Note: Cerita ini adalah bagian dari New York 2012

Agenda utama kunjungan saya ke New York adalah untuk menghadiri pertemuan alumni UN-Nippon Foundation Felloswhip yang dilangsungkan bersamaan dengan peringatan 30 tahun UNCLOS. Saya diundang sebagai mantan representatif (presiden) alumni dan sebagai pengelola media jejaring terutama website alumni.
Pada prinsipnya, program fellowship yang saya ikuti lima tahun lalu di New York itu memberi kesempatan pada peneliti muda dari berbagai negara di Asia, Afrika, Latin Amerika, dan Karibean untuk memperdalam pemahaman kelautan dan hukum laut melalui penelitian. Program ini didanai oleh Nippon Foundation di Jepang dan dikelola oleh United Nations alias PBB. Maka dari itu nama program ini adalah UN-Nippon Foundation Fellowship.
Sejak pertama kali diadakan tahun 2004, program ini telah memiliki alumni sekitar 90 orang yang tersebar di puluhan negara. Melihat potensi ini, UN dan Nippon Foundation mengharapkan adanya keberlanjutan dan program ini dan tidak berhenti begitu saja setelah peserta menyelesaikan program penelitiannya. Oleh karena itulah dibentuk organisasi alumni dan saya terhormat menjadi ketua/representatif untuk pertama kalinya tahun 2008-2009. Sejak saat itu berbagai aktivitas digelar dan pertemuan dilaksanakan. Pertemuan pertama adalah di Tokyo ketika untuk pertama kalinya organisasi alumni dibicarakan dengan serius. Dari pertemuan Tokyo itulah kemudian muncul ide membuat website dan saya diminta menanganinya. Saya bukan ahli web programming tetapi ternyata di kumpulan diplomat dan lawyer itu, saya termasuk yang paling melek teknologi. Saya juga mengawal penerbitan newsletter yang disambut baik oleh UN dan Nippon Foundation.
Pertemuan di New York tahun 2012 merupakan yang pertama kali bersifat global, mendatangkan perwakilan alumni dari berbagai kawasan. Ada perasaan bangga melihat teman-teman dari seluruh dunia yang sebelumnya saya kenal hanya lewat email dan Facebook. Mereka adalah orang-orang cemerlang di bidangnya, sebagian besar pekerja pemerintah. Yang diplomat terlihat fasih berdiplomasi, yang lawyer lihai berargumen dan para pakar teknis sangat menguasai bidangnya saat berdiskusi. Ada yang dengan fasih menjelaskan ketentuan IMO, ada yang dengan cerdas menjelaskan hubungan internasional, ada yang sambil merem menghafalkan pasal-pasal UNCLOS dalam argumentasinya dan segala kehebatan lainnya. Meski demikian, tentu ada juga beberapa yang memilih tersenyum-senyum menyimak takzim tanpa pendapat. Mungkin yang demikian termasuk yang mendalami segala sesuatu sebelum berpendapat dan akhirnya waktu yang tersedia telah lewat tanpa satupun pendapat.
Perwakilan alumni meliputi kawasan South East Asia; Pacific Islands; Latin America Caribbean; West Africa & Atlantic; East Africa & Indian; Mediterranean, Black, Caspian; Arabian Peninsula; dan India & Bay of Bengal. Masing-masing memaparkan situasi alumni dan isu kelautan di kawasannya sebagai bentuk laporan dan penyebaran informasi kepada alumni dan DOALOS. Yang terpenting, masing-masing menyampaikan strategi dan rencana aksi yang akan dilakukan untuk membantu menyelesaikan masalah yang ada di kawasan masing-masing.
Sampan Panjarat, alumni dari Thailand, adalah perwakilan alumni di South East Asia. Beberapa hari sebelumnya kami sempat diskusi dengan Skype, merencanakan materi yang akan dipaparkan di New York. Saya memberi beberapa masukan yang akhirnya dijadikan bahan utama pemaparan Sampan di New York pada saat pertemuan alumni. Isu utama yang kami identifikasi adalah perihal pendidikan, bahwa pemahaman masyarakat di kawasan terhadap isu kelautan dan hukum laut sangatlah minim. Saya menyontohkan yang terjadi di Indonesia terkait batas maritim, yang dalam hal ini masyarakat tidak paham dengan baik. Pemberitaan di media massa yang tidak akurat membuat persoalan lebih pelik. Oleh karena itu, usulan kami di Asia Tenggara adalah membantu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang isu kelautan dan hukum laut. Saya secara pribadi mengusulan penulisan buku dan pembuatan video pendidian yang bisa dipahami dan diakses oleh masyarakat. Usulan ini mendapat sambutan sangat baik dari United Nations dan hadirin yang ada saat itu. Sampan, kawan saya dari Thailand, menyampaikan presentasi dengan baik dan saya memberi dukungan dengan menjelaskan beberapa rencana detil terutama yang menjadi usulan saya pribadi.
Persoalan lain yang juga kami bahas di pertemuan adalah kisah klasik sebuah organisasi: bagaimana membuat sebanyak mungkin orang terlibat aktif. Persoalan di masing-masing kawasan rupanya tidak jauh berbeda bahwa menuai partisipasi adalah urusan yang tidak pernah mudah. Saya dan beberapa kawan setuju bahwa kita tidak bisa memaksa orang dalam organisasi yang bersifat sukarela seperti ini. Usul saya adalah dengan menjadikan organisasi ini bermanfaat bagi banyak anggota, terutama anggota baru. Para peserta fellowship ini umumnya tidak paham dengan jelas dengan banyak hal saat mereka akan memulai aktivitas. Organisasi alumni punya kesempatan untuk berperan besar membuat mereka tercerahkan. Tidak usah menunggu, alumni yang harus menghubungi mereka, menyambut mereka dan menjamin bahwa alumni ada untuk mereka. Perihal kecil seperti kartu telepon apa yang bagus digunaan di sebuah sudut kota di Eropa Barat hingga sistem referensi yang digunakan di laporan akhir fellowship adalah hal-hal yang pasti akan bermanfaat bagi mereka.
Ketika hal ini dikemukakan, seorang petinggi di DOALOS angkat biacara. Mengejutkan, dia tidak setuju dengan hal ini karena ini dianggap terlalu rinci dan organisasi alumni semestinya mengurus hal-hal yang lebih besar dari itu. Respon mengejutkan ini membuat suasana rapat hening. Saya yakin semua alumni setuju dengan usulan sebelumnya karena kami semua mengalami kesulitan yang terjadi saat memulai fellowship ini. Meski demikian, ucapan dari seorang petinggi DOALOS itu membuat orang-orang tercekat. Ada keraguan untuk menyatakan pendapat yang menentang. Saya tidak menduga pernyataan ini dan memilih untuk diam sejenak. Sementara itu, Abbas, representatif alumni yang baru saja diangkat merasa perlu untuk berbicara. Meski demikian, dia rupanya ada di posisi yang sama, segan untuk berseteru dengan petinggi ini. Akhirnya dia angkat bicara “anybody wants to respond to this proposal?” semua hening. “Andi, you might have something to say?” Abbas tidak dapat korban lain untuk menyelamatkan pertemuan yang nyaris beku itu.
Saya tari mic di dekat saya, memencet tombolnya dan mulai bicara. “As much as I agree that this organisation should be and is bigger than what we see now, I also believe that a big thing starts from a small thing. I still believe that the main objective of this organisation is to work for ourselves to strengthen the network. We can never work for something bigger if we are not strong enough. Now what we need is participation and we can only encourage members to participate if we can show then that this organisation is working for them. That is why we need to impress new people by showing them that we are here to help them pave their way towards the end of their journey. Once again, I am sure that this organisation is better than this and we should do big things. However, taking care of our members and especially potential members remain our first priority. Therefore, as a member of this organisation, I kindly request the representative to provide guidelines for new members so they know right from the beginning what to do and what to expect. Most importantly, I am not just asking, I am willing to be part of the team to make this idea happen. Thank you!”
Suasana jadi lebih cerah, Abbas dengan segera menyambut penegasan saya dengan menekankan hal serupa. Sementara itu di sudut lainnya saya lihat seorang peserta rapat dari Fiji menatap saya dengan senyum, seakan berkata “yes, you did it mate!”
One thought on “New York 2012: Pertemuan Alumni UN Nippon Foundation Fellowship”