Saat kamu persoalkan satu purnama, sejatinya kamu telah melemparku pada sepotong ingatan lama. Ingatan lama tentang cinta yang penuh misteri, tak kuasa diungkap lewat ujar ujar dan mantra. Cinta yang awalnya berwujud kegelisahan yang hadir tanpa permisi karena sekedar tatapan atau aroma yang asing nan memikat. Cinta yang mengejawantah dalam lagu, senda gurau dan senandung anak anak rantau yang sepi dalam keramaian. Cinta yang kadang hadir seperti terik matahari yang menikam tanpa ampun, menyisakan garis garis jejak cahaya di tubuh tubuh mungil tak berdosa. Cinta itukah yang juga kamu persoalkan selama ini?
Telah kusaksikan 144 purnama dan itu bisa sama dengan satu purnama yang kamu nantikan. Di antaranya terjadi lembah dan puncak gelombang yang berderet rapat tanpa ampun, menandakan lantak binasa atau sukacita digdayanya perjalananku. Bersekutu dengan gelombang itu, aku telah sisihkan waktu untuk mengais kebijakan atau demi sepasang tanda bukti keterdidikan. Di antara Puncak dan lembah gelombang itu, ada malih rupa, memanjang, memendek atau memudar dan akhirnya sirna. Sirna bisa jadi tanda perjalanan menuju kemasyuran atau riak riak jiwa yang mengejar ketenangan. Ada perubahan sebagai satu satunya penciri keabadian.
Darahku telah terbagi, terbelah alirannya yang kini deras menjelajahi pembuluh pembuluh sebentuk tubuh kecil namun tak asing. Pada tubuh itu mengalir cinta yang berbeda. Cinta yang tak lagi sekedar aroma atau sekuntum mawar yang menyembunyikan diri. Cinta yang tak lagi selalu bemanifestasi lewat lagu dan irama. Cinta yang melenting lagi ketika jatuh atau tak limbung oleh tikaman meski meringis dan teriris. Cinta yang biasa saja, yang tanpa syarat, dan yang tidak ingin dijelaskan. Satu purnama yang kamu catat mungkin seperti relativitas. Waktu yang kita catat berbeda dan terasa begitu lama karena keterpisahan. Andai saja gelombang gelombang itu aku daki dan dituruni bersamamu maka lembah dan puncaknya hanya akan menawarkan satu hal: keindahan. Maka nasihat sang waktu benar, bercengkeramalah dengan mereka yang membawakanmu cinta maka 12 tahun bisa menjelma menjadi satu purnama saja. Secara misterius dan tiba tiba, tetapi tidak membuatmu ingin bertanya. Karena yang ada hanya satu hasrat: terhanyut dalam aliran kenangan lama.
Puitis juga Bang Andi nih. Memang benar kata orang dulu, semakin cerdas seseorang semakin indah tutur katanya dalam tulisan maupun lisan. Entah itu tercipta lagu atau puisi, tetap saja indah laksana lukisan alam di tangan Tuhan.
Keren sekali Bang
Terima kasih. Saya tersanjung 🙂
Saya gagal paham bang Andi…
Ini puisi cinta terpanjang yg pernah tak baca pak,,,
Ini puisi cinta terpanjang yg pernah tak baca pak,, selain Shakespeare tentunya, boleh sy voted untuk produses AADC versi after milenium pak? Heee….
Kagum sama sosok pak Andi, tulisan ini akhirnya membangkitkan semangat saya untuk kembali menulis. Terimakasih pak andi, Astungkara suatu saat saya pernah bertemu dan diberikan motivasi oleh bapak. Matur Suksma 🙂