengancam boikot Bali? Soal salah benar tentu terlalu serius urusannya tetapi saya bisa memahami emosi mereka. Jika kemudian Pak Tony Abbott mengungkit ungkit bantuan kemanusiaan yang sudah diberikan Australia kepada Indonesia sebagai pertimbangan agar warganya diampuni, saya kira wajar saja. Soal kemudian Pak Tony kelihatan dan terdengar seperti anak kecil, itu adalah risiko yang harusnya dia sudah pertimbangkan. Jika kemudian Pak Tony jadi bulan bulanan rakyat dunia maya bahkan termasuk netizen Australia, tentu kita juga tidak perlu heran. Memang umum demikian. Tapi sebagai perdana menteri, usaha dia layak dihargai. Alangkah tidak eloknya jika seorang perdana menteri justru merestui warganya dieksekusi di tanah asing.
Hidup politisi itu diamati rakyat. Tindakan dan kata katanya lebih sering dimotiviasi oleh keamanan dan kenyamanan posisinya, belum tentu oleh motivasi kemanusiaan atau hal ideal lainnya. Saya tidak suka mendengar Pak Tony mengungkit perihal bantuan kemanusiaan tetapi memilih untuk tidak terkejut dengan “usaha” itu. Mengapa harus terkejut dengan tindakan politisi yang kadang berbeda dengan yang kita inginkan?
Beberapa waktu lalu saya menerima tamu, beberapa petinggi sebuah universitas di Sydney Utara. Ketika secara berkelakar saya bertanya soal respon Australia terkait rencana eksekusi Bali Nine, seorang wakil rektor tertawa saja. “Politics is politics” katanya. “Saya memaklumi usaha pemerintah kami tetapi pada akhirnya kita harus menghormati hukum Indonesia” demikian dia menambahkan. Yang menarik, dia juga menekankan bahwa pendidikan tidak akan terpengaruh oleh semua itu. Kedatangan mereka ke UGM memang untuk menjajagi kerjasama. Tidak tanggung-tanggung, ada tujuh orang yang datang untuk menunjukkan keseriusan mereka. Ini bukan satu-satunya delegasi yang diterima UGM. Pernah juga suatu saat ada 15 orang datang dari universitas di Australia Selatan untuk melakukan penjajagan kerjasama. Bahkan Rektor dan Wakil Rektor bagian kerjasama ikut dalam rombongan itu dan mereka ada di Jogja selama tiga hari. Sangat istimewa.
Indonesia sangat penting bagi Australia dalam banyak hal, seperti halnya kita harus akui bahwa Australia juga penting bagi kita. Saat aktif sebagai mahasiswa di Australia, Perhimpunan Pelajar Indonesia dimintai pendapat secara khusus saat Pemerintah Australia menyusun strategi dalam menghadapi “Abad Asia”. Saya menuliskan beberapa poin pemikiran terkait maritim ketika itu. Ini adalah indikasi keseriusan mereka mempertimbangkan pandangan orang Indonesia. Kalau gonjang ganjing politik dan usaha kita menegakkan hukum lalu membuat hubungan jadi kurang baik, sesungguhnya patut disayangkan. Tidak elok jika kita bersengaja membuat negara tetangga kecewa tetapi jika kekecewaan itu muncul karena usaha kita menegakkan hukum di tanah kita sendiri, maka alam semesta semestinya mengerti.
Jika kekecewaan itu membuat Australia berubah pikiran lalu menghentikan kerjasama termasuk beasiswa yang selama ini menjadi incaran banyak anak muda Indonesia, kita juga perlu menyayangkan. Banyak anak muda yang mungkin tidak senang. Pertanyaannya, apakah santunan beasiswa itu benar akan mampu membeli harga diri kita sebagai anak bangsa, itu adalah cerita lain. Kita semua tahu jawabannya. Negeri kita berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Kini ada begitu banyak beasiswa yang diberikan pemerintah kita. Ada LPDP, ada DIKTI dan lainnya. Saya yakin, anak anak muda Indonesia akan melangkah tenang dengan dagu terangkat sempurna ketika melewati lorong-lorong kampus mentereng di negara maju karena percaya diri bahwa dia ada di sana dibayari oleh bangsanya, bukan karena disantuni bangsa lain. AAS, Fulbright, DAAD, Monbusho, semuanya masih kita harapkan ada tetapi ketidadaannya tentu tidak akan membuat kita lantak binasa lau meratap mengiba. Itu pasti!
Kembali ke judul tulisan ini, apakah ancaman boikot Australia itu akan merugikan Indonesia jika benar-benar dilaksanakan? Saya tidak punya data jumlah kunjungan wisatawan Australia ke Bali dan Indonesia secara umum tetapi konon memang cukup banyak. Jika benar semua orang Australia tidak mau ke Bali, tentu saja akan berpengaruh pada ekonomi meskipun mungkin kecil. Pertanyaannya, apakah dengan ancaman ekonomi itu kemudian kita gentar dan bertekuk lutut pada Bangsa Australia yang selama ini kita hargai, ini adalah soal lain. Kita semua tahu jawabannya.
Lepas dari itu semua, kita adalah bangsa besar yang terhormat dan tidak emosional. Sahabat muda saya dari Australia yang kini belajar di UGM tidak perlu khawatir. Kami tahu membedakan politik dan pendidikan. Biarlah orang tua kita bersitegang, anak anaknya tetaplah bermain bersama. Dengan begitu, para orang tua akan akur kembali.
Tulisan komprehensif kawan. Selayaknya kita arif menyikapi ini, dan biarkan hukum, sepanjang benar, menjadi pengadilnya. Saya salut Bli masih tetap bisa menulis, saya harus kembali ke jalur menulis nih 🙂
Suksma De Hery 🙂
Mari kita menulis terus De …
Saya pingin tahu.. yang pake hashtag #boycottbali dan menentang itu apa mereka juga bakal boikot Singapura, Thailand, Malaysia, China dan United States… mereka juga punya hukum yang sama 🙂
Good Point, Ardi 🙂
Sebagai negara yg ingin melindungi WN nya saya pikir memang wajar apa yg dilakukan oleh Australia…
hashtag yg berisi pemboikotan thd Bali ya mungkin saja bagian dr strategi mereka dlm membela WN nya…
Tapi sbg Negara yg berdaulat, setidaknya kita harus tetap mengangkat dagu kita dihadapan negara2 lain di dunia yg juga sama2 berdaulat.
Apalagi, NARKOBA di negara kita ini sudah kelewat gawat… Dalam pidato penutupan Kongres Umat islam di Yogya, pak presiden menyampaikan data ttg NARKOBA ini… Belasan ribu orang di negara kita mati tiap tahunnya karena NARKOBA ini…
So, kalau mau mengeksekusi gembong2 narkoba dg hukuman mati, saya pikir itu adalah langkah jitu utk memberika shock therapy pd mereka2 yg berbisnis di dunia NARKOBA ini…
Belum lagi efek2 negatif dari peredaran NARKOBA ini spt : pelacuran … ah sudahlah… tembak mati saja…..
Saya senang membaca tulisan ini Pak, setiap negara berhak dan wajib untuk memperjuangkan warganya. Semua negara juga berhak dan wajib melaksanakan hukum yang berlaku di kawasannya. Kalau dalam hal ini saya mendukung sikap Indonesia, sudah terlalu lama ‘berprihatinria’.
Hal menarik lainnya yang saya dapatkan dari tulisan ini adalah sebuah penegasan yang membuka mata tentang kerja sama Bali dan Australia tak sekadar dalam bidang pariwisata ada bidang yang krusial yaitu pendidikan. Bahwasanya Bali terkenal dan bergantung sebagai daerah pariwisata, BETUL. Tapi pariwisata tentu harus dikawal oleh warga yang ‘cerdas’ pula. Saat yang tepat untuk membangkitkan gairah muda berpartisipasi di bidang pendidikan. Semoga kelak saya bisa berguru ke negeri kangguru ya Pak 🙂
Makasih ya Dek 🙂 sukses!
Abbot yang aneh.. segitunya.
Semoga tidak pengaruh terhadap AAS,soalnya lagi proses berjuang meraihnya.
Mengatakan pemimpin suatu negara ‘aneh’ sambil mengharapkan beasiswa hasil keringat rakyat negara tersebut?
wkwkwkk
Kita sangat mengapresiasi program-program kemanusiaan Australia, diantaranya bantuan dalam bencana alam dan pendidikan. Tapi dalam kasus ini saya rasa lebih kental aroma politik nya mengingat mereka seperti tidak ambil pusing dengan fakta yg terjadi terhadap generasi di sebuah negara akibat narkoba. Saya yakin Indonesia menerapkan aturan hukuman mati murni untuk kemanusiaan, sama seperti halnya kebijakan luar negeri Australia yg ikut aktif berperang ke negeri orang dan membunuh lebih banyak dengan alasan kemanusiaan.
Yang sangat disayangkan adalah para netizen kita membalas emosi dengan emosional, jadi melebar kemana-mana dan menambah panas situasi. Seharusnya kita balas dengan memberi pengertian bukan dengan saling memprovokasi, karena tujuan kita adalah memberantas narkoba, bukan untuk melecehkan warga suatu negara.
Bijaksana sekali. Terima kasih. Kalau sdh pernah nulis untuk memberi nasihat atau pengertian ke Aussie mohon kasih link-nya. Saya bantu share. Thx
Tulisannya bagus Pak, sudut pandang yang diambil netral, saya sebagai pembaca tidak lantas mengambil langkah dikotomi benar salah untuk masing-masing pihak. Saya juga yakin, hal ini tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kerjasama di bid pendidikan, masing-masing negara punya positioning untuk hal tersebut. Untuk sikap PM nya saya rasa itu wajar sebagai usaha pembelaan. Salam.
Terima kasih atas sikap yang bijaksana 🙂
Seperti biasa, saya selalu puas menyimak setiap tulisan bapak. Setelah menjadi pembaca blog pak made selama beberapa bulan, ini kali pertama saya meninggalkan komentar. Salam kenal pak, saya mahasiswi Univ. Brawijaya. walau tak secara langsung pernah di ajar oleh dosen seperti pak made, tapi saya bangga indonesia punya dosen seperti bapak. Smg kelak saya bisa demikian, menjadi pendidik, penginspirasi, penengah, peredam, penyemangat. Alangkah bahagianya jika s2 nanti saya dapat berkesempatan belajar di UGM dan bertemu langsung dengan Pak Made 🙂
Hamidah Yg Baik,
Terima kasih atas sanjungannya. Saya menerimanya sebagai doa.
Andi
Semoga Dilema kedua Negara tidak mencederai hubungan Bilateral Indo-Aus terkhusus di bidang Pendidikan, yang jadi pertanyaan bukankah Bali merupakan salah satu Lokasi dimana peserta AAS mengikuti sesi persapan sebelum keberangkatan? Bilamana Bali di Boikot dari sektor pariwisata dengan mengurangi kunjungan wisata turis Australia, bagaimana yaa?? Sedikit Dilema juga memikirkannya..
ulasan yang menyehatkan bli. apa kabar ?
Suksma 🙂 kabar baik …
Sudah seharusnya memang kita tak terpengaruh, politic is politic. Semoga memang dengan adanya ketegangan ini kerjasama pendidikan anatara indonesia dan australia tidak terpengaruh.
saya suka tulisan bapak, mendengar berita tentang hukuman mati tentu menyeramkan, tapi narkoba juga menyeramkan.