Mengingat Ibu Rita, Rektor Perempuan Pertama UGM


Di tahun 2010 saya menulis sebuah artikel berjudul Kartono untuk memberikan kritik satir pada dunia tentang marjinalnya peran kepemimpinan perempuan. Pada artikel yang berlatar waktu masa depan itu saya menulis bahwa UGM saja, sebuah universitas terbesar di Indonesia, tidak pernah dipimpin perempuan sampai 100 tahun usianya. Di tahun 2014, kritik saya itu runtuh gugur karena munculnya sebuah kebenaran baru. Prediksi satir saya tidak menjadi nyata. Sejak November 2014, seorang perempuan bernama Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D mendapatkan hak penuh untuk kami panggil sebagai Ibu Rektor UGM.

Ibu Rita, demikian kami mengenal beliau di UGM, sudah saya dengar namanya sejak tahun 2006 ketika Jogja dilanda bencana gempabumi yang sangat dasyat. Seorang alumni Teknik Geodesi UGM menyampaikan pada saya tentang seorang perempuan yang menjadi media darling di kala itu. Saya kemudian tahu, perempuan ahli bencana itu bernama Dwikorita Karnawati. Namanya yang tidak lazim langsung mengendap dalam memori saya. Kemunculannya di TV dan berbagai media dengan wajahnya yang memang cantik menarik menjadi daya pikat tersendiri. Dwikorita adalah Srikandi pengurangan risiko bencana di Indonesia yang juga mendunia.

Pertemuan perdana saya dengan Ibu Rita terjadi pada tanggal 20 November 2006 dalam acara PUDSEA, sebuah seminar internasional yang diselenggarakan di UGM. Saat itu saya presentasi peta dan bencana dan di ruangan itu hadir Ibu Rita. Yang pertama kali menarik perhatian saya adalah keaktivan beliau bertanya dan berkomentar di forum itu, termasuk terhadap seorang professor lain yang saat itu presentasi tentang transportasi. Belakangan saya tahu, professor yang dimaksud adalah Pak Sigit yang tidak lain adalah suaminya. Kesan saya satu, urusan rumah tangga tidak menghalangi keprofesionalan Ibu Rita dan Pak Sigit untuk berdiskusi ilmiah di sebuah forum resmi. Interaksi yang menarik.

Ibu Rita mengenakan baju dan kerudung yang bernuansa coklat ketika itu, nampak anggun dan cantik. Sejujurnya, penampian beliau agak berbeda dari dosen UGM, terutama Fakultas Teknik, yang ada dalam imajinasi saya yang biasanya cenderung tidak modis dan agak ndeso. Saat saya menggunakan istilah “ndeso” yang saya maksud adalah ndeso yang berwibawa dan membanggakan karena UGM memang universitas ndeso. Singkat kata, Bu Rita tampil berbeda ketika itu. Yang menyita perhatian saya tentu saja bukan hanya dandanan beliau yang ‘fashionable’ tetapi, yang lebih penting, adalah reputasinya yang mendunia. Konon, beberapa waktu lalu beliau dinobatkan sebagai presenter terbaik dalam sebuah konferensi di Nottingham Inggris. Mengomentari hal ini, seorang kawan saya berkata “padahal presentasi Bu Rita hanya gambar-gambar saja lo.” Dari situ saya yakin, Bu Rita terbiasa presentasi dengan prinsip dasar yang saya juga percaya: “show, don’t tell!”

Sayangnya, saya tidak punya keberanian yang cukup untuk mendekati Bu Rita untuk menyapa beliau di tahun 2006 itu. Kekaguman yang terpendam. Cinta yang layu sebelum berkembang. Saya harus puas hanya menjadi pengagum rahasia. Menjadi fans ilmiah yang hanya bisa memandang dari jauh. Wibawa ilmiah seorang Dwikorita Karnawati terlalu tinggi bagi saya ketika itu. Seorang kawan yang mengetahui keinginan saya menyapa beliau bahkan memotivasi “sapa saja, Bu Rita suka kok dengan anak muda yang aktif” tapi motivasi itu gagal. Sepulang dari PUDSEA itu, saya pun terheran-heran pada diri sendiri, tak pernah menyangka akan mengalami kekonyolan itu. Tapi sudahlah. Itu masa lalu.

Kampus Fakultas Teknik, 21 Maret 2014
Di depan saya, ada sekitar 300 pasang mata. Mereka semua duduk dan bersiap menyimak sajian ilmiah hari ini. Di sebelah saya, telah hadir seorang diplomat bernama Arif Havas Oegroseno, Duta Besar RI untuk Belgia, Luxemburg dan Uni Eropa. Di sebelah beliau, saya duduk dengan harap-harap cemas. Itu adalah kali pertama saya memoderatori seorang duta besar.

Tanpa sepengetahuan siapapun, yang membuat saya tambah grogi dan resah adalah karena di deretan kursi paling depan duduk seorang perempuan berwibawa dengan kerudung modis menawan. Perempuan itu, tak lain adalah Prof. Dwikorita Karnawati. Ilmuwan yang gagal saya sapa delapan tahun lalu itu kini duduk dengan tersenyum di depan saya, nampak siap menyaksikan perhelatan ilmiah itu. Beberapa menit sebelumnya beliau memberi sambutan selaku wakil rektor UGM, mewakili Rektor yang tidak bisa hadir di kesempatan itu. Waktu berlalu cepat dan banyak hal yang sudah terjadi sepeninggal saya sekolah S3 di Australia.

Saya masih berkeyakinan, Ibu Rita belum tahu saya. Secara formal, saya hanya menyapa beliau sekilas sebagai bentuk rasa hormat ketika saya mulai memperkenalkan Pak Havas di panggung. Sementara itu, Bu Rita nampak antusias menyimak, tentu karena daya tarik Pak Havas yang selalu memukau ketika berbicara soal laut dan kedaulatan. Tidak hanya cemerlang soal diplomasi dan komunikasi, Pak Havas juga disukai kaum hawa karena memang tampan dan berwibawa. Tentu saja ini tidak ada kaitannya dengan Bu Rita.

Itu adalah kali pertama saya mencoba sebuah inovasi baru dalam hal menjadi moderator. Saya ingin mengenalkan Pak Havas dengan cara yang berbeda dari moderator-moderator kebanyakan. Maka saya siapkan slides presentasi tentang beliau dan saya latih dengan sangat keras. Masih jelas dalam ingatan saya, beberapa jam sebelum itu saya masih berlatih ditemani Asti, isteri saya, yang tidak kuasa menahan kantuk karena sudah menjelang subuh. Saya selalu percaya, hasil tidak pernah mengkhianati persiapan. Hal baru perlu persiapan ekstra agar ruang ketidakpastian semakin kecil. Saya ingin beruntung hari itu, keberuntungan dalam definsi Thomas Jefferson: the harder I work, the more luck I seem to have.

Saya mencuri-curi pandang saat Bu Rita nampak beberapa kali tersenyum, mengangguk dan bahkan tertawa ketika saya kenalkan Pak Havas dengan cara yang berbeda. Tanpa mengkonfirmasi, saya simpulkan bahwa cara itu cukup berhasil untuk menarik perhatian para hadirian. Tak terkecuali Ibu Rita. Selama dua jam, beliau tidak beranjak dari tempat duduknya. Hal ini berbeda dengan pejabat kebanyakan yang biasanya sibuk dan memilih untuk berlalu sesaat setelah memberi sambutan. Daya tarik Pak Havas memang luar biasa.

Menjelang akhir acara saya mendapat sebuah pesan lewat SMS dari Ibu Rio, Kepala Kantor Urusan Internasional UGM. Belakangan saya paham bahwa di Kantor Wakil Rektor Kerja Sama dan Alumni UGM ada tiga perempuan keren: Ibu Rita, Ibu Ika dan Ibu Rio dengan jabatan masing-masing Wakil Rektor, Direktur dan Kepala KUI. SMS itu mengundang saya untuk ikut acara minum teh dengan Pak Havas di Hotel Tentrem malam hari setelah acara. Saya langsung menerima undangan itu.

Di sela obrolan dengan Pak Havas, sekali waktu Bu Rita bertanya pada saya, tentang studi maupun tentang seminar yang baru saja saya moderatori. Obrolan itu ringan dengan sesekali berupa apresiasi khas Bu Rita. Di luar pengetahuan semua orang, saya merasa senang sekaligus grogi malam itu karena ini adalah mimpi lama untuk berinteraksi dengan seorang Dwikorita Karnawati yang tersohor. Situasi menjadi lebih ‘menegangkan’ karena di situ ada Ibu Ika Dewi Ana, seorang peneliti papan atas Indonesia yang namanya juga sudah saya dengar. Karyanya saya baca dan puisinya saya nikmati di berbagai kesempatan. Peneliti dengan kemampuan merangkai kata-kata yang puitis dan bermakna dalam selalu bisa menjadi idola saya dengan cepat.

Pertemuan malam itu tidak panjang tetapi menjadi titik sejarah karena itulah kali pertama saya berinteraksi dengan Bu Rita. Hotel Tentrem tanggal 21 Maret 2014 adalah titik awal semua hal yang kemudian terjadi. Setidaknya demikian catatan saya secara subyektif.

Yogyakarta, 1 April 2014
Saya dihubungi oleh Ibu Ika dan diminta menjadi pembicara dalam acara pembekalan wisuda pascasarjana. Sejujurnya saya kira itu semacam April Mop karena saya belum pernah bermimpi bisa bediri di depan ribuan wisudawan UGM dan memberi ‘wejangan’. Pidato wisuda yang saya ingat adalah pidatonya Steve Jobs di Standford tahun 2005 yang legendaris itu, pidato Bill Gates di Harvard yang memukau atau pidato Oprah di Howard University yang inspiratif. Saya? Tentu jauh sekali dari itu dan permintaan dari Bu Ika adalah sebuah kehormatan.

Lebih dari sekedar permintaan untuk mengisi pembekalan wisuda, komunikasi dengan Bu Ika adalah bagian awal dari perjalanan karir saya selanjutnya. Saya kemudian diminta menjadi Kasubdit Kerjasama Internasional UGM atau dengan bahasa yang lebih populer sebagai Kepala Kantor Urusan Internasional. Terkejut? Pasti! Senang? Tentu saja. Belakangan saya mencoba memahami, semua itu tidak lepas dari pertemuan pertama saya dengan Bu Rita. Ide dari Bu Ika untuk memberi saya kesempatan besar itu semestinya bukan tanpa persetujuan dari Bu Rita. Dalam cerita saya kepada anak-anak muda, saya sering mengatakan bahwa empat menit saya mengenalkan Pak Havas dalam sebuah seminar itu yang memberi saya kesempatan lebih besar di Kantor Urusan Internasional UGM. “Jadi”, saya biasanya bilang, “jika hanya empat menit yang kamu punya, maka gunakan dengan baik dan persiapkan dengan serius maka kamu akan terkejut dengan kesempatan yang hadir berikutnya”.

Bulan Juni 2014 adalah tugas pertama saya sebagai Kepala KUI, menemani Bu Ika dalam kapasitas menggantikan Rektor UGM dalam acara AUN Rector’s meeting di Cebu Filipina. Saat itulah kali pertama saya menyingkap kekuatan karakter seorang Dwikorita Karnawati. Bu Ika dan saya mendapatkan sebuah mandat untuk ‘menggugat’ forum AUN untuk suatu hal yang mungkin orang lain bahkan tidak pikirkan. Bagi saya, itu tidak mungkin dan berlebihan tetapi Bu Rita dengan mantap menegaskan. Di situ saya seperti belajar ulang sebuah hal klise yang saya pelajari selama ini bahwa ketika semua orang mengatakan “tidak mungkin” maka hal besar bisa terjadi jika ada satu orang ‘gila’ yang mengatakan “mungkin”. Saat semua orang bertanya “why?” maka hal besar bisa terjadi karena satu orang bertanya “why not?”. Meskipun karena pertimbangan tertentu ide itu tidak jadi kami laksanakan, kesan pertama dengan Bu Rita bahwa beliau adalah orang yang ‘berbeda’ terpatri pada diri saya.

Dalam perjalan selanjutnya, saya belajar lebih banyak lagi. Duo Rita dan Ika adalah pasangan ideal untuk sebuah gerak cepat, kecermatan dan ketelitian. Di situlah saya merasa hidup seperti berkendara pada roller coaster yang dramatis. Kecepatan gerak, ketepatan dalam mengambil keputusan dan kesigapan dalam merespon adalah tiga hal yang selalu membuat adrenalin mendesak ke permukaan. Saya sudah lama tidak dimarahi orang dewasa dan berinteraksi dengan Bu Rita serta Bu Ika membuat pengalaman itu hadir kembali. Dua orang itu seakan menjadi ibu saya. Standard tinggi dalam pengelolaan organisasi adalah satu yang saya pelajari.

Bu Rita adalah satu dari sedikit orang yang bisa membuat saya deg-degan untuk alasan kesempurnaan kerja. Bersama seorang sahabat baik, Mas Danang Sri Hadmoko, perjalanan di jalur roller coaster menjadi begitu dinamis dan penuh pelajaran. Setiap hari adalah kejutan, setiap telepon atau email adalah tantangan baru. Bu Rita menelpon saya di waktu-waktu yang tidak selalu berada dalam ruang jendela jam kerja. Bersama beliau, masukan, instruksi dan mermintaan bisa datang di waktu-waktu tak terduga. Meski menegangkan, saya sangat menikmatinya sebagi rangkaian pelajaran.

Ketika Pak Rektor Pratikno digadang-gadang jadi menteri Pak Jokowi, tak banyak yang menyangka bahwa beliau akan digantikan oleh Bu Rita. Terus terang, saya menduga Pak Pratikno akan digantikan oleh Prof. Iwan. Tentu bukan karena tidak percaya pada Bu Rita tetapi karena tradisi normatif, seorang Rektor atau Dekan digantikan oleh wakilnya di bidang akademik jika mereka harus diganti di tengah jalan. Dugaan itu ternyata keliru dan Bu Rita dinobatkan sebagai Rektor Perempuan UGM yang pertama. Sejarah baru telah tercatat dan tulisan saya di tahun 2010 itu perlu segera direvisi.

Kini saya seperti berjalan di sebuah lorong baru. Dari predikat kasubdit kerjasama internasional menuju status ‘Menemani Rektor Perempuan Pertama UGM’. Bisa jadi saya Ge-eR karena peran saya tentu tidak akan besar. Rektor UGM akan didukung oleh ratusan orang dan saya hanyalah setitik kecil yang belum tentu signifikan perannya. Biarlah. Imajinasi saya tetap sedemikian karena saya ingin menajadi bagian dari sejarah ini.

Bu Rektor tentu tetap merasa punya akses langsung ke Mas Danang dan saya. Instruksi dan perintah langsung tetap datang dari beliau. Dalam perspektif positif, ini bisa dilihat sebagai usaha untuk memangkas birokrasi yang kadang panjang. Hal-hal luar biasa yang kami hadapi sehari-hari memang perlu pendekatan luar biasa juga. Bu Rektor jelas memiliki attitude ini. Semua itu berjalan baik karena kebijaksanaan Wakil Rektor yang baru yaitu Pak Paripurna yang memahami situasi ini. Pak Parip dengan bijak bisa mahamami akses langsung dari Bu Rektor ke saya dan sahabat lain di kantor WR Kerja Sama dan Alumni tanpa kehilangan kendali atas kami semua.

Bu Rita adalah tentang dinamika yang tinggi. Ide-idenya muncul bagaikan kelebatan petir yang menyambar-nyambar. Ketika sedang di luar negeri, idenya untuk berkunjung ke suatu tempat kadang muncul secara spontan dan tiba-tiba. Bu Rita tidak pernah mau berkunjung ke suatu tempat di luar negeri dengan agenda yang lengang. Di sela agenda utama, beliau selalu minta diagendakan untuk melakukan berbagai hal lain. Pertemuan dengan perguruan tinggi calon mitra, rapat dengan perwakilan RI di luar negeri, diskusi dengan mahasiswa Indonesia atau berkunjung ke industri yang terkait erat dengan inovasi dan pendidikan adalah beberapa yang selalu beliau usahakan. Siapa yang harus mengatur semua itu? Tentu saja kami di kantor internasional. Saya tidak sendiri karena Ibu Anna selaku direktur, Mas Danang selaku deputi direktur dan teman-teman saya selalu siaga 1 jika Bu Rektor menghendaki.

Memiliki permintaan ‘impossible’ adalah ciri khas Bu Rita. Pernah suatu ketika saya harus mengatur perjalanan beliau ke Amerika Serikat dan harus mampir di Silicon Valley, padahal bukan merupakan agenda utama. Mampir ke kantor Google tentu bukan hal yang mudah jika tidak direncanakan jauh-jauh hari. Bu Rektor mengajukan permintaan ini dan kami harus melihat ini sebagai tantangan, bukan kesulitan. Dengan mengoptimalkan berbagai jejaring secara formal maupun informal, akhirnya kami berhasil mengatur perjalanan beliau dengan baik.

Bekerja dengan Bu Rita adalah bekerja dengan ketidakpastian yang tinggi. Hal ini bisa terkait perjalanan luar negeri yang jadwalnya sangat dinamis. Suatu ketika saya sudah mengatur perjalanan beliau ke Jepang dan sudah membuat janji dengan beberapa institusi di Jepang. Orang-orang yang akan beliau temui tentu saja selevel rektor atau minimal wakil rektor yang jadwalnya tentu juga sangat padat. Tiba-tiba saja Bu Rita membatalkan kunjungannya karena beliau dipanggil ke Jakarta oleh menteri atau presiden. Begitulah kalau kita bekerja dengan Rektor UGM. “Tolong saya digantikan Pak Parip saja” demikian perintah beliau singkat. Pak Parip belum punya visa dan waktu keberangkatan sudah tinggal dua hari. Yang diperlukan untuk menghadapi semua itu tidak hanya kemampuan komunikasi dan jejaring yang luar dari biasa tetapi juga keajaiban yang tiada tara. Pak Parip akhirnya berangkat ke Jepang tepat waktu dengan membawa misi mewakili Bu Rita. Betul, inilah keterampilan minimal yang harus dimiliki oleh seorang Kepala KUI UGM.

Ketidakterdugaan Bu Rita tetap ada dan telah menjadi ciri khas beliau. Suatu ketika, saya diminta untuk menuliskan pidato untuk wisuda yang akan berlangsung esok hari. Saya yakin beliau sudah memiliki bahan yang baik tetapi Bu Rita memang selalu ingin memiliki perspektif lain. Maka sore itu saya berhenti di pinggir jalan karena sedang nyetir untuk membuat sebuah pidato dengan tema “digital economy”. Bu Rita juga tidak pernah merasa bahwa meminta seorang surveyor untuk menulis tentang digital economy adalah masalah besar. Bagi beliau, setiap orang harus belajar dan karena tekun belajar maka siapapapun berhak untuk memahami apapun. Gaya ini memaksa saya belajar banyak hal, tentu sambil berlari dan kadang terbang.

Perhatian Bu Rita akan hal-hal kecil sangat mengagumkan. Saya pernah mendapat teguran karena pilihan kamar hotel yang tidak sesuai dengan keinginan beliau. Kadang ada yang berkelakar, “pakar batas maritim tingkat dunia dimarahi gara-gara kamar hotel”. Semua itu mengundang tawa ketika sudah lewat meskipun itu jelas-jelas menegangkan ketika sedang terjadi. Pelan namun pasti saya belajar menaruh perhatian pada hal-hal detil dalam sebuah event.

Jika Bu Rita presentasi maka saya tidak jarang harus memastikan flash disk, mouse, pointer untuk presentasi, volume audio, LCD projector dan lain-lain. Di saat seperti itu, orang-orang akan melihat saya sebagai seorang asrot yang sibuk lari sana-sini membawa flash disk, mengganti mouse, mengantarkan pointer dal hal-hal pritilan lainnya. Sebelas duabelas dengan saya adalah Mas Danang yang sering kali lebih dasyat jungkir baliknya. Hal itu juga yang membuat saya dengan rela melupakan bahwa saya juga kerap duduk satu meja berkelakar dengan menteri, memberi kuliah bersama duta besar, memoderator ketua Mahkamah Konstitusi atau bahkan menasihati seorang presiden sebuah negara di Afrika timur. Bersama Bu Rita, saya mempelajari satu hal bahwa mereka yang bertahan adalah mereka yang bisa berperan dengan tulus saat tinggi maupun saat rendah.

Bu Rita memiliki jiwa penerobos meskipun kadang naïf dan awam politik. Hal-hal yang macet ingin beliau urai dan selesaikan. Memang tak selalu berhasil gemilang tetapi usaha dan niat baiknya nampak jelas terlihat. Kenaifannya sering kali membantu proses negosiasi karena beliau selalu hadir dengan pemikiran yang tidak terkontaminasi sehingga ketulusannya bisa dirasakan dan melancarkan pencapaian kata mufakat. Keawaman beliau secara politik juga tak jarang membuat proses yang menurut orang lain rumit menjadi lebih sederhana. Benar kata pepatah, kadang ignorance is bliss. Kekhawatiran muncul karena pengetahuan dan sebaliknya, ketidaktahuan kerap menghadirkan ketenangan dan bahkan keberanian mengambil sikap.

Bu Rita sadar, bisnis utama sebuah perguruan tinggi adalah melahirkan manusia yang baik. Maka, mahasiswa menjadi perhatian beliau secara serius. Dalam perjalanan saya ke India dengan beliau di tahun 2015, kami banyak berbicara soal mahasiswa. Bu Rita rupanya tahu perihal kedekatan saya dengan mahasiswa di UGM. Beliau tidak segan meminta pandangan saya soal mengelola mahasiswa di UGM, termasuk menghadapi mereka yang memiliki naluri protes yang tinggi. “Ketika kita punya power, kita bisa memilih penggunaannya. Power itu bisa kita gunakan untuk menekan dan melarang, bisa juga kita gunakan untuk memberi ruang kretivitas bagi mahasiswa” demikian salah satu ucapan beliau yang selalu saya ingat.

Pernyataan ini beliau sampaikan ketika beliau punya ide untuk berkomunikasi dengan mahasiswa terkait kebijakan UGM terkait waktu pembayaran UKT. Yang saya tangkap, Bu Rita punya niat yang baik untuk mendengarkan dan membela mahasiswa, tentu dengan cara yang tidak melanggar aturan. Saya juga menangkap sikap tegas beliau tentang pandangan bahwa universitas bisa memanfaatkan powernya untuk ‘memaksa’ mahasiswa mengikuti kemauan universitas. Demo mahasiswa UGM tahun 2016 yang begitu besar bisa jadi dilihat sebagai catatan kuning komunikasi Bu Rita dengan mahasiswa tetapi itu juga bisa dilihat sebagai komitmen beliau member ruang pada demokrasi. Bisa jadi itu adalah usaha untuk mendengarkan, terutama ketika terjadi perbedaan pandangan. Dalam bahasa Obama, “I will listen to you, especially when we disagree.

FarewellRectorUGM

Saat di India, saya juga menyaksikan kualitas beliau saat berbicara terkait pendidikan, kepemimpinan dan perempuan. Di panggung itu, seorang Bu Rita berdiri mewakili perempuan Indonesia dan mengemukakan gagasan cemerlang. Gagasan itu brilian karena beliau dukung dengan bukti tindakan yang sudah beliau lakukan. Sebagai seorang pakar pengurangan risiko bencana yang sudah malang melintang di lapangan, Bu Rita tampil memesona dan membanggakan sebagai Tokoh Indonesia.

Di India itu juga saya memahmi arti bertugas dengan baik ketika diberi kesempatan ‘jalan-jalan’ ke luar negeri. Bu Rita dengan tegas mengingatkan saya agar berbicara serius dengan mitra-mitra luar negeri dan merancang kerjasama yang kongkrit untuk dibawa pulang. Dengan kata lain, beliau menegaskan bahwa bertugas ke luar negeri bukan sekedar rutinitas memenuhi jadwal formal di ruang-ruang diskusi tetapi lebih dari itu, untuk merebut peluang demi kepentingan UGM dan Indonesia. Selain itu, Bu Rita selalu mengajarkan bahwa kita harus berperan. Di forum, kita harus selalu berbicara dengan baik dan hadir dengan gagasan-gagasan baik. Orang UGM tidak boleh duduk di pojok dan tidak berbicara sama sekali di sepanjang acara. Orang UGM harus tampil dengan baik dan nampak mewarnai maka dari itu dia harus bersiap-siap ketika akan berangkat ke luar negeri. Ini pelajaran penting.

Perjalanan bersama Bu Rita dan pertemuan dengan berbagai pihak adalah teori berjejaring yang hadir dalam bentuk praktik. Bersama Bu Rita saya belajar menghadapi dan berinteraksi dengan berbagai orang, mulai dari agen pendidikan yang ‘rese’’, peneliti yang kemauannya tidak mudah dipahami, duta besar yang diplomatis namun misterius, menteri yang eksentrik, rektor universitas luar negeri yang agresif, mahasiswa yang idealis dan penuh tuntutan, perusahaan internasional yang penuh inovasi atau ‘sekedar’ petugas kantor depan sebuah hotel yang banyak tanya di Kamboja. Satu yang saya pelajari, bukan soal siapa yang kita hadapi tetapi tentang bagaimana kita menuai pelajaran dari setiap interaksi itu.

Perhatiannya pada kami para staf sekaligus peneliti UGM sangat tinggi. Apapun yang kami lakukan terkait kerjasama luar negeri, beliau selalu menegaskan bahwa itu harus juga bermanfaat bagi karir akademik pribadi kami. Saat ada acara pertemuan Indonesia dengan Prancis, Bu Rita secara khusus mengirim pesan ke saya agar saya mendaftar sebagai utusan akademik UGM. Intinya, jangan sampai saya hanya sibuk sebagai penyelenggaara tetapi tidak mendapat manfaat sebagai peneliti. Menjadi peneliti dan pengajar adalah karir utama saya di UGM. Itu rupanya yang selalu beliau ingatkan dan tegaskan.

Nasihat beliau akan karir saya sebagai peneliti tentu saja dengan keteladanan. Bu Rita, meskipun jadi rektor, tetap meneliti dan menulis. Inovasinya juga berjalan baik dengan temuannya berupa sistem peringatan dini untuk tanah longsor yang kini sudah dipakai di berbagai negara. Beliau juga adalah pembicara laris di bidang tanah longsor di berbagai belahan dunia. Hampir tidak ada conferensi internasioal di bidang tanah longsor yang tidak menginginkan Bu Rita sebagai salah satu pembicara kunci. Perempuan, pemimpin, ahli bencana, professor dan cantik adalah lima hal yang menjadi kombinasi daya tarik yang kuat dari seorang Dwikorita karnawati.

Tulisan ini bisa bertambah panjang dan bahkan tidak berhenti karena sangat banyak hal yang saya ingat tentang Bu Rita. Meski begitu, saya akan hentikan di sini. Biarlah ada ruang misterius yang hanya saya yang pahami dan nikmati. Yang terpenting, orang mungkin bertanya mengapa saya menuliskan ini. Ini adalah rekaman ingatan saya, seperti saya juga merekam ingatan lainnya. Tentu tidak perlu saya tuliskan panjang lebar bahwa Bu Rita tidak sempurna karena memang tidak ada yang sempurna. Namun demikian, saya juga dengan percaya diri bisa menegaskan bahwa Bu Rita telah dengan sekuat tenaga mengusahakan kesempurnaan dari serpihan ketidaksempurnaan yang beliau miliki.

Apapun pandangan saya tentang Bu Rita dan terutama apapun anggapan orang tentang beliau, ada satu hal yang tidak akan pernah diingkari sejarah bahwa saya bisa berperan lebih banyak untuk UGM karena kesempatan yang beliau dan Bu Ika berikan. Saya tidak akan pernah menyangkal bahwa saya adalah murid Bu Rita dan saya bangga pernah menemani rektor perempuan pertama UGM mengabdi bagi pendidikan dan bagi Indonesia.

Wedomartani, 28 Mei 2017
I Made Andi Arsana | Kepala KUI UGM | Dosen Teknik Geodesi UGM

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

19 thoughts on “Mengingat Ibu Rita, Rektor Perempuan Pertama UGM”

  1. Sangat menarik Bli, semoga kecerdasan dan kemampuan Beliau dapat diikuti oleh seluruh anak bangsa Indonesia khususnya para perempuan.. yang tercatat dan menarik bagi saya adalah pernyataan Bli Andi yang menyatakan “hasil tidak akan menghianati persiapan” saya yakin Ibu Rita memiliki banyak pengalaman penting yang membuat beliau mendapatkan kesempatan seperti itu. kemudian terpenting lagi “why not” Bli Andi bisa diberikan kesempatan untuk menjadi orang no. 1 di Ugm. Tetap semangat Bli untuk terus menginspirasi.

    1. Saya termasuk senang dan menikmati tulisan dan gagasan pak Andi Arsana. Intelektual dan akademisi UGM yang cemerlang dan handal serta memiliki reputasi global. Tulisan tulisan pak Andi tentang bu Rektor kita sangat menginspirasi dan menggairahkan untuk terus bekerja dan berbakti bagi almamater dan Indonesia. Sehat dan Sukses selalu bli Andi. All the best….

  2. Dan saya juga belajar banyak dari Bapak untuk selalu bisa melihat sisi baik orang lain, bahkan hingga ke hal-hal paling kecil dan detail.

    Semoga suatu saat saya akhirnya bisa bertemu dengan Bapak dan melihat langsung cara Bapak berkomunikasi dan membawakan presentasi, meski saya bukan alumni UGM, pun bukan alumni teknik geodesi 😀

      1. Yuk Pak. Semoga pas saya bisa mampir Jogja, bisa kesampean ketemu Bapak 🙏. Padahal saya ngefollow blognya dari jaman kuliah sampe udah punya anak?😁

  3. Terima kasih Pak Andi sudah memberikan sudut pandang baru bagi saya terhadap sosok Ibu Dwikorita.
    Apapun tulisan Bapak, selalu saja tidak pernah membosankan dan ingin membacanya hingga selesai. Tidak men’judge’ hanya menyampaikan apa adanya.

  4. Terima kasih Pak Andi sudah memberikan pandangan baru terhadap sosok Ibu Dwikorita.
    Apapun tulisan Bapak selalu saja tidak pernah membosankan dan ingin membacanya hingga selesai.
    Tidak men’judge’ hanya menyampaikan apa adanya.

  5. saya meralat, kalo ibu rita, beliau alumni teknik geologi ugm . . bukan geodesi seperti di sampaikan di atas . . . terima kasih

    1. Tulisan ini tidak mengatakan beliau alumni Teknik Geodesi Bro. Ada alumni Teknik Geodesi yang bilang pada saya tentang beliau. Semoga penjelasan sederhana ini bisa dipahami :))

  6. Terima kasih Pak Andi telah membuat kenangan baik tentang Bu Rita, terasa emosinya di tulisan ini. Terlebih buat saya yang juga pernah bekerja bersama Bu Rita di lingkup yang lebih kecil, sebagai asisten peneliti sembari beliau membimbing pembuatan skripsi saya. Atau kadang saya pun ikut sibuk dengan urusan Departmen Teknik Geologi bila Bu Rita mengajak serta saya. Pernah juga saya menemani keponakannya yang dari Jakarta berkeliling sekitar Jogja, menjadi pemandu tur. Ya begitulah Prof. Dwikorita Karnawati.

    Dari tulisan Pak Andi, menurut saya kalimat kuncinya adalah “Memiliki permintaan ‘impossible’ adalah ciri khas Bu Rita.”

    Setelah saya lulus dan bekerja, menyesuaikan diri untuk berkoordinasi dengan rekan kerja dan atasan bukanlah hal yang sulit yang sulit lagi. Sudah terbiasa mengikuti ritme kerja dari Bu Rita sih sebelumnya, hehee…

    Sekali lagi terima kasih Pak Andi, yang kali ini untuk ketahanan fisik dan psikis dalam membantu tugas Bu Rita selama menjadi rektor.

Leave a reply to Andi Arsana Cancel reply