- diambil dari http://www.wildnatureimages.com
Aku ingin melukismu. Itulah mimpi yang belum sempat aku wujudkan sejak lama. Bukan karena aku tak sempat, semata-mata karena kanvas yang tak kunjung kutemukan. Tinta emasku runtuh, pucat binasa dan lenyap cantiknya. Demikianlah setiap kali aku hendak melukismu. Kuas yang bergururan, tinta yang runtuh dan kanvas yang tak pernah cukup halusnya, semua itu tak pernah sepadan untukmu.
Lama aku bertanya tapi tidak seperti pujangga kenamaan itu. Aku tak mencegat rumput yang menari atau bintang yang bersinar jenaka. Aku tak mau seperti itu karena kutahu mereka tak kan mampu mngisahkanmu. Aku perlu yang magis dan mistis. Aku perlu asap dupa yang mengepul dan bersatu dengan merahnya senja, sepertimu yang datang dan pergi, tak kurang misteri yang tersisa. Aku perlu bintang yang jatuh memberi harapan dan lenyap sesaat sebelum sempat kupeluk. Seperti itulah anganku tentangmu yang nampak dan sirna silih berganti. Aku tak cukup menjadi seniman kebanyakan untuk menuangkan wajahmu dalam puisi. Tak akan tega bulan melantunkan tembangnya karena ia pun pasti merasa hina. Seperti itulah sulitnya berpuisi tentangmu.
Pernahkah engkau tahu, tetes air, daun yang jatuh, angin yang diam dan bahkan dingin yang sepi kerap bercerita tentang kemahinranmu? Mereka tak pernah bohong, karena kutahu mereka tak perlu. Kepada merakalah catatan ini layak kuadukan. Tentangmu yang indah dan bahkan kadang terbang di atas nalarku, kuingin catatanku benar, walau tak sempurna.
Tulip-tulip di musim semi ini mungkin cukup liar. Kuharap dia tak seperti mawar yang cepat lelah menghadirkan keindahan. Aku ingin memetiknya setangkai untukmu. Kuraih yang merah, untuk menguatkan keberanianku, lalu kusematkan untukmu yang tersenyum. Musim semi ini mungkin ’kan kucoba melukismu lagi. Jangan takut sayang, aku sudah siapkan ruang kegagalan. Kecantikanmu tak kan penah kupadankan dengan naluri liarku.