
Mahasiswa Indonesia di Sydney mencatat sejarah baru dengan mendatangkan standup comedian terkemuka Indonesia Pandji Pragiwaksono (@pandji), Ernest Prakasa (@ernestprakasa) dan dan Ryan Adriandhy (@adriandhy) dalam acara Nusantawa. Mereka bertiga tampil di sebuah gedung pertunjukan musik bergengesi, Sydney Conservatorium of Music (SCM) yang berlokasi tidak jauh dari Sydney Opera House yang menumental. Malam tanggal 11 Oktober 2013 itu, Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia, terutama Sydney menorehkan sejarah.
Sudah lama saya tunggu momen ini karena ingin menyaksikan langsung penampilan ketiga comic andalan Indonesia. Seni melawak monolog ini termasuk masih hijau umurnya dan marak di Indonesia dalam dua atau tiga tahun terakhir. Dalam usianya yang masih muda, standup comedy sudah bisa menjadi hiburan alternatif yang diminati. Maraknya tur standup comedy yang dipelopori oleh Ernest Prakasa seperti layaknya konser musik berkeliling Indonesia adalah salah satu bukti tinginya minat masyarakat.
Sore itu, halaman SCM terlihat penuh. Konon panitia berhasil menjual semua tiket hingga sekitar 400 kursi. Saya sendiri bahkan tidak dapat tiket VIP ($35) dan harus puas dengan General Admission ($25). Saat mengantri, saya merasa menjadi minoritas, setidaknya dalam satu hal yaitu usia. Peminat standup comedy rupanya mayoritas anak muda usia belasan atau dua puluhan. Saya jelas termasuk outlier dalam kelompok itu. Maka dari itu, saya mengajak Bli Made Sujata, kawan baik saya, agar tidak merasa tua sendiri.
Acara dibuka oleh dua MC (cowok cewek) yang tampil baik lalu dilanjutkan dengan penampilan sebuah band bernama Maroubra Project. Saya kurang tahu dengan anak-anak muda yang ada di gedung itu, saya sendiri kurang bisa menikmati musiknya. Atau mungkin karena sudah tidak sabar ingin menyaksikan Pandj, Ernest dan Ryan.
Pandji tampil sebagai pembuka. Inilah kali pertama saya melihat Pandji langsung meskipun sudah mengikuti kiprahnya sejak kurang lebih tiga tahun terakhir. Seperti di video-video Youtube yang saya tonton, Pandji memang paling pas jika keluar diringi lagu Glenn Fredly, “Cukup Sudah”. Sebenarnya saya berharap Pandji akan melipsync lagu itu seperti yang biasa dia lakukan di penampilan lain. Teranyata Pandji memang ingin tampil berbeda.
Penguasaan panggung Pandji memang prima. Bisa dimengerti karena Pandji memang matang di dunia panggung karena pernah jadi MC dan punya acara TV sendiri. Kematangan itu bahkan ditunjukkan dengan keberaniannya memulai dengan riffing, mencela penonton. Memulai dengan riffing tentu saja berisiko, kecuali sang comic sudah yakin banget akan diterima oleh penontonnya. Rupanya Pandji sudah yakin ini dan sebelumnya dia juga sudah menguji penonton dengan memberi komando agar beteriak hanya dengan gerakan tangannya seperti memandu supporter bola. Tes itu berhasil dan penonton berteriak seru. Itu rupanya sudah cukup membuat Pandji yakin bahwa penonton ‘berpihak’ padanya. Maka riffing menjadi aman bagi seorang Pandji malam itu.
Pandji membuka dengan ‘mengenalkan diri’ karena menurutnya pasti ada banyak yang belum kenal. Perkenalannya dimulai dengan keluarga dan tentu saja Dipo, anaknya, jadi bahan menarik untuk dibawakan. Bagi saya ini materi baru, ketika Pandji cerita soal kolam renang. Segar, menghibur dan lucu. Materi-materi selanjutnya, seperti yang saya duga, tidak begitu baru. Karena sudah menonton hampir semua videonya di Youtube, saya tidak begitu ‘terkejut’ dengan materi-materi yang dia sampaikan dalam hal isi tetapi seorang comic kawakan selalu punya cara untuk menyampaikan hal yang sama dengan sentuhan berbeda sehingga tetap terasa gregetnya. Meskipun sudah tahu hampir semua bahan yang disampaikan Pandji, saya tak urung tertawa lepas di setiap kalimat klimaks yang menghadirkan kelucuan (punch line).
Materi humor Pandji juga dilengkapi perihal politik dan keIndonesiaan yang memang menjadi kekuatannya. Ini yang membedakan dia dengan yang lain, bahwa Pandji bisa menebar virus nasionalisme dengan cara yang menyenangkan. Karena berada di Sydney, Pandji tak urung membandingkan Indonesia dengan Australia dalam lontaran-lontaran humor cerdasnya. Salah satu favorit saya adalah pengemis bule yang sempat membuat seisi ruangan itu geger.
Secara umum, materi Pandji adalah hasil daur ulang dengan kemasan yang cantik. Penggemar Pandji seperti saya tentu tidak akan banyak mendapat hal baru tetapi tetap bisa tertawa karena sentuhan-sentuhan kecil kontekstual. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa penampilan Pandji berhasil luar biasa karena ledakan-ledakan tawa dari hadirin yang membahana. Bli Made yang duduk di samping saya nampak menikmati dan kagum dengan pembawaan Pandji. Ini jadi salah satu indikator obyektif.
Menyusul Pandji, Ryan mengisi panggung di kesempatan kedua. Harus saya akui, Ryan adalah comic yang paling tidak saya kenal (sebagai comic) diantara ketiga comic malam itu. Akibat baiknya, hampir semua bahan yang disampaikan Ryan terasa baru bagi saya. Mungkin ini terjadi karena saya tidak sering menonton dia di TV atau Yotube sehingga saya tidak tahu mana yang ulangan dan mana yang materi baru. Meskipun tidak sering menonton dia melakukan aksi standup comedy, Ryan menurut saya sangat berhasil berperan di Malam Minggu Miko (M3). Maka setiap kali melihat Ryan, saya tidak bisa melepaskan diri dari M3. Yang terbayang selalu Ryan yang sok tahu di M3 ketika saya mendengar leluconnya.
Bahan-bahan leluconnya juga cerdas, karena memang begitulah seharusnya standup comedy. Lelucon tentang membuat roti bakar bersama perampok dan tentang model fashion saya suka. Kemampuan Ryan merangkai cerita menjadi satu kesatuan utuh dengan mengulang punch line di beberapa segmen menjadi kekuatannya. Ryan berhasil membuat kelucuan baru di satu segmen dengan memaksa penonton untuk mengingat segmen lain yang mungkin sudah hampir terlupakan. Tidak hanya punch line, detil cerita di satu segmen bisa hadir lagi di segmen lainnya sebagai kelucuan tersendiri. Hal ini dia lakukan secara konsisten hingga akhir karena kalimat penutup di segmen terakhir yang dijadikan punch line sebenarnya adalah punch line di segmen sebelumnya. Hal ini menarik karena kalimat terakhir ini seperti mengajak penonton untuk mengingat lagi kelucuan-kelucuan yang sudah ditampilkan sebelumnya.
Menurut saya pribadi, Ryan memilih untuk tidak banyak berinteraksi dengan penonton. Mungkin ini memang gayanya yang berbeda dengan Pandji yang bahkan sempat melakukan riffing. Ryan merasa cukup nyaman dengan benar-benar monolog dan interaksi minimalis. Hal ini membuat keterikatan dengan penonton lebih longgar. Hal ini bisa bahaya karena penonton merasa tidak diajak dalam sebuah adegan. Hal ini berbeda dengan Pandji yang cukup sering melibatkan penonton meskipun dengan hinaan dan celaannya yang selalu disambut dengan gegap gempita.
Selepas Ryan, sebuah band lokal mahasiswa Indonesia di Sydney tampil menghibur. Band ini bernama Sammy Global yang ternyata cukup baik. Mereka anak-anak kreatif yang memulai lagu dengan puisi-puisi lucu. Lagu yang dinyanyikan selalu berada dalam konteks puisi sehingga menguatkan penjiwaan lagunya. Band Sammy Global juga cukup baik hati memperdengarkan lagu-lagu yang saya tahu atau setidaknya liriknya bisa diikuti dengan baik karena menggunakan bahasa manusia biasa. Bli Made setuju dengan saya, Sammy Global memberi sentuhan yang lebih baik dibandingkan Maroubra Project.
Tibalah saat yang ditunggu, penampilan comic terakhir yaitu Ernest Prakasa. Ernest membuka dengan semangat lewat ucapan “Selamat Malam Sydney” dan disambut gelegar hadirin. Di Sydney, ciri khas Ernest yang mengekspolarsi perihal etnis Cina-Indonesia seperti menemukan lahan yang subur. Dalam salah satu jokenya dia bilang, “ini PPI Sydney atau PPI Shanghai sih sebenernya?” dan kontan disambut gelak tawa hadirin yang memang mayoritas Chinese Indonesia. Tidak berhenti di sana, dia dengan berani dan tanpa beban melontarkan pertanyaan “ini yang pribumi gimana rasanya jadi minoritas ni?” dan membuat tawa tertumpah ruah. Pertanyaan itu tentu saja ‘kena banget’ bagi saya. Bli Made melihat saya dengan keterpanaan karena pertanyaan nakal Ernest terasa pas sekali dengan apa yang beliau rasakan. Sejak ada di barisan antrian tadi, kata Bli Made, beliau merasakan nuansa minoritas itu. Ternyata kami berdua merasa menjadi minoritas. Saya merasa tua di kalangan anak muda, Bli Made merasa pribumi di lautan Chinese Indonesia.
Yang memang kuat dari Ernest adalah keberaniannya mengungkap hal-hal tabu seperti etnisitas yang kadang membuat orang takut membicarakannya. Sebagai comic keturunan China, Ernest ada dalam posisi yang pas untuk membuat isu ini tidak tabu sama sekali. Ernest mengajarkan, dan saya setuju, perbedaan etnis adalah keniscayaan dan itu tidak harus membuat orang risih mengakui atau membicarakannya. Hal ini juga didukung oleh Pandji yang sempat ‘menghina’ salah seorang penonton yang bernama Burhan. Kata Pandji, “China kok Burhan. Burhan itu nama Padang, ngerti nggak Lo” dan meledaklah tawa hadirin. Pandji memang paling bisa kalau riffing. Thanks to Pandji, Burhan bahkan akhirnya memang dijadikan bahan menarik oleh Ryan maupun Ernest.
Mirip dengan Pandji, materi Ernest juga banyak hasil daur ulang meskipun rasanya masih cukup banyak yang baru. Atau mungkin itu juga tidak baru tetapi saya belum pernah menonton di Youtube. Saya memang pernah iseng-iseng ‘menantang’ Ernest di twitter, sejauh mana dia bisa tampilkan materi baru. Dia menjawab diplomatis “you’ll see”. Saya sudah sadar dari awal, tentu saja Ernest tidak harus menjawab tantangan itu karena memang dia memiliki banyak sekali materi bagus yang sayang sekali jika tidak ditampilkan di Sydney. Cerdasnya, Ernest mampu menampilkan hasil daur ulang itu dengan sentuhan lokal yang baik. Dia menunjukkan konteks lokal, misalnya dengan mengatakan “pasti Kingsford dan Kensington sepi banget nih”. Dua suburb itu memang jadi tempat tinggal utama orang-orang Indonesia di Sydney. Ini mirip dengan gaya Russel Peters yang selalu mengatakan “seven eleven pasti pada tutup nih” kalau melihat banyak orang India di kalangan penontonnya.
Ada beberapa materi baru dari Ernest yang belum pernah saya dengar, salah satunya tentang sebuah restoran di Bali yang mahalnya minta ampun. Sementara itu, materi-materi andalan seperti Ahok, Ilucinati, boneka syarifudin, dan sejenisnya tetap tampil mempesona. Di Sydney, Ernest seperti lebih leluasa menungkapkan istilah berbahasa Mandarin karena cukup yakin audiensenya sebagian besar mengerti. Pamungkas Ernest saat manggung di Sydney adalah sebuah materi yang menurut saya baru, perihal dirinya yang BAB di celana ketika SD. Joke itu ditutup Ernest dengan gemilang dengan mengatakan bahwa dirinya menjadi terkenal di sekolah. “Ernest yang mana? Tuh China yang be**k di celana itu” katanya mengundang ledakan tawa. Ernest menutup Nusantawa malam itu dengan sempurna.
Selepas acara, saya, Bli Made dan Firma sempat berdiskusi. Kami membicarakan perihal pertunjukan itu. Bli made jelas puas. Firma sendiri mungkin tidak sepuas kami. Pasalnya, audionya tidak sekristal seharusnya sehingga ada beberapa hal yang terlewat. Kami punya favorit masing-masing dari ketiganya dan itu tentu saja tidak menunjukkan kualitas tetapi lebih pada selera penonton yang berbeda. Lepas dari hal-hal kecil yang masih bisa diperbaiki, usaha mahasiswa Indonesia di Sydney untuk yang berhasil mendatangkan ketiga comic ternama itu patut diacungi jempol. Panitia yang digawangi Wenzel dan PPIA Sydney University telah menunjukkan taringnya. Akhirnya, sayapun melaju dengan bus, kembali ke Kingsford yang kata Ernest sempat mati suri hanya dihiasi debu beterbangan karena penghuninya menikmati tawa di SCM. Dalam perjalanan, saya merasa bahwa Indonesia telah memasuki satu era baru dalam menikmati lelucon, sebuah lelucon yang oleh para comic diklaim sebagai tontonan cerdas untuk orang-orang cerdas.
Bener2 berasa serunya, jadi langsung kepikiran buka youtube buat nonton stand up comedy lagi nih, bang..hehe
Mari 🙂
Terima kasih atas kritis dan saran nya… Mohon maaf bila ada yang kekuraangan dan tak kelayakan. Semoga Nusantawa telah menghibur para penonton!
Regards,
Julius
PPIA
U Syd
Julius, terima kasih telah membuat acara bagus. Ke depan, kita pertahankan dan tingkatkan kualitasnya ya 🙂