Aksi


Lita meluncur

Tiap kali pulang ke Bali, saya sering mendapat tugas mengantarkan ibu saya ke Denpasar untuk berbagai urusan. Ada kesenangan tersendiri mengulang lagi apa yang terjadi sejak belasan tahun lalu. Momen yang saya sukai adalah bercerita sambil nyetir, membahas banyak hal yang penting dan tidak penting.

Suatu kali kami melewati sebuah kemacetan di Badung menuju Denpasar. Cuaca yang panas dan klakson yang berlomba menambah runyam suasana. Semua orang memasang tampang gelisah, tidak sedikit yang mengumpat tetapi tidak satupun berbuat apa-apa. Mengatasi kemacetan memang bukan tugas pemakai jalan, tetapi tugas polisi. Hampir semua orang meyakini begitu. Saya melihat ada satu jalan alternatif yang kosong, meskipun itu satu arah. Saya membayangkan, kalau saja kali ini aturan satu arah itu diubah sebentar saja, barang dua atau tiga jam, tentu kemacetan ini bisa diatasi. Tapi itu hanya ide, tidak ada polisi dan sayapun hanya seorang pemakai jalan biasa. Macet tetap berlangsung, tidak berkesudahan.

Terpanggang matahari dan pening oleh riuh jalanan, saya sudah tidak tahan lagi. Saya tekan 108 lalu menanyakan telepon kantor polisi terdekat. Sebentar kemudian saya sudah berbicara dengan seorang polisi. Intinya saya sampaikan ide jalan alternatif itu kepada petugas. Di luar dugaan, petugas menyambut cukup hangat dan berjanji mempelajari ide itu. Saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena saya segera lewat dari kemacetan itu.

Ibu saya selalu mengingat kejadian itu sampai sekarang. Beliau heran dengan apa yang saya lakukan karena itu sama sekali tidak ada di pikirannya, tidak juga di pikiran orang-orang yang dikenalnya selama ini, meskipun sudah ratusan kali menghadapi macet. Dalam pemahamannya, saya dianggap telah melakukan apa yang orang lain bahkan tidak pikirkan. Tentu saja dugaan itu berlebihan karena siapapun tentu bisa melakuakn tindakan sederhana itu. Yang diperlukan adalah keyakinan dan cara pandang yang sedikit berbeda ditambah sedikit ‘kenakalan’.

Di pertengahan Februari 2011, saya mengalami kejadian kurang menyenangkan di Melbourne. Saya mendapat perlakuan kasar dari seorang sopir bus. Sopir ini keturunan Asia (mungkin Vietnam) dan berlaku tidak sopan pada saya. Intinya saya merasa diperlakukan semena-mena karena (dugaan saya) dia merasa lebih kuasa. Meskipun tidak berhasil melayani perlakuan itu dengan semestinya, saya berjanji di dalam hati bahwa perlakuan ini tidak akan saya diamkan. Saya yakin, dia telah melakukan kesalahan besar memperlakukan saya tidak sopan. Yang dia tidak sadari adalah dia sedang menindas orang yang tidak akan tinggal diam. Saya jadi geram.

Dalam keadaan hati yg masih cukup emosi, saya menulis email kepada MetLink Melbourne, perusahaan pengelola transportasi di Victoria. Sama dengan ketika saya menelpon polisi beberapa tahun lalu di Bali, keyakinan saya adalah bahwa saya wajib menyuarakan pikiran dan pendapat saya. Soal didengar atau tidak, itu bukan urusan saya lagi. Kali ini, sayapun melakukan hal serupa. Saya tidak menuntut banyak lewat email itu, saya hanya menyampaikan kejadian yang menimpa saya dan menyatakan bahwa itu adalah tindakan yang tidak sepatutnya. Saya bilang, saya tidak menuntut apa-apa tetapi percaya bahwa Metlink tidak akan tinggal diam melihat ada karyawannya yang merusak reputasi perusahaannya yang terkenal bagus selama ini. Saya hanya bilang “a proper response from you will be very much appreciated” Selanjutnya saya lupakan, tugas saya sudah selesai.

Seminggu kemudian, saya mendapat sebuah email tanggapan yang sangat simpatik:

Hi Andi,
Thank you for your correspondence I received via the Metlink Call Centre.
I refer to the issues raised regarding one of our drivers which occurred on Friday 25th February. I have interviewed the driver concerned and consequently disciplinary action against the driver has occurred.

On behalf of the driver I apologize for any inconvenience and distress this incident may have caused. If you wish to discuss this matter in more detail, please don’t hesitate to contact me on the number below.

Kind regards.

D****

Suara saya ternyata didengarkan dan diperhatikan dengan baik. Saya tidak pernah berharap sopir itu akan kehilangan pekerjaannya tetapi saya ingin dia menjadi lebih baik. Itu saja. Karena itu, begitu menerima email tersebut saya langsung merespon halus, berterima kasih dan saya sudah menganggap masalah ini selesai. Ada kepuasan telah melakukan satu aksi saat meyakini sebuah kebenaran. Soal hasil, serahkan pada sang waktu. Mengutip kalimat Ade Rai dalam salah satu presentasinya di TEDxJakarta, jika kita sudah memiliki motivasi maka lengkapilah dengan informasi (pengetahuan). Setelah itu lakukan aksi agar bisa menjadi destinasi. Tanpa aksi semua motivasi dan informasi itu menjadi basi.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

7 thoughts on “Aksi”

  1. Jika orang bisa mendengarkan suara-suara yang membangun, maka itu akan sangat baik. Tapi entah mengapa kalau di stasiun berita lokal tidak ada yang seperti ini pernah terdengar, cukup contoh sederhana saja seperti kisruh PSSI, entah siapa yang bersuara entah siapa yang mendengarkan.

  2. Mas Andi, saya juga suka kalimat Ade Rai : “Tanpa aksi semua motivasi dan informasi itu menjadi basi”. Salam.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: