
Saya kadang mengamati perilaku teman-teman di Facebook. Mereka yang mendapat banyak respon sering kali tidak bisa menjawab semua komentar. Menariknya, hampir selalu ada respon jika ada yang berkomentar buruk. Tidak jarang, seorang pemilik akun Facebook khusus membalas komentar negatif tentang foto yang dipajangnya padahal tidak pernah membalas komentar positif yang diberikan teman-temannya. Saya pun pernah begitu. Foto yang saya pasang di dinding Facebook bisa disukai oleh lebih dari 100 orang dalam dua atau tiga hari. Rasanya hampir tidak pernah saya membalas mereka yang menyukai (like) foto saya.
Komentar terhadap gambar atau status juga kadang tidak sempat dibalas jika terlalu banyak. Komentar singkat yang positif seperti “bagus banget” atau “keren” bisa terlewatkan tanpa balasan, terutama jika jumlahnya puluhan. Akan tetapi, begitu ada komentar negatif, rasanya tidak rela kalau tidak membalas dan ‘membela diri’. Saya kira banyak yang mengalami hal ini. Akibatnya, seringkali mereka yang berperilaku negatif itu mendapat perlakuan dan perhatian istimewa. Sebaliknya mereka yang positif dan penuh dukungan malah tidak mendapat perhatian. Teman baik yang memencet tombol “like” dan membubuhkan komentar “keren” bahkan seringkali tenggelam dan terlupakan.
Entah mengapa, teriakan para pembenci memang terasa lebih ‘nyaring’ padahal mungkin sebenarnya minoritas. Akibatnya, tidak tersedia cukup waktu untuk mengapresiasi mereka yang dengan tulus mencintai dan memberikan dukungan karena waktu dan energi tersita untuk mereka yang menebar kebencian. Dalam konteks yang lebih luas, jangan-jangan ini berarti bahwa kita memang lebih mudah memperhatikan keburukan daripada kebaikan. Lihatlah seorang guru yang lebih sering tersita energinya oleh satu anak nakal di kelas sehingga seluruh kelas dirugikan. Dosen juga kadang lupa mengatakan “presentasi kamu bagus” pada mereka yang tampil baik karena fokus membahas kelemahan mahasiswa lainnya yang tampil kurang maksimal. Kita mudah mengatakan sebuah tembok tidak rapi hanya gara-gara ada satu batu bata terpasang miring padahal ada ribuan lain yang tepasang sempurna. Adakah saya sudah terjebak untuk mengistimewakan keburukan dan cenderung abai pada kebaikan?
Well said Bli, semoga kita tidak mengabaikan para pemberi jempol dan likers tersebut 🙂
Terima kasih. Mas Riza 🙂
Sampai pribahasa pun di buat untuk hal ini..
“Rusak susu sebelanga karna nila setitik”
Tepat 🙂
wah bagus mas artikelnya, saya sampe tidak sadar selama ini sangat mengistimewakan haters di kampus
padahal banyak yg menyukai dengan tulus tapi mereka sering terabaikan.
terima kasih pencerahannya sekarang mulai sadar
Ya, kita memang sering begitu. Syukurlah tulisan singkat ini mengingatkan.
Reblogged this on Beauty Indonesia.
Reblogged this on indri hapsari and commented:
Distorsi bener deh. Harusnya memperhatikan orang-orang yang tulus mencintai kita, ini malah sibuk mikirin pembenci. Wedew…
Sebuah teori ilmiah mengatakan bahwa efek dari hal negatif berjumlah 2x lipat dari hal positif bagi manusia, maka dari itu manusia lebih bereaksi pada hal negatif di sekitarnya daripada hal positif (Sebagai contoh, berita televisi berisi lebih banyak hal negatif karena orang cenderung lebih bereaksi pada berita2 tersebut daripada pada berita positif). Maka dari itu ada pematah yang mengatakan satu kata negatif hanya bisa di hapus dengan 2 kata positif/pujian. Just some information 🙂
Mas Susanto, terima kasih atas informasi yang berguna. Saya jadi lebih paham.
Saya pendatang baru di web ini dan sangat senang dengan refleksi2nya bpk… Terus menginspirasi ya pak.. Sy org Makassar.
Daeng Ngerang,
Terima kasih sudah berkunjung dan menuai inspirasi. Sukses di Makassar ya.
jadi inget film yang berjudul i’m not stupid, yang isinya semua orang itu butuh pujian, tetapi banyak yang tidak mengerti akan hal tersebut. Mereka cenderung memikirkan kelemahan orang dan mengabaikan kekuatannya. mungkin itu juga yang menyebabkan banyaknya anak-anak yang suka memberontak.
Pak Andi terimakasih atas tulisan-tulisannya 🙂
Keren bli dan saya suka
Suksma Agus 🙂
Mungkin maksudnya bukan mengistimewakan pembenci, hanya ingin ‘pembenci’ itu dapat melihatnya dari segi manfaat. Apa yang dibagikan (share) tentunya bertujuan untuk menjadi manfaat bagi orang lain. Pengistimewaan itu dilakukan karena apabila yang pembenci lakukan atau katakan kemudian dapat mempengaruhi pandangan dari para kebaikan, menyirnakan manfaat terbaik dari apa yang dibagikan.
Kenapa saya ga paham maksud komentar ini ya? 😦 otak saya lg lemot rupanya. Maaf Hendry 😦