Petengkaran

//i17.photobucket.com/albums/b64/lope-mizz-ya/tear.jpgPertengkaran bukanlah hal biasa, dan dia tidak boleh menjadi biasa. Meskipun pada dasarnya pertengkaran adalah salah satu bentuk diskusi dan komunikasi yang sangat tua umurnya, pertengkaran, bagaimanapun juga, bukanlah cara terbaik menyelesaikan suatu perkara.Dalam pertengkaran ada kesedihan, setidaknya sesudahnya. Dalam pertengkaran ada air mata karena tekanan dan kemarahan yang tidak selalu sehat dampaknya. Dalam pertengkaran, bahkan mungkin muncul dendam jika tidak disikapi dengan besar hati. Dendam adalah makhluk paling berbahaya dalam sebuah hubungan, apapun bentuknya.

Continue reading “Petengkaran”

Advertisement

Beda Generasi

Genjo terhempas dalam duduknya yang dalam dan letih. Seharian menunaikan dharwa mulia sebagai penyelamat dan penunjuk jalan bagi generasi baru yang sedang berburu masa depan. Genjo sumringah sejak pagi tadi karena hutang budinya terasa terbalas kini. Dua belas tahun lalu, Genjo adalah generasi baru. Gelap sepertinya alam ketika itu saat Genjo memasuki altar suci perguruan termasyur tempatnya berdharma saat ini. Adalah seorang abang yang menjadi penyelamatnya ketika itu, tidak akan pernah dilupakannya. Kini kesempatan membalas budi itu datang juga, tentu saja tidak kepada sang abang tetapi kepada adik dari generasi yang jauh di depan. Pay Forward, begitulah memang sebaiknya perjalanan kebaikan itu. Genjo membayar ke depan, bukan ke belakang.
Continue reading “Beda Generasi”

Setengah dekade

Waktu memang seperti terbang. Time flies, kata orang bule untuk menggambarkan betapa seringnya kita terlena dan akhirnya tertinggal oleh waktu. Banyak pekerjaan yang tidak terselesaikan dan target tidak terpenuhi ketika kita mendapati waktu tidah tersisa lagi. Sejarah klasik ini berulang lagi dan lagi.

Ketika diri ini alpa tidak menikmati dan lalai menyimak waktu dengan seksama maka keterperanjatanlah yang dihadiahkannya. Keterperanjatan akan kenyataan bahwa waktu begitu sadis menggilas keluguan ataupun keculasan, semua sama tak diampuni. Tak peduli sang aku yang bijaksana atau berperangai pecundang, sang waktu tetap berlaku adil, seadil-adilnya. Hanya ada 24 kali pergantian jam setiap harinya, lain itu tidak ada. Maka begitulah ketika perayaan setengah dekade ini jatuh pada masanya, semua terasa tiba-tiba dan perhelatan besar sepertinya baru kemarin sore. Hari ini, lima tahun yang lalu, dua anak manusia mengikat janji.

Continue reading “Setengah dekade”

Indonesia Merdeka, Malaysia Merdeka

http://userserve-ak.last.fm/

Generasi lama bangsa ini menyebut Malaysia sebagai Adik Nusantara. Hal ini beralasan karena Malaysia memang berada di Nusantara dan berusia 12 tahun lebih muda dari Indonesia. Di tahun 70-an, konon banyak guru Indonesia yang dikirimkan ke (atau diminta oleh ) Malaysia untuk mengajar di sana. Banyak profesor yang kini ‘berkuasa’ di perguruan tinggi Malaysia konon adalah juga alumni dari Universitas Gadjah Mada. Ketika saya bertemu dengan seorang pakar dan profesional di perusahaan minyak asal Malaysia, beliau dengan tanpa canggung memuji kesaktian tim sepak bola Indonesia di awal tahun 80-an. Senada dengan itu, kapal angkatan laut Indonesia juga menjadi satu tontonan yang menakjubkan ketika beliau kecil. Sebuah kenangan yang kini entah di mana.

Indonesia kini berusia 62 tahun dan Malaysia menginjakkan kaki di usia 50 tahun. Keduanya dari dulu bertetangga dan berbagi banyak sekali kebudayaan yang sama. Namun begitu, tidak jarang keduanya juga dihadapkan pada suasana yang panas dan mencekam. Sebut saja di tahun 60-an, misalnya, perhatian dunia sempat tertuju pada Nusantara gara-gara Indonesia ingin “mengganyang Malaysia”. Ketegangan berlanjut saat adanya sengketa soal Pulau Sipadan dan Ligitan di Laut Sulawesi yang berakhir di tahun 2002 dengan “kemenangan” Malaysia. Tahun 2005, ketegangan kembali menghiasi hubungan kakak-adik ini dengan sengketa Ambalat di Laut Sulawesi yang hingga kini belum terselesaikan sempurna. Kedua tetangga ini memang berbagi banyak cerita suka dan duka.

Ketika keduanya mulai berusia, mungkin ada baiknya menilai pencapaian masing-masing sebagai indikator keberhasilan perjalanan bernegara. Banyak yang secara spontan menyatakan bahwa Malaysia telah mencapai sesuatu yang lebih tinggi dari Indonesia. Kalau yang dimaksud adalah menara kembar Petronas, tentunya tidak bisa disangkal 🙂

Tidak mudah untuk menilai secara pasti siapa yang lebih maju sesungguhnya. Kemajuan tentu saja tidak bisa dilihat hanya dari jumlah gedung tinggi dan panjangnya jalan aspal yang berhasil diwujudkan. Pembangunan harus dilihat secara lebih komprehensif.

Continue reading “Indonesia Merdeka, Malaysia Merdeka”

Wisuda

Saya sudah banyak menulis tentang wisuda. Wisuda adalah keberhasilan, mungkin hampir semua orang setuju itu. Wisuda adalah saat mana ucapan selamat tidak pernah mendapat penolakan dan kesenangan mendapat tempat yang seluas-luasnya.

Dari mana seorang saya diwisuda? Dari universitas mana selembar kertas bertuliskan gelar itu saya dapatkan? Ini adalah pertanyaan lain yang kadang muncul mengiringi wisuda. Meskipun tidak selalu diperdengarkan lewat kata-kata, pertanyaan ini tetap saja menjadi salah satu yang tidak bisa dihentikan.

Seorang kawan berkeluh kesah dan tenggelam dalam ketidakbanggaannya karena perguruan tempatnya menyelesaikan pelajaran bukanlah tempat idaman. Perguruannya yang tidak memiliki nama setenar dan semegah perguruan lain yang kemudian membuatnya jadi risau. Ini adalah hal biasa, terjadi di dalam sejarah manapun kehidupan seorang cendikia. Prestasi dan prestise perguruan adalah hal yang terbawa bahkan sampai ke liang lahat, kadang.

Seorang sahabat di jalan pencarian menasihatkan kepadanya, berguru adalah sesungguhnya berguru kepada alam untuk pencapaian sang diri. Alam dan diri adalah dua hal penting yang tidak terbelenggu sekat-sekat tinggi nama perguruan. Alam ada di manapun dan tidak pernah memilih dengan siapa dia bercengkrama. Alam, jika dia dijadikan guru, adalah guru yang paling murah hati kepada siapa kita bertanya dan mengeluh pada saat yang sama dan akan selalu tersenyum. Jika benar cara kita mendengar, maka selalu pujian dan dorongan semangat yang dia tebar. Berlajarlah dari alam karena alam adalah sistem yang, kata seorang empu, sudah paripurna. Dapatkan apa saja yang diinginkan dari alam dan berhasil membaca tanda-tanda alam adalah cikal bakal pencapaian.

Di satu sisi, diri adalah pribadi yang dimiliki dan dikendalikan oleh sang aku. Untuk membuatnya mencapai sesuatu, tidak ada yang lebih baik dan lebih hebat untuk mengendalikan dan mengarahkannya kecuali sang aku. Sang aku yang lebih mengenalnya. Dalam menuntut kanuragan kepada alam, diri memegang peranan keberhasilan. Ketika Sang aku bisa mengendalikannya, maka ini adalah bibit keberhasilan.

Ketika ada yang bertanya, di perguruan mana saya diwisuda. Angin akan berbisik memberi jawaban. Saya belajar dari alam dan bertanggungjawab pada sang aku. Dengan cara inilah sang diri mendapat kanuragan. Lupakan sekat-sekat perguruan, jangan biarkan perguruan menjadi identitas diri tetapi jadikanlah diri sebagai identitas perguruan. Pertanyaan lain yang lebih penting untuk dijawab adalah “Apa yang saya torehkan setelah wisuda?”.

%d bloggers like this: