
Tahun 2007, saya berkunjung ke Canberra dan mengikuti sebuah diskusi yang sangat menarik. Pembicaranya adalah mahasiswa dan peneliti Indonesia yang bermukim di Australia. Topik menarik yang diangkat adalah ‘pilihan peneliti Indonesia untuk bertahan di luar negeri atau kembali ke tanah air’. Urusannya tentu saja tidak sederhana dan pertanyaan itu, seperti bisa diduga, tidak bisa dijawab dengan singkat. Benar saja, pembicara memberikan berbagai terori. Bahwa bertahannya para peneliti Indonesia di luar negeri tidak selalu merupakan gejala brain drain, alias kaburnya asset intelektual bangsa karena godaan di negeri seberang lebih baik. Gejala ini juga merupakan brain overflow, alias tumpah dan melubernya asset intelektual hingga ke luar negeri karena di dalam negeri tidak tertampung. Sang pembicara menceritakan usahanya mencari pekerjaan di Indonesia lewat fasilitas internet (email) tetapi satupun tidak mendapatkan respon. Jangankan diterima, dibalaspun tidak. Berita penolakan juga tidak pernah ada, katanya berkelakar.
Pertanyaan yang muncul saat itu, seperti halnya diskusi serupa lainnya, ‘apakah yang memilih tinggal di luar negeri itu tidak nasionalis?’ Atau ‘dijaminkah mereka yang pulang ke Indonesia itu lebih nasionalis dibandingkan yang tidak pulang?’. Diskusipun seru, pro dan kontra selalu ada. Diskusi menarik itu mengingatkan saya pada banyak diskusi dan kejadian sebelumnya di berbagai tempat.
Saya masih ingat di pertengahan tahun 1990an memiliki seorang dosen lulusan luar negeri. Hampir setiap mengajar, dosen ini menyampaikan ketidakpuasannya terhadap kampus dan Indonesia secara umum. Lama-lama, kami terbiasa dengan berbagai ucapan dan kelakar yang mengolok-olok negeri sendiri. Di zaman itu, rasanya fun, senang dan puas. Berseberangan dengan negara dan kekuasaan adalah salah satu kebanggan di kala itu. Gejolak jiwa muda mahasiswa seperti dipompa menjadi semakin besar dan terpuaskan. Namun setelah berpikir ulang saya bertanya ‘benarkah itu hal terbaik yang bisa dilakukan oleh seorang pendidik?’ Harus jujur diakui, mengolok-olok menghadirkan kepuasan tersendiri tetapi mengolok-olok tanpa berusaha memperbaiki mungkin bukanlah hal terbaik yang bisa dilakukan seorang anak bangsa. Jika seorang dosen yang disekolahkan negara kemudian pulang lalu menjadikan kelemahan bangsa sebagai bahan olok-olok tanpa kesungguhan memperbaikinya maka tidak sulit meramal nasib suatu bangsa.
Dulu saya memahami bahwa tinggal di dan berbuat untuk Indonesia adalah satu-satunya cara menunjukkan cinta. Setelah mengunjungi tempat-tempat di dunia dan bergaul dengan bangsa-bangsa lain, saya memiliki pemahaman yang berbeda tentang nasionalisme. Saya adalah warga Desa Tegaljadi di Bali yang juga warga Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, ada godaan untuk menjadi primordial, berbuat sesuatu untuk masyarakat yang lebih kecil cakupannya. Hal itu berubah setelah melihat Indonesia lebih dekat. Ada keyakinan bahwa berbuat untuk sesuatu yang besar cakupannya secara tidak langsung akan berpengaruh pada sesuatu dalam lingkup yang lebih kecil di dalamnya.
Sejalan dengan itu, kesempatan mengenal negeri-negeri yang jauh juga membuka pandangan saya tentang Indonesia. Bali memang memiliki daya tarik yang luar biasa, tetapi saya yakini, Bali hanya satu saja titik kecil di planet bumi diantra ribuan atau jutaan titik lain yang juga istimewa. Dengan tetap mensyukuri segala yang dimiliki, saya menjadi lebih terbuka dalam mengakui keistimewaan hal-hal lain di luar yang saya miliki. Garuda Wisnu Kencana yang besar dan megah di ujung selatan Bali boleh jadi istimewa, tetapi sebuah patung mungil di sebuah perempatan jalan sempit di Brussels ternyata bisa sama atau bahkan lebih istimewa bagi banyak orang lainnya. Maka dari itu, saat ada kawan saya yang mempertanyaan cinta saya pada negeri karena lebih sering berada di luar negeri, saya menjawab takzim “cinta saya kini lebih sempurna. Sebuah cinta yang rasional dan mantap karena saya telah melihat dan menikmati negeri lain. Cinta ini bukan cinta buta karena tidak punya pilihan.”
Cinta dan semangat nasionalisme berkembang senantiasa. Menyetujui apa yang dikatakan seorang Pengajar Muda, demonstrasi ketika masa kuliah bisa jadi terasa sangat nasionalis tetapi berkesempatan menjadi guru di sebuah sekolah di desa terpencil di pelosok negeri, ternyata menjadikan seseorang merasa lebih nasionalis lagi. Nasionalisme, menurut saya, adalah seperti Dino Patti Djalal yang dengan kekuasaannya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerka Serikat, berupaya sekuat tenaga mengenalkan Indonesia kepada dunia. Nasionalisme adalah berdiri dan berbicara tentang Indonesia di depan forum internasional sambil berkelakar santai karena meyakini para pendengarnya tidaklah lebih tinggi kastanya dari dirinya. Nasionalisme adalah seperti Anies Baswedan yang dengan tajam dan berani mengkritik kelemahan Indonesia dan pemimpinnya tetapi dengan serius mengajak para muda untuk mensyukuri apa yang telah dicapai Indonesia selama ini. Dipamahaminya bahwa pendidikan adalah juga tanggung jawab warga negara terdidik dan harus dilihat sebagai sebuah gerakan yang bisa bersifat bottom-up, bukan saja program yang cenderung top-down. Nasionalisme adalah mengkritik kekurangan program pendidikan seraya berkeringat berani lecet membuat gerakan Indonesia Mengajar dan mengirimkan anak-anak muda terbaik negeri ini ke pelosok tanah air. Nasionalisme adalah menyiapkan generasi muda negeri ini yang memahami bangsanya karena pernah hidup bersama mereka di tempat-tempat terpencil, tetapi di saat yang sama, memiliki kompetensi global, bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Nasionalisme adalah seperti Gita Wirjawan yang dengan kecerdasannya telah berkiprah di dunia internasional sebagai pelaku bisnis tetapi kemudian memilih dengan sadar untuk kembali ke tanah air. Nasionalisme adalah kemampuan mengartikulasikan dan menjual kebaikan Indonesia dengan ekspresi yang baik dan elegan sehingga investor berdatangan dengan tetap menaruh rasa hormat pada Indonesia.
Nasionalisme tidak hanya bertengger pada orang-orang hebat. Dia juga mudah ditemukan di ruang-ruang sederhana atau di kerumunan orang-orang yang tidak muncul di Koran. Nasionalisme adalah seperti ibu saya yang hanya lulus SD tetapi memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk bersekolah tinggi dengan jaminan darah dan keringatnya. Nasionalisme adalah bercerita dan berkisah dengan bahasa sederhana tentang keberhasilan anaknya kepada para ibu di desa sehingga mereka kelak termotivasi. Nasionalisme adalah merelakan rumahnya berantakan dan bising karena anak-anak desa kecil datang belajar tentang masa depan.
Nasionalisme adalah seperti Dewa Budjana yang dengan tekun mengaransemen lagu “Amnesia” atau memetik gitar dengan cantiknya untuk lagu “Akhirnya” yang dibawakan Armand Maulana dalam sebuah konser ngabuburit. Nasionalisme adalah seperti Band Gigi yang memahami Dewa Budjana yang harus ijin dari aktivitas karena melaksanakan odalan atau otonan untuk anaknya. Nasionalisme adalah seperti Tri Utami yang dengan segenap penjiwaannya mendendangkan Gayatri Mantram untuk Nyanyian Dharma, tanpa risau dengan urusan agama dan keyakinan. Nasionalisme adalah dengan fasih mengucapkan innalillahiwainnailaihirojiun ketika menjelaskan konsep prelina dalam Hindu sehingga Ngaben itu menjadi mudah dipahami oleh seorang kawan Nasrani. Nasionalisme adalah menikmati keindahan Bulan Purnama seraya berucap selamat Waisak pada seorang kawan Buddhist dan tidak keliru memahami bahwa Prambanan dan Borobudur adalah dua candi berbeda, untuk dua agama yang berlainan.
Saya kembali ingat diskusi tahun 2007 silam di Canberra. Bisakan seseorang dituduh tidak nasionalis jika memutuskan untuk tidak kembali ke tanah air setelah menyelesaikan sekolah dengan beasiswa yang pengadaannya atas nama pemerintah Indonesia? Tentu saja pertanyaan ini menjadi sangat dangkal karena nasionalisme itu ternyata tidak secara kuat terkait lokasi geografis seperti halnya di dekade-dekade lalu. Entah seseorang memilih dengan sadar menjadi bagian dari brain drain atau menjadi korban brain overflow, keduanya bisa tetap mengklaim diri sebagai seorang nasionalis, jika berbagai kesempatan dan posisinya dimanfaatkan untuk memajukan bangsanya.Meski demikian, jawaban yang paling jujur tentu saja bisa datang dari diri sendiri. Apakah saya mencurahkan perhatian yang cukup sesuai dengan peran dan posisi saya untuk memikirkan nasib negara? Tentu hanya saya yang bisa menjawab dan kemudian bisa mengklaim apakah saya nasionalis atau tidak.
Senada dengan yang diucapkan Gandhi tentang Ahimsa, bahwa ahimsa atau non violence adalah suatu situasi saat seseorang mampu melakukan perlawanan dan memukul pihak lain tetapi dengan kesadaran tidak dilakukannya. Orang yang tidak memukul atau tidak melawan karena takut tidak sedang melakukan Ahimsa, kata Gandhi. Maka jika ada orang yang menuduh seseorang yang tinggal di luar negeri sebagai orang yang tidak nasionalis karena dirinya sendiri tidak bisa atau tidak laku di luar negeri, tuduhan itu menjadi tidak bermakna. Saya sendiri, dengan kayakinan sendiri, masih memilih untuk kembali pulang, berkeringat dan berbasah-basah sambil menikmati aroma udara tropis dan bercerita tentang dunia pada anak-anak muda yang suatu saat akan berkelana lebih jauh dan lebih lama.
Yang pasti, menurut saya pribadi, mengutuk dan mencaci Indonesia tanpa berbuat sesuatu yang sesungguhnya bisa dilakukan, tidak menjadikan seseorang sebagai kaum nasionalis. Di sisi lain, meneriakkan nasionalisme dan buta akan kelemahan negeri serta antipati terhadap orang yang gemar mengkritik Indonesia juga tidak menjamin seseorang menjadi seorang nasionalis. Menyetujui slogan di Indonesia Mengajar, “mari berhenti mengutuk kegelapan dan mulailah menyalakan lebih banyak lilin.” Indonesia memerlukan lebih banyak lilin saat ini.
Ingatan saya melayang ke masa kecil. Kini saya semakin menyadari, selain sebagai warga Desa Tegaljadi, saya adalah juga warga dunia. Saya hidup di sebuah desa yang Bernama “Global Village.” Membantu mewujudkan dunia yang lebih baik, pastilah akan meningkatkan jaminan bahwa Desa Tegaljadi juga menjadi lebih baik. Satu yang saya pastikan, setelah mengembara ke tempat-tempat jauh, darah saya tetaplah merah, seperti tulang saya yang akan selalu putih. Dirgahayu Indonesia ke-66.
Tulisan yang menarik mas Andi.
Sangat menarik bli….dirgahayu Indonesia…salam TRISMA!
Salam Trisma 🙂
Saya ingat saat pertama kali mendapat kesempatan utk “hidup” di luar Indonesia, setiap “kejelekan” diidentikkan dg Negeri yg saya cintai. Stempel “dasar Indonesia!” selalu terdengar setiap ada temen menyeberang jalan di tempat yg bukan semestinya, membuang sampah sembarangan, dan lain-lain tindakan “nyeleneh” dr ukuran ideal. Namun, hrs sy akui, “stempel” tsb
… stempel tsb bisa menjadi cermin introspeksi yg semakin “menyempurnakan” cinta ini atas negeri. Setiap diskusi selalu didasari semangat utk mengganti cermin dg cermin yg menjadikan kami lbh bangga, karena pada dasarnya Negeri ini memang pantas utk dibanggakan. Dirgahayu Indonesia.
Saya tidak tahu harus berkomentar apa tentang tulisan anda. Saya hanya mau berucap “Terimakasih banyak, bli”.
tulisan yang bisa ‘membuka pikiran’, nice sharing pak
Tulisan yang amat sederhana dengan isi yang luar biasa. Good, nasionalisme tak diukur dari bendera, tapi dari apa yang bisa kita lakukan demi kebaikan negeri ini. Saleum..
right or wrong or worse, my own country…
kita bisa memilih untuk pasrah pada kondisi Indonesia atau memilih untuk bergerak merubahnya jadi lebih baik. itu yang menurut saya kemerdekaan jiwa sesungguhnya
right or wrong or worse, my own country
sumpah, saya ini org yg gak suka bac. tp ntah kenapa, tulisan ini buat sy betah :’)
Terima kasih telah menyampaikan aprasiasi dengan jujur 🙂 Penulis jadi semangat membaca jika pembacanya jujur seperti ini he he
tulisan yg sangat baik, menunjukkan kematangan dan pengalaman bapak selama ini. Sy pernah dengar ungkpan dr seseorang “tidak ada cinta yg sempurna,tapi bnyk org selalu berusaha mencintai dgn sempurna. dan itulah cinta yg plg indah”
Terima kasih sudah mampir dan terima kasih atas kutipannya yang menyejukkan 🙂
menurut sy saat ini salah satu arti nasionalisme dlm konteks luar negri adalah bagaimana kita studi, tinggal dan mengenalkan Indonesia ke masyarakat luar dan yg lebih penting mengajak keluarga terlebih anak2 kita utk merasakan bangganya sebagai org Indonesia diantara kehidupan orang asing, semoga..
Pandangan yg Bagus …