- Bendera Merah Putih
I Made Andi Arsana , Heidelberg – Jerman
“Oh, Indonesia?! I know Susi Susanti. She is a very good badminton player!” Seseorang berteriak setengah histeris di Stasiun Kereta Api Frankfurt, Jerman ketika saya mengenalkan diri dari Indonesia. Tentu saja Susi Susanti yang lebih dikenalnya karena dia adalah penggemar bulu tangkis. Cerita ini senada dengan kejadian sebelumnya ketika saya baru saja menyelesaikan presentasi di Oslo, Norwegia. “I know Hasjim Djalal very well. He is one of the veterans of the law of the sea from Indonesia.” Tomas Heidar, ahli hukum laut berkebangsaan Islandia ini tentu saja familiar dengan Prof. Hasjim Djalal dibandingkan siapapun di Indonesia, karena reputasinya di bidang hukum laut yang tidak diragukan. Saya semakin teryakinkan bahwa “aku” lah sebagai anak bangsa yang bisa menjadi identitas bagi bangsa sendiri.
Di New York, saya bertemu dengan seorang gadis Thailand yang pintar dan baik hati. Sampan Panjarat, demikian namanya. Sejujurnya saya memiliki anggapan tersendiri tentang perempuan Thailand sebelumnya, terutama karena terlalu banyak informasi di internet yang barangkali tidak akurat tentang mereka. Sampan adalah contoh warga bangsa yang mencitrakan bangsanya dengan sangat baik. Sampan tidak sekalipun pernah menjelekkan bangsanya di depan siapapun. Ceritanya selalu diisi dengan kebanggan, kekaguman dan kepuasan akan bangsanya. Sampan adalah juga seorang pekerja pemerintah yang loyal. Tiga bulan bersamanya di gedung PBB di New York, tanpa disadari telah mengubah persepsi saya tentang Thailand, terutama gadis Thailand. Memang tidaklah selalu negara, tetapi sang aku sebagai warga negara yang akhirnya bisa menjadi identitas dan membangun citra bangsa.
Di saat seperti ini saya ingat pidato Presiden India yang beredar di internet dan sangat mengguhah. Kira-kira presiden mengatakan, it is YOU who should do something for your country, bukan orang lain. Bangsa ini terdiri dari sekumpulan aku dan akulah yang harus berbenah. Ketika sang aku tiba-tiba bisa menjadi orang yang disiplin dalam antrian taksi di sebuah sudut kita singapura, mengapa aku yang sama tidak bisa berbuat demikian di bangsa sendiri. Itulah contoh yang diungkapkannya dalam pidatonya. Benar memang, adalah sang aku yang, sekali lagi, bisa menjadi identitas bangsa, tidak selalu sebaliknya.
Dalam kesempatan lain saya bertemu dengan seorang kolega dari Filipina di Gedung PBB, New York. Sehari-hari ceritanya dipenuhi dengan hujatan kepada pemerintah dan bangsanya. Korupsi, ketidakjelasan hukum, penyuapan dan sejenisnya menjadi topik tentang Filipina hampir setiap kali kami bertemu. Perlahan namun pasti citra tentang Filipina terbentuk sempurna di kepala saya dan sayangnya citra itu sangat negatif. Di saat yang sama kolega ini juga berlaku ceroboh dan lambat dalam melakukan sesuatu. Cerita dan kondisi pribadinya menyempurnakan anggapan bahwa Filipina memang ada masalah. Saya tahu, terlalu pagi untuk menyimpulkan tetapi satu orang memang bisa menciptakan kesan tentang satu negara. Senada dengan ini, kawan lain dari Cameroon berlaku mirip. Komplain dan penghinaan terhadap bangsanya menegaskan kesan dan anggapan saya bahwa Afrika memang jauh dari maju dan jauh dari baik. Sekali lagi, satu orang memang bisa menciptakan kesan tentang sebuah bangsa.
Saya ingat ucapan para tetua di Bali. Jangan menghina orang tua, karena engkau akan menjadi anak orang hina. Jangan menghina sulinggih (pemuka agama) karena kamu akan jadi sisya (siswa/pengikut) sulinggih yang hina. Adalah diri ini yang menciptakan identatas sebuah komunitas tempat kita bernaung atau berafiliasi.
Ketika bersekolah di Australia saya bergaul dengan banyak sekali orang Indonesia. Saya mengerti banyak dari mereka yang kecewa terhadap Indonesia dan muak dengan segala macam ketidakadilan atau perlakuan tak semestinya yang mereka terima. Kini banyak dari mereka yang menjadi pembenci Indonesia, dan memutuskan untuk enyah dari bangsa sendiri dan hidup di negara tetangga. Terbayangkan betapa kebencian itu mendalam dari berbagai ceritanya. Ada yang bahkan sudah tidak bisa membedakan lagi mana Indonesia sebagai bangsa, dan mana pemerintah yang drepresentasikan oleh individu. Betulkah Indonesia, bangsa yang besar ini, yang harus dibenci dengan segala ketidaksempurnaan ini? Benarkah Indonesia, sebagai bangsa, yang harus dihujat dan dihina atas segala ketidaknyamanan hidup yang terjadi? Saya bertanya dan bertanya lagi.
Bukankah adalah diri ini dan sang aku yang membangun citra sebuah bangsa? Kalau kebencian akan Indonesia ini terjadi karena kekecewaan akibat dipersulit ketika mengurus passpor di kantor imigrasi, Indonesiakah yang harus dipersalahkan? Kalau kebencian itu tumbuh karena sertifikat tanah yang tidak kunjung beres sebelum beberapa lembar uang seratus ribuan harus direlakan untuk tangan yang tak semestinya, haruskah Indonesia yang dihujat? Kalau kebencian ini muncul karena macetnya Jakarta setiap hari akibat transportasi yang tidak beres, haruskah Indonesia yang dicaci maki? Kalau kebencian ini muncul karena uang beasiswa dari Dikti tidak kunjung turun sementara hidup di Heidelberg tidaklah murah, apakah kemarahan harus ditumpahkan kepada Indonesia? Siapakah Indonesia ini yang harus menerima kebencian dan kemarahan dari banyak sekali orang? Tidakkah ada seseorang yang telah bersalah dan membuat semua ketidaknyamanan itu terjadi? Orang bisa saja berteriak bahwa ketidakbaikan ini sudah mengakar dan dia sudah menjadi budaya sebuah sistem besar. Tidakkah sistem besar itu dibangun dari individu-individu? Bukankah sang diri ini yang akhirnya menjadi identitas? Siapakah yang harus diperaslahkan kalau demikian? Yang lebih penting, jika harus ada yang berbenah, siapakah yang harus berbenah?
Dalam ketidakmampuan saya menyimpulkan persoalan yang pelik ini, ijinkan saya mengutip lagu lama milik seorang sahabat bagi banyak orang, Iwan Falls. ”Lusuhnya kain bendera di halaman rumah kita, bukan satu alasan untuk kita tinggalkan” Dirgahayu Republik Indonesia ke-63.
that’ nice article Pak. Seringkali begitu mudah untuk “menghakimi jeleknya” bangsa kita, tanpa kita berusaha untuk “memperbaikinya’. Namun ku tetap yakin, Indonesia bisa menjadi yang terbaik. Satu orang seperti Bapak sangat berarti, terlebih lebih dari seorang. amin
Bang Made, tulisannya menggugahkan hati, mengembalikan kenangan ketika tawa dan canda ada di bumi Indonesia. Sudah selayaknya setiap anak-anak bangsa harus bisa duta buat bangsanya. Merdeka !!!
Pak, kalau kondisi terpuruk seperti saat ini, siapa yg harus di gugat? Layak kah menggugat rakyat yang “tidak berani” menegur para penguasa yg lupa akan amanah nya??
drh feb n bung Soetrisno, terima kasih atas komentarnya yang positif. Saya hanyalah tulang-tulang berserakan, tapi adalah kepunyaanmu, kalau minjem istilah Chairil Anwar 🙂
Farid, setiap orang harus berani menggugat dirinya sendiri. Presiden harus berani menggugat presiden, guru menggugat dirinya sebagai guru. Dan jangan lupa, sebagai seorang mahasiswa, kita juga bisa menggugat diri kita sebagai mahasiswa. Seberapa baik diri ini telah berbuat??? Btw, tulisan ini bukan untuk nasihat kepada siapapun di luar sana, tetapi untuk diri ini… sang “aku”
sETUJU Pak,………
menjadi bangsa yang maju dan disipli dimulai dari diri pribadi
=======
Betul Enda…
YANG PALING PENTING :
Mulailah dari yang terkecil, mulailah dari diri sendiri
Mantap Bli Andi ! emang dirimu penuh inspirasi ..
memang harus dimulai dr diri sendiri kalau ingin merubah sesuatu yg ada di luar diri .. so’ komitmen merubah Indonesia menjadi lebih baek harus mulai dengan merubah diri kita menjadi lebih baik dlm bersikap dan berbuat …
contohnya nehhh.. ketika sekolah di Australia kita ikut2 disiplin ngantri ehhh pas pulang ke Indonesia jd lupa lagii dehhh ngantri itu gimana …
hayoo aku tunggu lagi tulisan2 inspiratifmu …
====
Makasih Ayu atas komen positifnya… bersama kita bisa membuat Indonesia lebih baik.
bukan main artikel ini…sangat MENGGUGAT kasus pelimpahan kesalahan dan kelemahan diri pribadi ke negerinya sendiri, yang marak di lakukan sebagian anak negeri.
yah setuju dengan teman yang lain, kita harus berbuat untuk suatu citra yang kita inginkan.
saya jadi semangat lagi setela membacanya Pak Andi..
trims ya…
=========
Makasih Anom. Banyak tindakan kecil akan menjadi besar juga kelak…
sebetulnya bukan Indonesia yang salah, tapi penghuninya yang terlalu banyak menuntut dan tidak pernah puas,
cobalah mengaca pada diri sendiri, klo kita ingin Indonesia menjadi negara yang sesuai impian kita, apakah kita sendiri sudah berperilaku untuk bersama mewujudkan impian itu ?
Jangan mengkambing-hitamkan nama Indonesia, bumi pertiwi, nusantara dll.
tapi kita sebagai manusia yang seharusnya mulai berpikir ttg kewajiban bukan lagi ribut ngurusin hak.
semakin kita mengerti dan menjalankan kewajiban, semakin kita akan menghargai hak orang. dan tidak akan ada lagi keributan menomorsatukan haknya sbg yang utama.
sulit yah sulit, selama kita masih mudah menjawab “ini HAK GW!!!” tanpa mau berpikir panjang dan merenung apa pendapat org lain.
wow…, sebuah inspirasi bagi saya untuk mengukir kembali pertanyaan lama yang telah saya lupakan “apa yang telah saya perbuat untuk negri Indonesia ini?”
trimakasih bli….
===
Sami2 Oom Giri
tulisan yang menggugah aku, sbg anak bangsa yang belum melakukan apa-apa untuk bangsa aku. df
cerita yang begitu menggugah dan inspiratif..!
seringkali saya mengalaminya, menghujat negeri sendiri.!
dengan membaca artikel ini, searasa ada yang menegur..
trimakasih pak..!
Kadang kebanggaan sebagai Indonesia tercampur oleh kebencian terhadap penguasa-penguasa negara yang gak jelas. tapi kebanggaan itu tidak akan hilang sampai kapanpun.
salut, pak.
terimaksih telah menggugah mata hati kami di surabaya.
Tulisan yang sangat inspiratif….
mengingatkan saya akan kesadaran semacam ini saat pernah tinggal di negeri asing, beberapa tahun yang lalu
Ditunggu tulisan berikutnya ^_^
Trnyt ini uda bapak tulis lama y?:-) aniwei..destri baru baca pak..
Hmm..stlh baca,hny bisa bicara dlm hati *brharap lbh tepatnya* seandainya tulisan ini bisa dbaca oleh ‘sang aku aku’ laen dn sang aku ini trmasuk destri bisa segera ‘ngeh’ udahkah qta melakukan sesuatu utk negara qta spt kt presiden India..pun dr sekedar buang sampah atau antri bayar d kasir..
Nice story pak 😀
Thanks Destri…
Ya, tulisan lama ini jg ternyata masih bisa dibaca hari ini…
Terima kasih pak andi,inspiratif sekali.. 🙂
mas andi, saya copas di milis boleh ga? tulisannya sangat inspiratif
Silakan 🙂
senang bacanya, bli…. 🙂
Seandainya kita semua punya kesadaran yang sama seperti pak made..inyaallah…tidak perlu ada yang kecewa dengan Indoensia..karena kita sadari..yang membuat indonesia seperti ini pun adalah “kita2 semua” bukan karena hanya pejabat yang tidak amanah….bukan saja karena banyak orang yang zolim dan mengambil keuntungan dari kelemahan orang lain. tetapi kelemahan kita sendiri tidak bisa menghargai diri kita…berperilaku yang membuat kira jadi rendah sendiri…
Merdeka pak
Salut Om… sederhana namun mengena…
terima kasih sudah mengingatkan saya kalau ada tulisan baru pak Andi, seperti biasa.. its owesome…
Two thumb ups!!
Menukil syair Kang Iwan Abdurrahman:
“..dan mentari kan tetap bernyala, di sini di urat darahku…”
Kebetulan tadi saya sempat membaca sebuah artikel yg menyatakan Indonesia adalah negara terkaya di dunia. Alangkah baiknya kita bersyukur, bukan menghujat… hanya karena perilaku beberapa orang yang tidak bertanggung jawab dan menyalah gunakan wewenang yg mereka miliki.
Tulisan yang bagus dan sangat menginspirasi saya untuk memahami arti menjadi warga negara Indonesia. Saya sangat setuju bahwa “It is YOU who should do something for your country”. Berarti semuanya memang mulai dari diri kita sendiri.
Tapi saya tidak setuju kalo kita menutup-nutupi praktek-praktek kotor yang terjadi di Indonesia. Bagi sebagian orang atau menurut tulisan Andi…tindakan semacam ini sama halnya dengan menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Bagi saya…yang berprofesi sebagai guru dan peneliti bidang hukum….kejujuran adalah nomor satu. Kejujuran memang pahit….tetapi hikmah di balik kejujuran jauh lebih berharga. Menutupi sebuah kenyataan adalah ibarat orang sakit yang tidak pernah mau mengaku sakit. Hal ini berbahaya karena bisa menyebabkan orang sakit itu tidak mendapat penanganan medis yang tepat dan berakhir dengan kematian. Jadi lebih baik kita dengan rendah hati jujur mengakui bahwa bangsa kita memang masih punya segudang kekurangan agar kita bisa mendapat saran dan support dari pihak lain untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Bagi saya….kekurangan Indonesia tidak pernah akan menutupi kenyataan bahwa saya adalah warga negara Indonesia yang lahir dan besar di sana.
Sudut pandang saya agak berbeda dengan Andi dan teman-teman kebanyakan, seorang yang selalu menceritakan keburukan terhadap Indonesia tidak selalu karena dia benci terhadap Indonesia. Justru saya melihat orang seperti ini adalah orang yang sangat cinta Indonesia dan ingin sekali Indonesia berubah. Ibarat orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan…dia selalu marah melihat Indonesia yang tidak mengerti keinginannya. Setiap orang punya pengalaman sendiri-sendiri yang menjadikan alasannya untuk mengambil tindakan. Orang-orang semacam ini, biasanya sudah helpless dengan keadaan di Indonesia karena tidak diberi kesempatan untuk berperan dan tidak tahu bagaimana lagi untuk mengubah keadaan Indonesia tersebut. Seandainya orang-orang semacam ini yang kebanyakan hidup di luar negeri dan punya knowledge cukup diberi kesempatan untuk berperan…mungkin keadaannya akan berbeda.
Seperti kata Andi bahwa individu adalah yang membentuk negara tersebut, maka marilah kita menjadi individu yang benar-benar cinta Indonesia. Cinta Indonesia di sini tidak cuma dibuktikan dengan hanya berkata-kata manis tentang Indonesia. Tetapi juga bertingkah laku baik yang tidak merugikan Indonesia (terutama bagi yang tinggal di luar negeri). Sebagai contoh, ada seorang Indonesia yang pintar dan berprofesi terhormat di negara tetangga dan selalu bangga bilang bahwa dia cinta Indonesia, tetapi belakangan ketahuan bahwa dia ternyata kabur dari ikatan dinasnya di sebuah instansi pemerintah di Indonesia. Hal semacam ini bikin ketawa miris karena lain bicara dengan tindakannya. Demikian juga kita juga harus bicara bila melihat suatu hal yang tidak benar walau itu berakibat kita akan menjadi orang yang tidak populer lagi. Kebanyakan praktek kotor yang terjadi di lingkungan pemerintah Indonesia terjadi karena situasi kondusif dan permisif dari rekan kerja, atasan dan bawahan. Masih banyak hal-hal lain yang dapat kita lakukan untuk menunjukkan bukti cinta kita yang sesungguhnya pada Indonesia. Intinya kita harus menjadi ‘the best person that we can be’ untuk Indonesia.
Sekian dan maaf comment ini sangat panjang lebar dan tidak beraturan ini. Maklum saya kan tidak secanggih yang punya blog ini 🙂
Mbak Selvie,
Tambah dikit lagi, komentar ini sudah lebih panjang dari tulisan aslinya he he. Betul, aku setuju sama Mba Selvie nih. Cinta tidak harus selalu memuji. Cinta juga kadang berarti ‘memaki’ terutama keberanian ‘memaki’ diri sendiri untuk berbenah 🙂
Bli….
Tulisan inilah yang sangat disukai oleh para koruptor di Indonesia yang memakan uang negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya; disukai oleh tokoh agama yang mengkotak2kan warga negara berdasarkan agama; oleh para pejabat yang tidak mampu memimpin negara, oleh pejabat dikti yang tidak terbuka dalam manajemen beasiswa; oleh SBY yang mulai mengangkat-angkat anaknya dalam masalah politik ketimbang menyelesaikan persoalan negara yang menjadi tanggung jawabnya; oleh anggota DPR yang menerima uang pajak dan membuat Undang-undang untuk ideologinya sendiri. tulisan ini sangat disukai oleh warga negara yang menerima uang dari uang negara tanpa berbuat apa-apa karena tulisan ini menginginkan setiap orang berbuat untuk bangsa, bukan memaksa mereka yang digaji oleh negara untuk melakukan tugasnya.
Randy,
Saya teringat dengan pelajaran moral nomor 1 ala Laskar Pelangi. Boleh saja Pak Harfan punya harapan tinggi ketika bercerita tentang Nabi Nuh, toh si Ikal, sebagai pendengar, menarik pelajaran kreatif: “kalau tidak rajin solat, belajarlah berenang”. Penjaja cerita dan penulis memang boleh punya maksud, toh pendengar atau pembaca yang memetik pelajaran. Menariknya, pelajaran yg dipetik tidak selalu sama dengan yang dimaksud oleh penulis atau pencerita. Komentar Anda membernarkan pelajaran moral nomor 1 ala LP itu. Terima kasih atas komentarnya, saya akan belajar terus menulis agar maksud saya tersampaikan dengan lebih baik kepada pembaca.
Oh ya, saya lega karena Anda toh akhirnya menangkap bahwa tulisan ini menginginkan setiap orang berbuat untuk bangsa. Saya kira istilah setiap orang ini tidak memerlukan penjelasan lagi. Atau masih perlu?
Bli Andi…
Saya 100% setuju dengan Anda. Memang tidak semua yang berkata jelek tentang Indonesia di luar membenci Indonesia. Saya sendiri pernah melakukannya, dan saya sangat mencintai tanah air kita ini. Kalau tidak, buat apa kami pulang kembali ke tanah air? Tetapi saya juga banyak melihat, orang-orang yang hanya mencaci tanpa mau berkaca–apa yang sudah dia lakukan dan bagaimana sikap mereka selama di sini, dan saya yakin orang-orang seperti inilah yang Bli maksudkan.
Salut untuk tulisan ini. Bolehkah saya mempostingnya di blog saya? Terimakasih sebelumnya.
tulisan saya ini sangat pribadi sifatnya dan kontekstual. Jika dibaca tanpa memahami latar belakang kehidupan dan pengalaman saya, bisa jadi pemahamanya berbeda dengan yg saya maksud. Meski demikian, saya membebaskan pembaca untuk berimajinasi. Silakan diposting ulang..
right or wrong or worse, my own country (Tennyson, kalau nggak salah ..?)
untuk saya yang pernah merasakan beratnya perjuangan bagaimana mengibarkan merah putih di puncak tertinggi, ngenes rasanya melihat orang-orang ramai-ramai menyalahkan pemerintah tanpa secara proaktif mengubah keadaannya sendiri … becaming a lecturer in state university for me is a task to accomplish my duty in enlightening the students (young generation of Indonesia), for me its an honour,…but sadly not every person realize its responsibilities and consequences, sometimes i feel alone …. i think we have the same vision for Indonesia. Just wanna say that. Thanks
wow excellent… baguss banget inspirasinya…
Jadi Teringat kata2 seorang presiden Amerika….. Jangan tanya apa yang diberikan negara kepadamu tapi tanyakanlah apa yang kau berikan untuk negaramu…….
So Starting from Ourselves