New York 2012: Kebaikan-kebaikan kecil

Note: Cerita ini adalah bagian dari New York 2012

Saya sedang berada di antrian panjang imigrasi saat akan meninggalkan Sydney menuju LA dalam perjalanan ke New York. Antriannya sangat panjang, lebih panjang dari yang pernah saya lihat. Di depan saya terlihat puluhan anak muda berseragam dengan tulisan “Las Vegas Tour 2012”. Rupanya beberapa anak sekolah Australia akan bersenang-senang di Las Vegas. Ini yang membuat antrian jadi lebih panjang.

Continue reading “New York 2012: Kebaikan-kebaikan kecil”

New York 2012: Pertemuan Alumni UN Nippon Foundation Fellowship

Note: Cerita ini adalah bagian dari New York 2012

The Alumni

Agenda utama kunjungan saya ke New York adalah untuk menghadiri pertemuan alumni UN-Nippon Foundation Felloswhip yang dilangsungkan bersamaan dengan peringatan 30 tahun UNCLOS. Saya diundang sebagai mantan representatif (presiden) alumni dan sebagai pengelola media jejaring terutama website alumni.

Continue reading “New York 2012: Pertemuan Alumni UN Nippon Foundation Fellowship”

New York 2012: Tiga Dekade UNCLOS

Note: Cerita ini adalah bagian dari New York 2012

Sidang Umum PBB
Sidang Umum PBB

Jam 9 pagi tanggal 10 Desember 2012 saya sudah berada di depan Gedung 2 UN Plaza di 44th Street di Manhattan. Di Gedung inilah berkantor United Nations Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea (DOALOS). Lima tahun lalu saya berkantor di gedung ini selama tiga bulan saat menyelesaikan penelitian tentang landas kontinen Indonesia. Kini saya kembali sebagai alumni. Rasanya luar biasa.

Beberapa saat kemudian delegasi dari berbagai negara berdatangan. Saya melihat Andrei, seorang alumni lain dari Brazil, mendekat. “You must be Andi!” katanya dan saya sambut dengan ramah dengan mengataan “I am sure you are Andrei!” Beberapa alumni lain juga datang satu per satu termasuk petinggi DOALOS dan beberapa professor dari berbagai institusi di Amerika dan Eropa. Alumni UN-Nippon Foundation Fellowship yang diundang untuk menghadiri peringatan ulang tahun UNCLOS ke-30 di New York adalah Andrei (Brazil), Abbas (Djibouti), Sampan (Thailand), Andi (Indonesia), Muhiuddin (Bangladesh), Mustaffa (Oman), Anama (Samoa), Me Chinho (Sao Tome and Principe), Lilian (Guatemala), Ansy (India), Gloria (Tanzania), dan Cecilia (Chile). Sementara itu di New York sedang ada beberapa orang yang sedang melakukan kegiatan fellowship seperti yang saya lakukan lima tahun lalu. Mereka adalah Joy (Fiji), Cecilia (Brazil), Nicole (Barbados), Jean (Madagascar) Godwin (Ghana), Fiona (Solomon Island), Senia (Indonesia) dan Mahdi (Comoros).

Jam 9.50 kami segera bergerak dari 2 UN Plaza menuju UN Secretariat yang ada di 1st Avenue tidak jauh dari tempat kami berkumpul. Dingin tidak terasa karena kehangatan mulai tercipta dari percakapan yang sangat akrab. Saya bertemu lagi dengan beberapa teman yang sudah saya temui di berbagai tempat sebelumnya sehingga percakapan jadi hidup. Memasuki Sekretariat PBB bukan perkara mudah, pemeriksaan sangat ketat. Kami melewati sebuah bangunan khusus untuk pemeriksaan barang bawaan layaknya masuk pesawat. Laptop dikeluarkan, ikat pinggang dilepas, segala elektronik lain dan logam dikeluarkan dari tempatnya, dan sepatupun dilepas jika perlu. Setelah itu kami memasuki ruang Sidang Umum PBB guna memperingati ulang tahun UNCLOS ke-30.

Ruangan begitu besar dan berwibawa, delegasi berbagai negara telah menempati meja masing-masing dengan tanda delegasi negara. Kami para alumni duduk di tribun atas sehingga leluasa menikmati semuanya. Tepat di depan saya adalah panggung dan podium dengan latar belakang logo PBB di belakangnya yang terpampang besar. Suasana begitu berwibawa, sesuatu yang sudah saya nikmati lima tahun lalu tetapi baru kali ini saya perhatikan dengan seksama. Sorot lampu yang sedemikian rupa menciptakan suasana yang serius dan anggun di ruangan itu, semua orang hening. Sementara itu kami para alumni yang duduk di tribun masih asik bercakap-cakap bernostalgia.

Peringatanpun dibuka oleh pembawa acara yang kemudian menyerahkan waktu kepada Sekretaris Jendral PBB, Ban-Ki Moon untuk memberikan pidato. Sejujurnya, tidak mudah mendengarkan pidato inspiratif dalam acara-acara formal PBB semacam ini. Waktunya singkat, kata-katanya formal dan acaranya telah diatur dengan kaku. Selain itu, harus diakui, Ban-Ki Moon bukanlah seorang orator ulung. Dia adalah pemimpin yang baik tanpa kualitas orasi yang menggetarkan hati. Ban-Ki Moon bukan Obama, itu pasti. Isi pidatonya tidak begitu baru tetapi jelas tegas menguatkan harapannya akan kepedulian terhadap isu kelautan di masa depan serta apresiasinya terhadap UNCLOS.

Tommy Koh berbicara setelah Ban-Ki Moon. Pidatonya lebih inspiratif. Tommy adalah presiden konferensi yang mewujudkan UNCLOS 30 tahun silam. Lelaki inilah yang menyebut UNCLOS dengan istilah “Constitution of the Oceans” yang menandakan bahwa konvensi ini adalah aturan hukum paling komprehensif yang mengatur isu kelautan dan hukum laut. Salah satu yang menarik adalah dia mendorong secara tegas agar Amerika Serikat sebagai tuan rumah peringatan ulang tahun UNCLOS ke-30 segera meratifikasi UNCLOS. Seperti yang diketahui banyak orang, Amerika sampai asat ini belum menjadikan UNCLOS sebagai bagian dari hukum nasionalnya karena belum melakukan ratifikasi. Di kesempatan lain, ajakan Tommy Koh ini disambut oleh delegasi dari Amerika dengan mengatakan bahwa Presiden Obama da Sekretaris Clinton mendukung ratifikasi tersebut dan kini Amerika sedang berproses. Meski demikian, semua orang tahu bahwa proses itu tentu tidak akan berjalan cepat.

Berbagai delegasi dari Asia, Pasifik, Afrika, Latin Amerika, Eropa dan lain-lain berbicara satu per satu. Semua mengungkapkan keberhasilan UNCLOS dalam tiga dekade ini dan harapannya ke depan. Selain memuji UNCLOS, masing-masing menyampaian apresiasi terhadap tokoh-tokoh yang telah menyumbangkan pemikiran, waktu dan tenaganya untuk mewujudkan UNCLOS menjadi seperti sekarang.

Salah satu yang menjadi bahasan menarik adalah penambangan di laut dalam atau deep seabed mining yang umumnya berada di luar kewenangan (yurisdiksi) suatu negara. Penambangan di lokasi seperti ini dimungkinkan dengan pengawasan dari International Seabed Authority (ISA). Intinya, penambangan semacam ini bisa dilakukan oleh suatu negara dengan konsekuensi harus berbagi hasil sedemikian rupa yang kemudian didistribusikan kepada negara-negara di dunia, termasuk yang tidak memiliki pantai/laut (land-locked states). Penambangan di laut dalam ini memerlukan perhatian yang lebih karena kini teknologi penambangan sudah memungkinkan aktivitas semakin jauh dari daratan.

Sementara itu saya menyimak dengan takzim. Apa yang dikatakan oleh para pembicara itu tentu tidak lebih hebat dari apa yang bisa dibaca di buku dan jurnal tentang UNCLOS tetapi menjadi istimewa karena semua itu disampaikan langsung. Saya tidak pernah bertemu langsung dengan Ban-Ki Moon atau Tommy Koh sebelumnya meskipun sudah sangat mengenalnya dari media. Peringatan ulang tahun UNCLOS ke-30 itu menjadi semacam wadah bertemunya para pendekar senior seperti Tommy Koh dengan anak-anak bawang seperti saya. Jika generasi memang berganti maka para dewa itu tetap harus digantikan kelak. Para muda, mau tidak mau, siap tidak siap, harus menyandang peran itu suatu saat nanti. Sayapun melihat kawan-kawan saya sesama alumni UN-Nippon Foundation Fellowship dari berbagai benua yang terkesima menyimak. Mungkin dalam benak mereka ada kelebat pemikiran yang sama bahwa suatu saat mereka harus siap meneruskan tongkat estafet idealisme para penjaga samudera itu. Tiga dekade yang telah dilalui dengan baik adalah masa penting tetapi tantangan ke depan tentu jauh lebih penting. Selamat ulang tahun UNCLOS ke-30.

New York 2012: Hingar bingar Manhattan

Note: Cerita ini adalah bagian dari New York 2012

Tanggal 10 Desembe 2012 pukul 8.30, saya telah memasuki Grand Central Station di 42th Street New York. Pertama kali saya terkesan dengan stasiun yang besar dan megah ini adalah ketika nonton Madagascar saat berada di Sydney. Petualangan Alex, Marty, Gloria dan Melman yang melarikan diri dari Central Park Zoo mengenalkan saya pada Grand Central Station yang begitu khas. Desainnya yang mewah dan multifungsi dan banyaknya orang yang berlalu lalang membuat stasiun ini hidup lebih dari sekedar tempat singgah. Lima tahun lalu saya memasuki stasiun ini dan saya takjub. Kali ini saya merasakan semangat yang sama. Semangat yang hidup dan bergairah. Gerakan orang yang cepat, suara sepatu yang bertalu dan cahaya yang membias sedemikian rupa menghadirkan semangat yang gemuruh.

Saya sempatkan menikmati suasana itu, menikmati gerakan orang yang begitu liar dan bergairah serta suara-suara yang beradu. Sementara itu, musisi jalanan menunjukkan kebolehannya. Di bagian pusat stasiun nampak ada tempat informasi dan loket-loket penjualan tiket. Jam itu masih sama. Sama dengan yang dirusak oleh Melman di film Madagascar. Cahaya yang tidak terlalu cerah menghadirkan suasana yang temaram tetapi cukup terang untuk menuntun pergerakan orang-orang yang tergesa.

Saya keluar dari Grand Central Station dan menghirup udara Manhattan yang hidup dan bergetar. Semua orang mengenakan baju tebal, sebagian besar memakai jubah panjang hitam karena dingin. Semua orang bergerak cepat dan tergesa. Di jalanan nampak mobil bergerak, bus melaju dan taxi kuning bertebaran. Dari lubang-lubang di tengah jalan mengepul asap putih tebal dari mesin pemanas yang menghangatkan musim dingin. Klakson terdengar sekali sekali menambah riuh suasana. Di depan stasiun terdengar teriakan orang-orang menjajakan koran atau bulletin yang dibagikan gratis kepada pejalan kaki. Saya melihat satu per satu pejelan kaki menggamit pemberian itu lalu mulai membaca atau memasukkannya ke dalam tas untuk dibaca di lain waktu. Ratusan orang itu berhamburan menyusuri Lexington Avenue yang melintas di sisi timur Grand Central Station. Mereka bergerak ke berbagai arah menuju kantor masing-masing. Semua cepat, semua bergegas.

Manhattan seperti pulau sendiri di New York. Dia dipisahkan oleh Hudson River dengan Queens dan Brooklyn di sebelah barat dan baratdaya. Di sebelah timurlautnya terdapat The Bronx dan Yonkers di sebelah utaranya. Di sebelah baratnya adalah Newark, New Jersey yang sudah merupakan negara bagian lain. Jika Anda belum pernah ke New York dan membayangkan New York adalah Gotham City di film Batman atau ribuan gedung tinggi tempat Spiderman bergelantungan maka itu adalah Manhattan. Manhattan adalah sebuah borough di New York.

Rancangan Kota Manhattan sangat rapi berbentuk grid yang teratur dengan keseluruhan kota yang memanjang dari utara ke selatan. Jalan-jalan yang berarah timur-barat disebut street sedangkan yang berarah utara-selatan disebut avenue. Nama jalannyapun sangat mudah diingat karena menggunakan nomor. Nama jalannya adalah 1st street, 2nd street, 3rd street, dan seterusnya yang membesar dari selatan ke utara. Begitu pula dengan avenue yang diberi nama 1st avenue, 2nd avenue, 3rd avenue yang membersar dari timur ke barat. Maka dari itu alamat sebuah gedung seperti gedung 2 UN Plaza adalah di 44th Street diantara 1st dan 2nd Avenue. Ini artinya gedung ini berada di sepanjag 44th Street di sisi timur kota Manhattan. Berbeda dengan street, penamaan avenue tidak hanya dengan angka. Ada juga yang bernama Lexington Avenue, Madison, Park dll. Antara 3rd Avenue dan 5th Avenue, misalnya, ada Lexington, Park dan Madison Avenue. Secara umum, mencari alamat di Manhattan sangatlah mudah.

Menyusuri jalan-jalan di Manhattan seperti masuk belantara pencakar langit. Jalanan terintimidasi oleh deretan gedung tinggi yang membuatnya jadi terkesan sempit. Di gedung-gedung itulah Spiderman, tokoh superhero fiktif, bergelantungan dan berlompatan, seperti juga Batman dan Robin yang menyelamatkan warga yang teraniaya penjahat. Jika berkunjung ke Times Square maka gemerlap Manhattan akan nampak jelas. Lampu berkelip 24 jam sehari, berbagai layar raksasa menampilkan tontonan yang berkelebat-kelebat. Di Times Square inilah berbagai merek dan produk berlomba mempertontonkan diri. Disney store yang ramai, Microsoft yang canggih, Apple yang mentereng, Toys R us yang riuh rendah, semuanya berpadu jadi satu. Di jalanan terlihat orang berlalu lalang tanpa henti. Bus-bus pariwisata berderet membawa berpuluh-puluh pengunjung dan wisatawan tak henti-hentinya mengabadikan gambar menambah kilatan cahaya di Times Square yang terang benderang.

Di Times Square yang tidak jauh dari Grand Central Station, bisa dijumpai banyak tokoh Disney yang melakukan atraksi di jalan. Mereka dengan cekatan menggoda para pengunjung dengan tingkah polahnya yang menggemaskan. Di sudut lain ada bus sekolah seperti pada film Spiderman yang melintas membawa anak-anak sekolah lalu tiba-tiba ada seseorang berkostum Spiderman melompat merangkak di dinding bus itu lalu naik ke atasnya. Semua seperti sungguhan dan para pengunjung berteriak histeris.

Saat menyusuri 44th Street menuju Gedung 2 UN Plaza tempat kami akan berkumpul untuk pertama kali, saya melihat kerumunan orang dari kejauhan. Saya lihat berbelas kamera dan belasan pekerja lainnya sibuk mengatur lalu lintas orang. Saya duga ini adalah sebuah proses syuting, entahlah untuk apa. Sayapun melaju tidak begitu peduli menerobos kerumunan itu. Dingin yang mencekam membuat saya tidak sempat memperhatikan terlalu lama. Saat melewati beberapa orang yang sibuk menyiapan syuting, tiba-tiba saya melihat seseorang yang sepertinya pernah saya lihat. Tubuh lelai itu tinggi dan wajahnya begitu akrab di mata saya tetapi saya tidak begitu yakin pernah bertemu orang ini. Saya melewatinya dengan penuh rasa penasaran, dia sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang yang duduk di deretan kursi di pinggi 44th Street. Tiba-tiba saja saya ingat, orang itu adalah Vince Vaughn, salah satu aktor Hollywood terkemuka. Saya segera menghentikan langkah mengambil kamera dan membidik wajahnya dari jauh. Sesaat kemudian datang seorang perempuan yang rupanya bekerja sebagai seorang petugas keamanan untuk proses syuting itu “I am sorry sir, but you are not allowed to take any picture.” Sayapun meringis, mengangkat tangan pertanda penerima larangan itu. Tapi dia tidak tahu, beberapa fotonya telah saya abadikan di kamera saya. Hidup di Manhattan memang seperti menjadi bagian dari film-film yang kita saksikan di bioskop tanah air.

Vince Vaughn

New York 2012: Akomodasi

Note: Cerita ini adalah bagian dari New York 2012

Dalam pertemuan alumni sebelumnya, UN-Nippon Foundation selalu menyediakan akomodasi untuk semua perserta. Kali ini sedikit berbeda, mereka hanya memberi uang harian dan menyerahkan kepada peserta untuk menentukan akomodasi masing-masing. Pilihan ini bisa baik, bisa buruk. Mereka yang tidak terbiasa mengurus sendiri akomodasinya mungkin akan kesulitan menemukan akomodasi yang tepat di New York. Selain mahal, Desember adalah bulan yang sibuk dengan kunjungan sehingga akomodasi pasti sulit dicari. Meski demikian, bagi yang paham cara mengurus akomodasi sendiri, pilihan ini bisa jadi sebuah keberuntungan karena peserta bebas mendapatkan akomodasi dengan harga yang lebih terjangkau sehingga bisa menghemat uang yang disediakan oleh UN-Nippon Foundation. Saya termasuk kelompok yang kedua.

Begitu memastikan diri akan berangkat ke New York, saya segera menghubungi tuan rumah tempat saya tinggal lima tahun lalu ketika mengikuti program UN-Nippon Foundation Fellowship. Ibu Endang, tuan rumah saya, sangat baik hati, demikian pula suami beliau, Pak Madjid dan dua putra-putrinya. Ternyata ada satu kamar kosong dan saya diijinkan tinggal bersama mereka. Satu urusan sudah selesai.

Hubungan saya dengan Ibu Endang tetap terjalin karena sejak 2007 saya selalu merekomendasikan peserta program UN-Nippon Fellowship untuk tinggal bersama beliau. Sudah ada beberapa orang setelah saya yang akhirnya tinggal di rumah beliau di Queens dan merasa sangat nyaman. Saya yakin semuanya diuntungkan dengan ide ini. Ibu Endang tentu terbantu karena kamarnya bisa disewa oleh orang-orang yang jelas asal usulnya, teman-teman saya juga terbantu amat sangat karena harga sewa yang begitu bersahabat. Beberapa peserta dari Indonesia, Thailand, India, Cameroon, dll, telah menempati rumah nyaman itu. Semuanya happy, semuanya ingin kembali. Kini giliran saya yang kembali menempati rumah itu, saya kembali ke New York setelah lima tahun. Winter yang saya tinggalkan dulu masih sama karena saya kembali tepat di bulan yang sama: Desember.

Beberapa kawan yang harus tinggal di hotel harus merelakan lebih dari 150 dolar uangnya per malam untuk tinggal di New York yang mahal. Itupun bukan kelas hotel berbintang. Sementara itu UN-Nippon memberi 300an dollar per hari untuk semua kebutuhan dan masing-masing hanya dibiayai untuk empat hari. Artinya, kalau ingin menghabiskan beberapa hari setelah acara di UN seperti yang saya lakukan maka uangnya akan sangat mepet. Sekedar informasi, tempat tinggal yang wajar di Manhattan (apartemen) bisa seharga $2000 per bulan. Harga hotel yang relatif murah pada kisaran $200 per malam. Saya beruntung karena sewa kamar di tempat Bu Endang sangat terjangkau. Karena hanya seminggu, itupun beliau hampir tidak mau dibayar. Tentu saja tidak adil jika saya tidak membayar dengan harga pantas. Saya sudah berutang budi, sedapat mungkin tidak terlalu banyak berutang materi, meskipun kenyataannya pastilah saya telah terbantu banyak sekali oleh kebaikan keluarga Bu Endang.

Ada juga beberapa kawan lain yang tinggal bersama perwakilan mereka di New York. Teman-teman saya banyak yang diplomat dari Asia, Afrika dan Latin Amerika serta Karibean sehingga tidak sulit bagi mereka untuk mendapatkan bantuan akomodasi dari perwakilan negaranya di New York. Jika demikian halnya, tentu saja mereka akan terbantu dan bisa menghemat uang yang disediakan oleh UN-Nippon Foundation. Saya sendiri sesungguhnya bisa saja mencoba menghubungi Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) atak Konsulat Jenderal RI di New York karena memang punya beberapa kawan di sana. Meski demikian, saya urungkan karena sepertinya akomodasi yang mereka miliki akan penuh karena waktunya bertepatan dengan sidang umum PBB. Meski tidak tinggal bersama perwakilan, saya akan sempatkan mampir dan diskusi dengan beberapa orang di PTRI dan KJRI.

Malam ketika saya tiba di Bandara JFK, saya langsung naik taxi dan memberikan alamat rumah Bu Endang kepada sopir taxi. Menurut Google Maps, perjalanan sekitar 16 menit jika lancar. Meski demikian, malam itu hujan cukup deras dan rupanya ada pengalihan jalur. Sopir taxi bahkan sempat menelpon Ibu Endang untuk memastikan alamat dan jalur alternative yang tepat untuk mencapainya. Selama perjalanan, saya berbicara banyak dengan sopir yang berasal dari Pakistan itu. Perjalanan sangat nyaman dan bersahabat. Wawasannya yang cukup luas tentang politik dan geografi membuat dia fasih berbicara tentang Indonesia dan negara-negara sekitarnya. Rupanya sopir taxi ini beberapa tahun menjadi awak kapal yang berlayar di sekitar Asia.

Sekitar jam delapan malam, saya tiba di rumah Bu Endang di bilangan Middle Village di Queens. Jaraknya dengan gedung PBB di Manhattan sekitar 40 menit ditempuh dengan bus dan subway. Untuk privasi, saya tidak akan sampaikan alamat beliau di tulisan ini tapi saya selalu bersedia mengenalkan teman-teman saya yang membutuhkan akomodasi di New York. Telah banyak yang terbantu oleh kebaikan beliau. Mungkin Anda berikutnya.

New York 2012: Perjalanan

Note: Cerita ini adalah bagian dari New York 2012

Tanggal 9 Desember 2012 adalah hari H saya harus terbang ke New York. Membayangkan saja rasanya sudah lelah karena penerbangannya sangatlah panjang. Waktu temput sekitar 22 jam dari Sydney ke New York City dengan sekali transit gi Los Angeles. Dengan perbedaan waktu 16 jam, bisa dibayangkan dramatisnya jet lag yang akan dialami.

Jam 9.20 saya sudah melaju dari North Wollongong Station menuju Sydney International Airport dengan kereta api. Mas Handoko, flat mate baru, mengantar dengan si biru, mobil yang begitu setia menemani sejak tahun lalu. Perjalanan lancar jaya sampai di Bandara. Tanpa menunggu lama, saya langsung check in di Delta Airlines untuk penerbangan jam 14.40. Hanya ada satu isu kecil, paspor saya tidak memuat visa Australia karena visa-nya elektronik. Petugas counter menanyakan hanya untuk memastikan. Dia berbaik hati menanyakan itu agar saya tidak mendapat masalah ketika pulang dari Amerika dan masuk Australia lagi minggu depan. Sayapun memastikan bahwa saya memiliki visa Australia dengan menunjukkan visa elektronik lewat email yang bisa diakses lewat iPhone. Pelajaran moral dari cerita ini: meskipun visa elektronik, ada baiknya tetap dicetak sehingga bisa ditunjukkan dengan mudah saat diperlukan.

Sebelum berangkat saya sempatkan menghubungi Asti dan Lita di Jogja dengan Skype lewat iPad, pamitan terakhir. Sempat juga mengirim beberapa email kepada orang-orang penting untuk memberitahukan kepergian saya atau sekedar berpamitan. Saya sudah membayangkan, kehangatan Australia sebentar lagi berganti New York yang menggigil di musim dingin. I miss downunder already even before I depart.

Jam 14.40, saya sudah melaju dengan Delta Air. Saya duduk di dekat jendela, di samping saya seorang lelaki berkebangsaan Australia dan di sampingnya lagi seorang perempuan yang saya tidak tahu asal usulnya. Lelaki di sebelah saya bekerja di sebuah perusahaan perancang mesin poker dan rupanya sering ke Las Vegas untuk pekerjaannya itu. “For work, unfortunately!” katanya ketika saya bertanya kepentingan dia ke Las Vegas. Mendengar kata Las Vegas, tentu saja yang terbayang pertama kali adalah bersenang-senang dan berlibur. Rupanya tidak demikian dengan lelaki ini.

Karea sebelumnya lebih sering begadang, sayapun tertidur sempurna hanya beberapa menit setelah pesawat tinggal landas. Beberapa jam pertama saya tidak menikmati hiburan sama sekali, tidak juga membaca buku atau menulis. Ini agak berbeda dengan perjalanan-perjalanan lain yang biasanya saya habiskan dengan nonton film atau menulis cerita perjalanan. Saya mengandalkan rekaman twitter atau catatan kecil di iPhone atau foto yang diambil secara acak jika nanti harus membua cerita perjalanan yang lebih panjang.

Perjalanan dari Sydney ke LA ditempuh sekitar 14 jam, sebuah perjalanan yang sanga lama dan panjang. Jarak tempuh sekitar 12.000 kilometer atau 7000an mil. Saya yang duduk di dekat jendela tentu saja harus meminimalkan acara keluar dari tempat duduk sehingga tidak terlalu banyak mengganggu penumpang di sebelah saya. Akan lebih rumit lagi karena mereka sedang tidur. Strateginya adalah meminimalkan asupan makanan dan minuman sehingga tidak perlu sering ke kamar mandi. Strategi ini mungkin tidak begitu sehat tetapi saya selalau merasa ini membantu menjaga kenyamanan teman duduk saya di sebelah. Alhasil, saya sama sekali tidak beranjak dari tempat duduk selama 14 jam itu. Sebuah prestasi yang layak dihargai oleh teman di sebelah saya.

Selama perjalanan, tentu saja saya juga akhirnya menonton film yaitu Abraham Lincoln, the Vampire Hunter. Filmnya menarik karena menggunakan konteks sejarah kepresidenan Amerika yang tersohor saat periode Abraham Lincoln. Kisahnya yang dimodifikasi dengan sentuhan mistis seperti vampire membuatnya menarik. Melihat film itu membuat saya terbayang kunjungan ke Washington 5 tahun lalu saat menyaksikan patung Abraham Lincoln yang terkenal itu. Di depannya berdiri gagah tugu Amerika yang terkenal itu. Tata rias wajah yang cemerlang membuat karakter Lincoln bisa nampak dengan sangat baik pada actor yang memerenkannya di film yang saya tonton.

Selain menonton saya juga membaca buku yaitu Chairul Tanjung (CT) si Anak Singkong yang sempat saya beli saat pulang ke tanah air beberapa bulan lalu. Buku ini berisi kisah-kisah perjalanan hidup CT dalam meraih sukses sebagai salah satu pengusaha berhasil di Indonesia. Lepas dari gaya penulisannya yang sebenarnya bukan merupakan favorit saya, buku ini menarik dibaca oleh para anak muda, terutama mahasiswa, untuk meningkatkan naluri wirausaha. Buku ini dengan lugas membahas bagaiaman CT dengan cerdas menemukan peluang-peluan usaha sejak usaha belia. Bahasanya yang sederhana membuatnya mudah dibaca, meskipun itu mengurangi dramatisasi yang mungkin diinginan oleh sebagian pembaca lainnya.

Jam 9.30 pagi saya tiba di Los Angeles. Menariknya, saya tiba di hari yang sama tanggal 9 Desember 2012 yang artinya saya kini menjadi lebih muda. Berangkat jam 14.40 dari Australia dan tiba jam 9.30 pagi waktu yang sama jadi saya lebih muda sekitar administratif lima jam meskipun tidak demikian halnya secara biologis.

Waktu saya tidak banyak ketika transit di LA. Karena merupakan negara bagian pertama yang saya singgahi di Amerika maka proses imigrasi berlangsung di LA. Saya harus mengambil bagasi lalu menjalani proses imigrasi dan secara resmi memasuki Amerika. Prosesnya tidak rumit tetapi cukup panjang karena begitu banyak orang yang datang ke Amerika saat itu. Sebelum turun dari pesawat saya sudah mengisi formulir kedatangan untuk kepentingan imigrasi, termasuk mendeklarasikan apa yang saya bawa. Untuk mendapat pemeriksaan, saya harus mengantri di barisan sangat panjang. Hari itu juga ada rombongan siswa dari Australia yang melaksanakan tour ke Las Vegas sehingga suasana jadi riuh rendah. Saya lihat jam, waktu semakin mepet dengan penerbangan berikutnya. Saya bertanya-tanya bagaimana proses transfer akan dilakukan dengan antrian panjangg seperti ini.

Anyone flying before 12 today?” tiba-tiba saya mendengar seorang perempuan berteriak. Saya lamngsung mengacungkan tangan dan diapun meminta saya keluar dari antrian karena akan diproses lebih cepat. Sayapun tidak perlu mengantri dan segera melalui proses imigrasi. Karena memang mendesak waktunya, sayapun dip roses di loket untuk warga negara Amerika. Beberapa petugas di sekitar situ terlihat ramah, jauh lebih bersahabat dibandingkan saya ke New York lima tahun lalu saat diinterogasi di Bandara Minneapolis. Seorang lelaki bahkan guyon ketika melihat saya membaca sesuatu di ipad. “Is it ipad 2 or the new one?” katanya bertanya. Dia bahkan bertanya lagi “are you getting the new one, or iPad mini” dan saya jawab dengan tersenyum “no, I am good with this.” Percakapan sederhana itu menghadirkan suasana akrab dan membuat penumpang tidak begitu tertekan menghadapi proses imigrasi yang panjang.

Sayapun melewati seorang petugas dan setelah ditanya beberapa hal, saya sudah melenggang meninggalkan petugas menuju tempat pengambilan barang. Kopor saya ternyata sudah turun dari conveyer belt dan siap ditarik masuk pesawat berikutnya. Semua lancar, semua mudah. Saya sempatkan untuk ngetwit dengan wifi yang tersedia gratis di Bandara Los Angeles. Pagi di Los Angeles berarti malam di tanah air, Australia dan sekitarnya. Beberapa kawan masih sempat membalas dan memberi dukungan terhadap perjalanan saya.

Sesaat kemudian saya sudah kembali duduk di sebuah kursi pesawat Delta Air yang kini berukuran lebih kecil. Saya diapin dua perempuan, keduanya orang New York. Keduanya rupanya sering bepergian di sekitar Amerika untuk kepentingan bekerja. Saya sempat bicara banya dengan yang duduk di sebelah kiri karena rupanya lebih terbuka untuk bicara berbagai hal. Saya tanyakan perihal Gubernur Arnold Swazeneger yang sempat memimpin California selama dua periode karena dia pernah tinggal di California. Dia mengatakan, “Arnold was not bad” melihat latar belakang politiknya yang tidak terlalu kuat. Kami juga sempat berbicara tentang politik Amerika, tentang Obama, tentang banana alam, tentang perjalanannya yang sudah ke beberapa negara Asia dan sebagainya. Sangat menyenangkan dan menambah banyak wawasan. Dia adalah seorang konsultan.
Yang menarik, perjalanan dari LA ke New York saya tempuh dengan memanfaatkan fasilitas internet yang disediakan maskapai. Saya harus membayar USD 20 untuk bisa online selama tiga jam. Meski agak mahal, rasanya sangat layak. Bisa tetap berinteraksi dengan teman-teman di dunia maya saat ada di udara, menghadirkan kepuasan tersendiri. Menyenangkan bisa menyapa orang dengan menulis “greeting from up in the air”.

Kombinasi antara ngobrol, twitteran, tidur, nonton film dan membaca membuat perjalanan terasa cepat. Tanpa terasa saya sudah tiba di Bandara JFK di New York dan kini siap-siap melaju menuju penginapan. Saya lalu menuju tempat mangkal taxi setelah mengambil barang bawaan yang hanya berupa satu kopor yang tidak terlalu besar. Saya termasuk orang yang tidak suka membawa banyak barang ketika bepergian. Setelah antri beberapa lama, sayapun mendapatkan taxi yang sopirnya orang Pakistan. Dengan sigap dia membawa saya ke Middle Village di Queens tempat saya akan menginap selama di New York. Hari telah gelap dan dingin mulai menyerang. Saya mengenakan jaket tebal sejak keluar dari bandara tadi. Selain dingin, hujan cukup deras dan suasana berkabut. Benar-benar bukan sambutan terbaik oleh New York untuk seorang saya yang kembali lima tahun setelah menginjakkan kaki di New York pertama kali.

New York 2012: The US Visa

Note: Cerita ini adalah bagian dari New York 2012

The US Visa
The US Visa

Menjadi orang Indonesia itu sangat menarik. Salah satu yang membuatnya menarik adalah ketika harus melakukan perjalanan ke luar negeri. Perjalanan ini selalu dilengkapi cerita seru karena harus mengurus visa. Indonesia bisa ke luar negeri tanpa visa hanya jika ke sembilan negara ASEAN. Selain itu, semua memerlukan visa. Maka dari itu, selalu ada cerita menarik yang mungkin tidak dialami oleh orang-orang dari negara lain, terutama yang lebih maju. Supervisor saya yang orang Inggris bahkan tidak punya pengalaman mengurus visa Amerika dan Eropa, misalnya. Kasihan sekali dia. Itulah sebabnya saya katakan menjadi orang Indonesia itu sangat menarik. Kita orang-orang yang gesit dan cerdas, bisa mengurus sesuatu yang orang lain bahkan tidak pernah pikirkan.

Continue reading “New York 2012: The US Visa”

New York 2012: The invitation

Note: Cerita ini adalah bagian dari New York 2012

The Invitation
The Invitation

Suatu malam saya sedang chatting dengan Dr. Francois Bailet, seorang pejabat di United Nations Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea (UN DOALOS) di New York. Percakapan kami berlangsung lewat Facebook dalam suasana yang santai. Sejak mengikuti program UN-Nippon Foundation Fellowship pada tahun 2007 silam, saya memang cukup akrab dengan Francois yang tidak lain adalah coordinator program tersebut. Lewat program itu, saya bersama sembilan orang lainnya dari seluruh dunia mendapat kesempatan melakukan penelitian di Wollongong, Australia dan New York, Amerika Serikat selama total Sembilan bulan. Sebuah pengalaman yang berharga.

Percakapan santai saya malam itu dengan Francois adalah satu dari sekian banyak. Saya memang pernah terpilih untuk menjadi representatif (presiden) alumni UN-Nippon Foundation Fellowship tahun 2008-2009 sehingga harus berinteraksi dengan Francois secara dekat. Tugas saya sebagai presiden adalah mengordinasi berbagai kegiatan alumni sebagai tindak lanjut dari program fellowship yang sudah kami jalani. Intinya, United Nations dan Nippon Foundation menginginkan para alumni tetap aktif dan idealisme tidak berhenti ketika kegiatan penelitian Sembilan bulan itu berakhir. Salah satu tugas saya sebagai representatif adalah memastikan penerbitan newsletter secara berkala. Selain itu, saya juga terlibat dalam megatur pertemuan alumni seperti yang dilakukan di Tokyo, Jepang tahun 2009.

Di sela percakapan malam itu, tiba-tiba Francois bertanya apakah saya siap diminta datang ke New York pada bulan Desember 2012. Tanpa berpikir panjang, tentu saja saya megiyakan dengan senang hati. Ada rasa gembira karena akan mendapat kesempatan kembali lagi ke New York setelah lima tahun meninggalkan kota itu. Undangan ke New York ini adalah dalam rangka pertemuan alumni dalam rangka memperingati ulang tahun United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS) yang ke-30. Tahun 1982 silam, konvensi yang sangat penting itu berhasil disepakati di Montego Bay, Jamaica dan kini sudah diratifikasi (diakui) oleh 164 negara dan 1 Uni Eropa. Indonesia melalui Prof. Mochtar Kusumaatmaja dan Prof. Hasjim Djalal berperan cukup besar dalam negosiasi UNCLOS ketika itu.

Saya membayangkan, bisa mengikuti perayaan ulang tahun UNCLOS ke-30 di Gedung PBB New York tentu saja bukan kesempatan biasa. Saya harus memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Beberapa hari kemudian, sebuah surat resmi berlogo United Nations masuk ke email saya. Saya telah mendapatkan undangan resmi dari PBB. Undangan ini adalah sebagai alumni UN-Nippon Foundation Fellowship, terutama sebagai mantan representatif alumni yang dianggap masih aktif hingga saat ini. Saya memang diberi peran yang cukup besar dalam membangun dan memelihara jejaring alumni. Sayalah yang membangun dan memelihara website resmi alumni http://www.unfalumni.org sebagai wadah interaksi dan ekspresi alumni dari berbagai penjuru dunia. Dengan peran itu, saya diberi satu predikat dalam pertemuan di New York nanti sebagai Network Component Manager.

Rasanya masih belum percaya ketika saya menerima sebuah surat berlogo United Nations tertanggal 7 November 2012 dan ditandatangani langsung oleh Mr. Serguei Tarassenko, Direktur Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea, Office of Legal Affairs. Percaya tidak percaya, undagan itu sudah di tangan dan saya harus segera mengurus keberangkatan.

New York 2012

Saya menutup tahun 2012 ini dengan sebuah perjalanan ke New York. Saya diundang oleh United Nations (PBB) sebagai alumni UN-Nippon Foundation Fellowship untuk menghadiri pertemuan alumni dan perayaan 30 tahun Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UNCLOS. Sebuah kesempatan istimewa tentunya.

Saya akan ceritaan di posting berbeda tentang undangan yang saya terima lalu proses aplikasi visa yang cukup seru. Saya juga kisahkan perjalanan saya yang mencapai lebih dari 20 jam penerbangan dari Sydney ke New York. Saya tinggal di Queens, New York, di tempat yang sama dengan yang saya tinggali lima tahun lalu ketika saya menjalani program UN-Nippon Foundation Fellowship. New York masih sama, hingar bingar dan bergairah. Masih terbayang saya menyusuri Eliot Avenue di Queens liam tahun lalu dan kini saya melakukannya lagi.

Agenda utama adalah mengikuti Sidang Umum PBB memperingati ulang tahun UNCLOS ke-30 dan pertemuan alumni. Kedua acara itu memberi saya pengalaman berharga salama di New York selain karena memberi pengetahuan juga memberi kesempatan berjejaring dengan para intelektual dunia di bidang kelautan dan hukum laut. Selain acara serius, tentu saja saya menikmati hingar bingar Manhattan dan romantisnya musim dingin yang bernuansa natal. Hidup di Manhattan memang mirip dengan menjadi tokoh dalam film Hollywood. Saya juga mencatat pelajaran-pelajarn kecil yang tercecer di sepanjang perjalanan. Selamat menikmati kisah saya.

Surat dari New York

sekjen

Aku ingin mengajakmu serta, menyusuri Eliot Avenue yang dipagari pepohonan meranggas yang menggigil karena dingin. Lalu kita hangatkan beku dengan bersenda gurau sambil memandangi bajing yang bertengger di ranting dan dahan tak berdaun karena tirani musim dingin yang kejam. Aku ingin mengajakmu serta.

Continue reading “Surat dari New York”