Ibu saya mudah kagum dengan orang pintar, sedikit tergagap-gagap dengan kemewahan dan mudah merasa lebih rendah dari orang lain. Sempat bersekolah hanya enam tahun dalam hidupnya, ibu saya hidup dalam kesederhanaan pikir, kata dan laku. Meski begitu, sosoknya penuh perhatian dan peduli pada kegiatan anaknya yang mungkin lebih sering tidak dipahaminya. Ibu saya sulit membayangkan bahwa ada orang yang bisa hidup dan menhidupi keluarganya hanya dari berbicara dan presentasi di depan orang, misalnya. Itu tidak masuk dalam kamus tipisnya yang minim pendidikan formal. Meski begitu, Ibu saya tidak pernah ketinggalan menunggu cerita saya tentang presentasi atau konferensi. Menceritakan konferensi tentang sengketa antarnegara di Laut China Selatan, misalnya, bukan sesuatu yang mudah, jika pendengarnya adalah ibu saya. Tak menyerah dengan ketidakterdidikan, Ibu saya gemar bertanya tentang Ambalat, Quick Count, Exit Poll atau tentang kata kata sulit seperti “check list“, “down payment” atau “marketing“. Kami sangat menikmati ngobrol hingga lama.
Dua minggu lalu beliau ke Jogja untuk menengok cucunya. Saya sibuk luar biasa, lebih dari biasanya. Di saat beliau ada di Jogja, saya harus tinggal ke Bandung, ke Magelang atau sekedar lembur di kampus sampai jam 11 malam. Parah nian saya menjadi anak. Namun begitulah kenyataannya. Hidup harus terus bergerak. Ibu saya menghibur “kamu kan memang sibuk sejak kecil dan kesibukan itu yang membuatmu merasa hidup”. Beliau tahu betul anaknya. Pernah ketika SMA, saat menjadi ketua OSIS, ibu saya berkelakar “kaya’ dapat gaji sejuta saja” saat menyaksikan anaknya jarang pulang. Sejuta memang jumlah yang sangat besar. Tidak pernah ada larangan, tidak pernah ada arahan harus begini atau begitu. Yang ada hanya satu: kepercayaan.
Di hari keberangkatan beliau ke Bali, saya juga harus berangkat ke Jakarta. Kami berangkat bersama dari rumah menuju bandara. Saya nyetir sendiri, parkir di bandara, karena sore hari nanti sudah kembali ke Jogja lagi. Kami masuk ke Blue Sky Executive Lounge. Dengan ragu Ibu saya melangkah memasuki ruangan. Ini untuk pertama kalinya beliau masuk ke ruang tunggu eksekutif. Karena sudah cukup sering menggunakan jasa Blue Sky, petugas mengetahui saya dengan baik. Tanpa basa basi mereka membantu check in dan kami segera duduk di ruang tunggu. Saya bisa memahami, pandangan ibu saya nanar, heran dan seperti tidak percaya. Bagi beliau, tempat itu mewah. Orang orang yang ada di sana adalah orang orang hebat dan berada di ‘kelas’ yang lebih tinggi dari dirinya.
Layaknya orang desa yang jarang melihat peradaban baru, Ibu saya gampang merasa canggung dan risih. Mudah merasa diperhatikan dan rasa malu menyerang dengan begitu gampang. Saya menghiburnya “sudahlah Bu, jangan merasa sok terkenal. Tidak ada yang memperhatikan kok” kata saya dan membuatnya tertawa. Sering saya bilang, orang yang mudah merasa malu berada di keramaian itu sebenarnya adalah orang yang gaya dan sok terkenal. Dia merasa orang orang memperhatikannya sehingga perlu merasa malu atau salah tingkah. Padahal kenyataannya, siapa juga yang sempat memperhatikan dia. Semua orang punya urusan masing masing. Ibu saya tertawa mendengar penjelasan itu.
Saya ambilkan makanan kecil dan minuman, lalu suguhkan di mejanya. Beliau masih setengah tidak percaya dengan apa yang terjadi. “Ini gratis ya” tanyanya. Saya bilang ya, saya hanya membayar satu rupiah saja dipotong dari kartu kredit. Beliau tidak bisa mengerti. Tentu memang tidak masuk di akal beliau bahwa ada orang yang sebenarnya mampu atau atau punya uang, justru mendapat layanan gratis sementara orang yang miskin atau tidak punya banyak uang harus membayar mahal untuk mendapatkan layanan yang sama. Saya bukan orang ekonomi jadi tidak bisa menjelaskan itu. Dunia memang tidak sesederhana yang ibu saya kira.
Kami sangat menikmati kebersamaan itu. Bercerita tentang masa kecil, tentang kekonyolan orang orang miskin seperti kami dan tentang orang orang tidak berpendidikan seperti ibu saya. Meski kaget, nampak jelas ada nuansa bangga pada wajahnya. Bangga karena beliau menikmati suasana ruang tunggu eksekutif bersama dan karena anak kandungnya. Menurutnya, itu bukan soal kemewahan karena pada dasarnya apa yang kami makan di ruang tunggu eksekutif tidak berbeda dengan angkringan. Ada kacang rebus, ada pisang godog, ada jajanan pasar. Yang membuatnya senang adalah ‘pencapaian’ itu karena usaha keras dan pendidikan. Ibu saya tidak memahami pendidikan tinggi. Yang beliau pahami, pendidikan tinggi itu memang ternyata bisa membuat orang mengenal dunia, merasakan hal-hal berbeda dalam kehidupan sehingga hidup menjadi berwarna. Pendidikan itu membuat orang tidak canggung ketika bertegur sapa dengan orang orang yang duduk tetang berwibawa di ruang tunggu eksekutif, sekaligus nyaman bersenda gurau dengan para petani yang hidupnya bertualang dari sawah ke sungai. Pendidikan itu membuat orang tidak mudah takut, tidak mudah heran sekaligus tidak mudah menghina.
Yang terpenting, pendidikan itu mendatangkan kejutan-kejutan yang tiada henti bagi Ibu saya. Kisah saya naik perahu di Kabupaten Paser memberi kejutan berbeda dibandingkan dengan pertemuan khusus dengan Presiden Somalia di Tahan Afrika. Cerita musim dingin di New York memberi sensasi tersendiri, yang tidak sama dengan gairah pesepeda motor di Ho Chi Mihn City di siang hari. Bagi saya, pendidikan itu sederhana saja. Pendidikan adalah kemampuan menjelaskan apa yang saya lakukan dan pahami kepada Ibu saya. Entah itu di tepi jalan berdebu di Padang Galak, atau di atas sofa empuk di sebuah ruang tunggu eksekutif di bandara, itu bukan perkara utama.
Dear Pak Made ysh, terima kasih untuk kiriman rekaman peristiwa ini. Saya baca artikel ini sampai habis dan langsung ingin menanggapi. Nampaknya, kata-kata apa pun sangat akrab pada diri Made Andi Arsana ini, dan karenanya, semuanya itu mengalir begitu saja. Berbahagialah ia dengan demikian, karena kapan pun ia mau ia bisa bikin tulisan, terus dan terus menerus. He is really a gifted person in that regard. Tentang ibu, isi tulisan, utamanya mengenai pendidikan dan kesederhanaan yang digambarkannya jelas sangat menyentuh siapa pun yang memelihara perasaan yang lembut dan manusiawi. Sambil lalu, ia mengkritik pula pola hidup orang kaya, yang sebenarnya lebih dari cukup (untuk beli apa saja), ternyata dimanjakan pula dengan makanan/minuman yang gratis. Oh, dunia. Terkadang memang dunia ini tidak adil. Terima kasih untuk Andi yang memanjakan kita dengan tulisannya dan membuat kita bahagia karenanya. Salam, SR
Luar biasa. Tersanjung saya dengan komentar ini. Terima kasih Pak Raja.
saya membayangkan cerita ini adalah saya dan ibu saya 😉
terimakasih pak sudah membakar semangat saya lagi 😉
Sebuah cerita yang sangat detail dan tergambar kontradiksi yang tajam antara dua generasi.. Saya yakin orang tua bli andi sanggat bangga dengan anaknya…. Saya salut… orang seperti bli berbicara begitu terbuka yang jarang orang hebat berani menyentuh nya untuk konsumsi publik… Tapi sekali lagi, cerita ini menjadi inspirasi berharga bagaimana pendidikan bisa merobah kehidupan menjadi baik. Hanya dengan pendidikan… anak2 miskin dapat terangkat hidupnya … ditunggu kisah inspirasi lainnya… eh… nanti tgl 23 ada di Jkarta? Saya mau meluncurkan buku “Asa Sebatang Kapur”, perjalanan hidup kepsek saya masa SMP yang penuh motivasi….
Maksih Bang Efri. Tgl 23 saya ada acara di Jogja. Selamat ya 🙂
wahhhh, bagus banget pendeskripsian mengenai latar pendidikan sang ibunda, Bli! saya kok ga bisa begitu yah kalo nulis, jadinya malah “ibu saya cuma lulusan sd” , hehehe…. tapi intinya sama, ternyata meski tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi ibunda sama-sama suka merasa tenar, kikuk dan risih kalo diajak ke tempat-tempat agak ‘wah’ hehe. salam saya buat ibunda tercinta 🙂
Makasih ya Mbak 🙂
Menginspirasi sekali Pak 🙂
Thannks 🙂
Manis sekali penuturan tentang ibunya, Mas. Menampilkan keapa-adaan beliau tapi tidak merendahkan. Justru terasa sangat humble. Salam takzim untuk beliau 🙂
Salam saya sampaikan 🙂
“Pendidikan itu membuat orang tidak mudah takut, tidak mudah heran sekaligus tidak mudah menghina.”
Bagus banget Pak 🙂
Sungguh deskripsi yang apa adanya dalam menggambarkan ibunda. Benar-benar menunjukkan sikap rendah dirinya menurun kepada Kang Andi.
Salam kenal dari Jayapura 🙂
Salam kenal 😀
Lanjutkan Pak 🙂
Siap!
Sungguh tulisan yang menarik. Untuk saya apa yang pak andi alami merupakan sebuah anugrah yang besar. Hal tersebut tidak bisa saya contoh, karena kedua orang tua saya sudah tidak ada. Terkadang saya kalut, karena tidak bisa berbakti seperti yang pak andi lakukan. Sekarang saya hanya bisa berbuat yang terbaik, terus memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang sesuai diharapkan mereka.
Terima kasih pak andi atas tulisannya.
NB: Mohon maaf kalau lancang, di paragraf keenam sepertinya ada typo ‘tetang berwibawa’ mungkin seharusnya ‘tenang berwibawa’. Kebiasaan jadi ‘grammar nazi’ yang sulit dihilangkan 😀
Makasih indra. Semoga tercapai cita2nya. Terima ksh juga telah mengoreksi.
Itu pasti kebahagiaan yang tidak terkira… paling nikmat jika dinikmati oleh air mata 🙂
Be humble always and forever,,, you dare to be bless.
Demikianlah. Terima kasih ya 🙂
ceritanya bikin saya meneteskan air mata pak, ibu pak andi pastilah sangat bangga sama bapak! sukses selalu ya pak 🙂
Maafkan kl jd sedih … 🙂 semoga ibu saya bangga saya anaknya …
thanks for making me love my mom more….
My pleasure 🙂
seorang ibu yang bijak yg begitu paham dgn kesibukan putranya
Sepetinya ibu saya demikian Pak …
“orang yang mudah merasa malu berada di keramaian itu sebenarnya adalah orang yang gaya dan sok terkenal. Dia merasa orang orang memperhatikannya sehingga perlu merasa malu atau salah tingkah. Padahal kenyataannya, siapa juga yang sempat memperhatikan dia. Semua orang punya urusan masing masing..”.
Waduh saya dikena sekali dengan kata-kata Pak Andi diatas, soalnya saya pemalunya tidak ketulungan pak. Mungkin karena saya dari desa dan tidak biasa dikeramaian. betul juga ya pak, saya jadi malu sendiri..hehe.
mas made andi waktu kelas alumni PM di rumah mbk zaki itu saya bingung saat njenengan bilang “masih ada bayangan dinding berbungkus koran” (maksudnya apa ya) sekarang saya baru paham. saya belajar banyak dari Anda. Terimakasih. semoga semangat dan kesuksesannya menular hehe
Hello ike 😀
Makasih ya. Good luck!
Reblogged this on Welcome To My Humble Site and commented:
somehow, I feel like the same. apparently, Im not alone to face the similar one. furthermore when I read “you seems like got a one million”. At that time, I felt like “Mom, you dont know what’s goin on. And you dont even know all the obligations.” ohh, so arrogant. Im sorry mom, I love you.
membaca tulisan pak Andi selalu memberi inspirasi. terimaksaih pak Andi. Saya kutip tulisan anda sedikit boleh ya …
Silakan 🙂