
Kawan Comoros ini adalah seorang duta bangsa, dia masih mengalamai ketakutan, pun karena persoalan bahasa. Tidaklah berlebihan kalau seorang Made Kondang, ciut nyalinya waktu pertama kali harus datang ke Denpasar dari desanya di pojok Kabupaten Tabanan yang bahkan tidak terlihat di Peta Bali. Kali ini bukan karena bahasa tetapi karena Kondang melihat kemewahan yang menyeramkan.
Ketika mendatangi sebuah restoran China di bilangan Queens, New York, pengalaman menggelikan sekaligus menjengkelkan terjadi. Mbak China yang cantik ternyata tidak cakap berbahasa Inggris. Bahasanya membentak-bentak, nada tinggi dan volume keras, menawarkan menu yang tidak dimengerti. Hal yang sama juga terjadi ketika saya menanyakan menu yang diinginkan dan dia tidak mengerti. Tercampur baur antara “chiken”, “rise” dan semua istilah yang sesungguhnya sederhana menjadi ruwet. Saya kadang putus asa 😦
Tapi bukankah mereka berbisnis di New York?
Belasan restoran yang saya kunjungi, setengahnya menunjukkan hal serupa. Bahasa Inggris menjadi kendala. Bagaimana mereka bisa dan berani mendirikan bisnis di New York kalau Bahasa Inggris saja tidak lancar? Pertanyaan ini seringkali mengganggu pikiran saya.
Jadi ingat lagi kawan Comoros yang pernah ciut nyalinya. Saya jadi bertanya, “apakah ketakutan itu masih perlu?” Mungkin saatnya Comoros belajar dari China.
wah,film ini salah satu film natal kesukaan saya selain love actually.hehe.