Aku ingin menulis sesuatu yang abadi, seperti halnya yang tertuang dalam kitab-kitab suci yang mewarnai peradaban manusia. Aku ingin menulis sesuatu yang ketika dibaca esok hari tidak menimbulkan malu, sekaligus tetap bercahaya seratus tahun kemudian. Seperti itulah aku ingin menceritakan pertemuan kita pagi tadi. Ingin kuceritakan dengan bahasa yang tidak lekang oleh waktu dan hanya dimengerti oleh jiwa yang terbuka. Seperti halnya ayat-ayat suci yang selalu menyisakan ruang penafsiran sehingga tidak termakan waktu.
Namun begitu, menulis demikian tidaklah mudah. Tidak mudah mengawinkan keindahan kata-kata pujangga dengan rincian peristiwa yang tak ingin aku sembunyikan. Di saat bersamaan ingin kutuliskan perasaan terkejutku melihatmu yang kini indah bukan buatan, lebih indah dari yang pernah aku abadikan dalam ingatanku. Aku terkejut melihatmu yang kini lebih berwibawa dari saat terakhir kita bertemu dalam masa yang sama dengan pengasingan para Pandawa ke tengah belantara. Aku juga terpana, melihatmu yang dulu adalah kaum bromocorah, kini tampil layaknya ksatria, penolong kaum papa. Kamu yang dulu pecundang kelas teri kini menjadi penebar kebajikan yang mempesona.
Ingin kuakui penyesalanku tentang masa lalu yang kulewati dengan keangkuhan, namun rupanya tidak perlu. Aku tak kan pamerkan penyesalanku dengan kata-kata. Jika memang ada waktuku, mungkin bisa kuejawantahkan lewat tangan dan kaki yang memberi hormat kepadamu. Aku memaknai pertemuan itu sangat dalam. Semoga engkau juga begitu.
Trisma, 8 Agustus 2009.
a madeandi's life 