Made Kondang tidak mau masuk surga, apalagi mencapai moksa. Dia jelas tidak mau. Selain karena yakin dirinya tidak layak untuk surga, Made Kondang masih punya mimpi yang di kehidupannya sekarang belum tercapai. Saat reinkarnasi nanti, Kondang ingin memperbaiki kehidupannya. Dia ingin menjalani apa yang sekarang tidak bisa dijalaninya.
Made Kondang punya mimpi-mimpi yang indah. Yang jelas dia bosan dengan kehidupannya sekarang yang monoton dan tidak berguna. Dia memimpikan sebuah kehidupan yang dinamis, bergairah dan heboh. Ingin sekali dia mewarnai dunia dan namanya disebut-sebut dalam kasus yang menggetarkan bangsa-bangsa. Apa daya, Kondang hanyalah seorang petani penggarap. Dia hanya bisa bermimpi.
Dalam mimpinya, Kondang ingin bersekolah ke luar negeri. Dia ingin duduk tenang di belakang meja, menghadapi mic di depannya, ditatap oleh ratusan pasang mata yang menunggu petuahnya. Kondang ingin kata-katanya ditunggu banyak orang, bila perlu menghebohkan atau mengubah dunia. Di sela kesibukannya belajar, Kondang ingin tetapi bermakna bagi masyarakatnya dengan mengambil peran-peran yang orang lain bahkan hindari. Kondang ingin menjadi mesin bagi gerakan mahasiswa Indonesia di luar negeri layaknya Bung Karno yang akhirnya memerdekakan Indonesia. Kondang ingin mengasah ketajaman pikirnya melalui debat dan olah pikir dengan orang-orang yang telah dipertunangkan dengan ilmu pengetahuan.
Kondang ingin berkeliling dunia, menjajakan pemikirannya di forum-forum terhormat di berbagai benua. Dia ingin berbagi cerita, tidak saja dengan cara biasa tetapi cara yang memukau. Kondang bermimpi, paparannya tidak saja harus mencerahkan pendengarnya tetapi juga menghibur sekaligus membuka hati. Kondang ingin menerima tidak saja tepuk tangan tetapi standing ovation di gedung-gedung tua nan angkuh dan bijaksana di peradaban-peradaban mapan Eropa. Entah dari mana asalnya, Kondang tiba-tiba saja mampu bermimpi setinggi itu.
Di sela kesibukannya menyiapkan paparan di forum internasional, Kondang tetap ingin jadi Bapak yang baik. Dia tetap ingin mengantarkan sendiri anak perempuannya ke kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya. Dia masih ingin bisa membagi pikirannya agar dapat tertawa puas penuh haru saat meringkuk di tenda kecil buatan anaknya dan mewajibkannya menjadi seekor anjung mainan. Dia masih ingin membisikkan ‘I love you’ pada istrinya seraya menyerahkan sekuntum mawar merah, sementara teleponnya berdering. Dering telepon itu adalah panggilan dari sahabatnya yang kesulitan mendapatkan rumah tinggal di luar negeri. Kondang tetap ingin mengotori tangannya untuk keberuntungan temannya.
Di antara semua mimpi-mimpi itu, masih ingin dia selipkan sebuah lagi. Dia ingin bekerja paruh waktu, menikmati marah dan tindasan seorang berkebangsaan Thailand yang mempekerjakannya sebagai tukang cuci piring. Teriakan para juru masak yang berlomba dengan deru kompor, ingin dia nikmati sebagai keniscayaan yang mencerahkan. Ingin dia susun agendanya agar tak ada yang lowong, seraya tetap memikirkan bagaimana memberi beasiswa bagi mahasiswa di almamaternya.
Seandainya Kondang tahu, betapa tidak mudahnya itu, mungkin dia akan mengurungkan niatnya dan memilih sorga atau moksa untuknya.
Mungkin Made Kondang tahu susahnya itu, namun Made Kondang tahu, itu bukannya tak mungkin 🙂