
Di sebuah milis yang saya ikuti, sempat terjadi diskusi menarik soal nasionalisme. Beberapa ilmuwan Indonesia memilih untuk tidak pulang ke tanah air setelah menyelesaikan pendidikannya. Tentu banyak yang prihatin akan hal ini. Saya memiliki satu pandangan.
Dimensi geografis di masa lalu tentu sangat berbeda dengan yang kita lihat sekarang. Teknologi saat ini membuat dunia jadi ‘lebih kecil’ secara signifikan. Dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), kita bisa tahu apa yg dilakukan seorang kawan di Finlandia dan dua detik kemudian bertegur sapa dengan kolega di Afrika Selatan. Ini tidak bisa dilakukan di tahun 80an. Saat ini ‘negara’ dengan jumlah pendudukan terbesar ketiga bernama Facebook, taman bermain paling besar bernama Google Earth dan tempat ngerumpi paling asyik mungkin saja Twitter.
Seorang kelahiran Purwakarta yang sedang mengikuti training di China dengan trainer dari Canada dan Inggris, bisa berbagi bahan trainingnya secara instan lewat Twitter sambil sekali waktu menjawil Duta Besar Indonesia untuk Amerika yg sedang ramah tamah dengan para Diplomat dari Timur Tengah di Washington DC. TIK memungkinkan hal ini. Surat mati suri, telegram tenggelam, kartu pos kini jadi hiasan belaka. Jarak tidak lagi ditentukan dengan kilometer tetapi dengan lebar pita internet, tegur sapa diucapkan lewat Whatsapp atau BBM dan arisan keluarga berlangsung di Google Hangout. Peradaban kita telah berubah sedemikian dasyatnya.
Pertanyaan tentang nasionalisme yg dikaitkan dengan lokasi geografis, di tahun 2012 ini, tentu berbeda dengan yg terjadi di tahun 80an atau sebelumnya. Saya pribadi ingin dan semangat sekali untuk kembali pulang. Di saat yang sama, saya juga melihat banyak teman-teman yang memilih untuk tidak pulang tetapi berkontribusi aktif untuk Indonesia dari belahan dunia lainnya. Sebagai guru dan peneliti, kadang kontribusi yg bisa kita berikan bagi Indonesia justru lebih banyak ketika berada di luar negeri karena memiliki lebih banyak waktu untuk meneliti dan menulis. Saya menulis lebih banyak buku dan artikel justru saat ada di Australia. Dengan TIK, saya juga bisa tetap mengajar dan membimbing mahasiswa di Jogja, Surabaya atau di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, tanpa meninggalkan sofa tua saya di sebuah unit apartemen di Wollongong. Ukuran kontribusi seorang guru dan peneliti tentu berbeda dan tentu tidak bisa dipadankan dengan dengan profesi lainnya.
Saya pernah menuliskan kegelisahan saya, bahwa kita sepertinya perlu menera ulang nasionalisme kita. Di sisi lain saya yakin bahwa baik buruknya sebuah bangsa ditentukan, kadang kala, oleh sedikit orang bahkan hanya satu orang individu. Orang Afrika bisa memiliki kesan yang hebat tentang Indonesia karena dia berteman dengan seorang mahasiswa Indonesia di Belanda yang pintar. Sebaliknya, kesan buruk tentang sebuah bangsa juga bisa muncul karena perilaku satu orang saja.
Kembali ke urusan nasionalisme dan pertanyaan pulang atau tidak pulang ke tanah air, saya punya pandangan bahwa diskusi ini terjadi karena kita sedang terpaku pada batas-batas antarnegara yang terasa begitu kuat/nyata. Mengapa batas yg kita biacarakan adalah antarnegara? Tentu saja karena diskusi kita saat ini bersifat nasional. Jangan-jangan, di forum diskusi orang-orang Bali, ada diskusi serupa yang membahas/menyayangkan ‘mengapa putra Bali yang pintar dan sekolah ke Bandung memilih untuk bekerja di Jakarta dan tidak kembali ke Bali membangun daerahnya?’ Atau jangan-jangan di forum orang-orang Gunung Kidul ada kegelisahan yang sama ‘mengapa orang gunung Kidul yang pintar dan sekolah di UGM memilih untuk jadi dosen di UGM (Sleman) dan tidak kembali ke Gunung Kidul untuk membangun kabupatennya?’ Di Tahun 2309, mungkin akan ada diskusi yang mempersoalkan manusia dari Planet Bumi yang belajar ke planet lain tetapi tidak mau kembali ke Bumi membangun planetnya karena betah di planet baru tersebut dan kebetulan ketemu jodohnya di sana.
Having said that, saya memiliki pandangan bahwa peran seseorang di lingkup yang lebih luas, semestinya berarti dia juga berperan untuk masyarakat pada lingkup yang lebih kecil. Orang Indonesia yang memilih bekerja di New York dengan bisnis yang memerlukan interaksi antarnegara bisa jadi sangat berperan (secara tidak langsung) bagi pembangunan Desa Tegaljadi di Tabanan, Bali karena outsourcing kini menjadi keniscayaan. Dengan sekat-sekat dunia yang semakin memudar, hal ini sangat mungkin terjadi.
Secara pribadi, saya ingin sekali bisa berperan, betapapun kecilnya, untuk menjaga Indonesia. Namun nasionalisme mengejawantah dalam tindakan yang berbeda. Jika sementara orang menerjemahkan nasionalisme dengan pulang ke tanah air setelah menyelesaikan sekolah di luar negeri, yang lainnya mungkin memaknai berbeda. Jika sekelompok orang memaknai nasionalisme dengan lampion dan rumbai-rumbai merah putih saat 17 Agustus, yang lain mungkin bebeda. Yang pasti, nasionalisme juga bisa diterjemahkan dengan membuat PR tanpa menyontek atau menyelesaikan sebuah tesis yang tidak akan mengubah dunia tetapi setidaknya menyelesaikan sepotong perkara.
Seperti yang Gandhi bilang “Be the change you want to see in the world” dan dibahasakan ulang oleh Obama “We are the change that we have been waiting for“. Jadi it is not him, not her, not panjenengan, not them tetapi ‘kita’, ‘saya’ 🙂 Saya kadang marah melihat penguasa yang tidak menjalankan dharma bhaktinya dengan baik, tetapi menjadi malu ketika bertanya “sudahkah saya kerjakan tugas saya dengan semestinya?” Seperti kata Mas Anies Baswedan (yang sesungguhnya diadaptasi dari petuah para leluhur peradaban manusia), Indonesia memang masih banyak sekali kelamahannya, tetapi kini saatnya “berhenti mengutuk kegelapan dan mulai menyalakan lebih banyak lilin untuk Indonesia”. Dalam dunia yang terkoneksi, lokasi geografis tidak selayaknya jadi tema utama perdebatan nasionalisme. Karena sesungguhnya, meminjam istilah Pandji Pragiwaksono, nasional.is.me adalah soal apa yang “saya” bisa berikan. Dirgahayu Indonesia ke-67!
Tulisan yang bagus, Mas Andi! 🙂
Satu poin: Hanya karena kita lebih sering mendengarnya keluar dari mulut Pak Anies Baswedan, tidak serta-merta pernyataan tersebut layak diidentikkan dengan dirinya. Pada kenyataannya, quote tentang lilin di atas pertama kali diucapkan oleh Buddha ribuan tahun yang lalu, sehingga representasi dan pemaknaan quote tersebut lebih layak ditujukan kepadanya.
Silakan berbeda pendapat, namun saya hanya berharap semoga Opa Buddha tidak bangun dari kubur lantaran gerah quote-nya dipopulerkan orang lain.. 🙂
Subhan Zein
Makasih Mas Subhan 🙂
Ini menunjukkan pengetahuan saya yang perlu ditambah soal banyak hal. Kenyataannya sumber-sumber lain memang memuat kutipan ini sejak lama bahkan sebelum Mas Anies lahir 🙂 Tulisan ini akan dikoreksi setelah ini 🙂
Pleasure is mine, Mas. Keep shining, keep inspiring! 🙂
Subhan Zein
Thanks brother. You too! 🙂
Keep shinning, keep inspiring! Yes, we both do. Let’s pray for each other, the way we pray for our country tonight. 🙂
Subhan Zein
Saya mengangguk-angguk ketika membaca tulisan Bli Andi. Jika diibaratkan sepakbola, nasional-is-me itu seperti karir pemain sepakbola. George Weah hijrah dari Liberia menuju Eropa dan bermain bola di klub besar seperti Monaco, PSG, AC Milan, Chelsea, Manchester City selama 14 tahun tanpa kembali ke negaranya. Dari jauh beliau menyumbangkan 50% gajinya per tahun untuk membantu anak-anak miskin via sekolah sepakbola di negerinya. George kembali lebih solid ketika masuk dunia politik tahun 2005 – sekarang, dan membantu mengentaskan kemiskinan di banyak wilayah Liberia. So, if George wanna do it, why won’t we?
Sebuah analogi yg cemerlang Mas Riza 🙂