Pagi itu saya sedang mengantri di kantor post Kingsford, Sydney untuk mengambil paket kiriman. Rumah sedang kosong ketika paket itu diantar ke rumah sehingga saya mendapat pesan untuk mengambilnya di kantor pos. Tepat ketika saya maju karena tiba giliran untuk dilayani, seorang lelaki berusia senja menepuk bahu saya dan dia meminta dilayani lebih dulu. Hal ini tidak biasa terjadi di Australia karena umumnya orang-orang mengantri dengan tertib. Tidak terbiasa dengan kejadian demikian, saya terperangah bengong. Tidak hanya saya, petugas kantor pos juga terlihat terkejut. Secara spontan perempuan muda, petugas itu, hendak mengingatkan si bapak tua untuk membiarkan saya dilayani terlebih dahulu. Melihat itu, saya memberi isyarat agar lelaki itu dilayani duluan. “It’s okay!” kata saya tersenyum untuk meyakinkan bahwa saya tidak apa-apa. Dari gaya bicaranya, saya duga lelaki tua itu seorang imigran. Dari wajahnya, kemungkinan besar dia berasal dari dari Eropa Timur.
Saya pun bergeser dan agak mundur, menyaksikan segenting apa persoalan yang dihadapi lelaki tua itu sehingga harus menerobos antrian. Memang mengecewakan karena ternyata dia hanya datang mengantarkan surat yang salah alamat. Rupanya selama ini dia selalu menerima surat atas nama penghuni lama di alamat rumahnya. Hal ini sebenarnya biasa terjadi jika penghuni lama tidak melaporakan perubahan alamatnya di kantor pos. Entahlah apa yang membuat lelaki itu merasa itu begitu genting. Di satu sisi, dia orang baik yang bersedia mengembalikan surat yang salah alamat tetapi di sisi lain perilakunya yang menerobos antrian sama sekali tidak menandakan laku warga yang beradab. Saya hanya tersenyum walaupun dongkol dalam hati.
Tiba-tiba saya merasa diperhatikan orang-orang yang mengantri di belakang saya. Benar saja, ketika saya lihat ke belakang, ada beberapa orang yang secara spontan mengangkat bahu, menengadahkan tangan dan memasang muka heran sekaligus marah. Saya paham, mereka pasti kesal sekali melihat kejadian itu. Saya tersenyum saja dan bilang “I am sorry” dengan lirih untuk meredakan kekesalan mereka meskipun dalam hati masih tidak habis pikir. Kalau saja ada gelembung pikiran yang bisa dibaca di atas kepala orang-orang di belakang saya, mungkin bunyinya adalah “what the **** is he doing?!”
Ketika lelaki itu sudah pergi dan saatnya saya dilayani, petugas berkali-kali memohon maaf atas kejadian itu. Saya kembali menegaskan saya tidak apa-apa. Di saat itulah ada seorang ibu-ibu mendekati saya menunjukkan sipatinya. “Thank you for being so nice, but the man was so rude, oh!” katanya sambil memutar bola mata ke atas dan memasang muka kesal. Saya perhatikan ucapan perempuan itu. Dia mulai dengan mengakui kebaikan saya lalu membahas kesalahan lelaki itu. “Thank you so much. I am sorry. I shouldn’t have allowed him to do that. I thought it was super urgent” kata saya lagi sambil tersenyum. “No, it was not you. I know you were being nice” katanya tersenyum. Selepas urusannya di kantor pos, perempuan itu berlalu sambil menepuk pundak saya dan berkata “you deserve a very good day after this, my friend!” Menyentuh sekali perilaku perempuan itu. Kekesalan karena perilaku pak tua tadi sirna entah ke mana. Perempuan itu mengajarkan satu hal: patut bagi kita untuk menandai kesalahan tetapi kita tidak boleh lupa untuk mengakui kebaikan di sekitar kita, betapapun kecilnya.
Menandai kesalahan dan memaafkannya karena kita tak pernah tau apa yang menjadi penyebab Bapak tua itu sangat ingin cepat-cepat dilayani sampai menerobos antrian, bisa saja istrinya dirumah sedang sendirian dan sakit atau datangnya surat yang salah alamat itu memberikan masalah bagi dia, hanya dia yang tau. Dan mungkin jika kita yang ada di posisi Bapak tua itu malah mungkin kita akan berbuat hal yang lebih parah (memarahi petugas pos nya mungkin, hehehe).
by the way, i’m so proud of you. 🙂
Terima kasih Hera. You are always nice 🙂
mhn ijin share ya bli. Ini sering kali terlupa d sekitar kt.
Silakan 🙂