Sebelum Vietnam, sebuah tragedi di Bandara


Bandara Sydney, 5 Agustus 2010, jam 6.17 pagi

Perempuan ramah di depan saya menggeleng sendiri, terlihat seperti sedikit kebingungan. Sayapun terpengaruh, resah datang menyelinap, entah dari mana datangnya. Saya mencium gelagat tak beres. “You are required to have a six-month passport at least. Your passport will expire in three months. You are not allowed to visit Vietnam. I am sorry.” Perempuan itu tentu bisa melihat wajah saya yang pucat pasi. Koper yang sudah dinaikkan di atas timbangan terpaksa harus diturunkan. Perasaan saya tidak karuan, akal sehat sirna lari entah ke mana. Saya kecewa sekaligus penuh sesal, mengapa tidak mengecek sebelumnya bahwa saya perlu paspor yang setidaknya masih berumur enam bulan untuk bisa pergi ke Vietnam. Sementara itu, di tangan saya masih tergenggam gulungan peta. Peta itu harus sampai di Veitnam sore itu juga. Melihat perempuan itu sibuk bertanya pada supervisornya, ada satu harapan muncul. Mudah-mudahan ada yang bisa merafalkan mantra-mantra sehingga saya bisa berangkat ke Ho Chi Minh City, Vietnam sesuai jadwal. Sore ini pembukaan workshop dilakukan dan besok siang saya akan presentasi.

Seorang perempuan dengan seragam datang. Rupanya dia adalah seorang supervisor di Singapore Airliens. Perempuan ini, Hayam namanya, menegaskan bahwa saya memang tidak bisa berangkat. Kecewa dan perasaan bersalah karena kebodohan datang bersamaan. Keduanya menyerang tanpa ampun. “If you can have your passport extended now, I can reschedule your flight at 11.40 am or after 5 pm today. However, you cannot be in Vietnam today since the first connecting flight from Singapore will be tomorrow morning. You can arrive in Vietnam at 10.55 am tomorrow.” Saya tengok arloji, sudah hampir jam 7 pagi. Mungkinkah memperpanjang passport dalam waktu beberapa menit?

Hayam dan demikian pula saya, sebenarnya sama-sama hampir yakin bahwa ide memperpanjang passpor ini tidak mungkin dalam waktu yang sangat mepet. Tetapi di sela-sela keputusasaan, ada bisikan kecil “why not?” Saya segera memencet sebuah nomor, seorang kolega di Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) Sydney. Bapak Fahmi Jamaludin memang menangani urusan perpanjangan passport dan saya mengenal beliau dengan baik. Tidak ada jawaban, mungkin beliau masih tertidur atau HPnya belum dinyalakan karena memang masih sangat pagi. Saya memencet nomor lain, Mas Dhanny Perkasa adalah kolega lain dari KJRI. Tidak ada jawaban juga. Putus asa mulai semakin jelas.

Saya diam sebentar, berusaha memutar otak saat tiba-tiba telepon berdering. Di layarnya nampak nama Mas Dhanny. Singkat cerita, ada harapan. Beliau menjanjikan, bisa membantu dan ‘seharusnya tidak ada masalah’ katanya. Sayapun kemudian mengirimkan sms kepada Pak Fahmi agar beliau tahu persoalan saya.

Kini ada satu masalah penting, di tangan saya masih ada lima lembar peta yang diperlukan di Vietnam sore ini juga. Saya membayangkan, betapa pentingnya peta ini bagi segala proses yang akan berjalan sejak sore nanti. Lokakarya ini dihadiri empat pemangku kepentingan yaitu para pakar, perwakilan korporasi, media dan pembuat kebijakan. Temanya adalah “Maritime Energy Security in Asia” dan saya dipercaya terlibat untuk meneliti dan membuat satu makalah tentang landas kontinen di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Penelitian ini didukung sepenuhnya oleh National Bureau of Asian Research (NBR) di Amerika Serikat. Selain membuat makalah, saya juga dipercaya untuk membuat peta ilustrasi yang diperlukan dalam proses lokakarya. Sebagai satu-satunya orang geodesi dalam tim peneliti, mereka memang tidak mempunyai pilihan lain.

Saya teringat seorang kawan. Pagi ini saya seharusnya berangkat berdua dengan seornag Doktor muda dari Filipina. Dia adalah juga tim peneliti. Tak menunggu lama, saya menelponnya dan benar saja, dia sudah berada di dalam, menunggu saatnya naik pesawat. Saya hendak menitipkan peta tersebut kepada Lowell Bautista, demikian namanya. Urus punya urus, Lowell tidak diijinkan keluar karena dia secara resmi sudah dianggap keluar dari Australia, sudah melewati imigrasi. Masalah baru muncul, saya jadi semakin pani. Saya coba diam sejenak, saya berpikir berusaha sabar. Tak lama seperti terdengar suara dentingan dan sebuah bola lampu berpijar di atas kepala saya. Ide segar datang di saat yang tepat. Saya bergegas menemui Hayam, supervisor Singapore Airlines itu.

Yes, I can try to help but your friend has to provide consent. I need to talk to him first.” Tentu memang tidak bisa menitipkan barang seenaknya tanpa persetujuan orang yang dititipi. Sayapun menelpun Lowell. Malang bisa datang kapan saja, Lowell tidak bisa dihubungi, padahal baru saja tadi saya menelpunnya. Hayam memang baik hati, diapun berusaha menelopun petugas SQ di dalam untuk memanggilkan Lowell dan dia ingin bicara. Ternyata tidak semudah yang dikira, tidak ada tanda-tanda kemajuan yang berarti. Saya semakin tegang, detak jarum jam seakan terdengar dk keramaian itu, waktu berjalan begitu cepat. Saat kepanikan semakin memuncak, telepon saya berdering. Lowell kemudian bisa bicara dengan Hayam. Semua beres karena Hayam bersedia membawakan gulungan peta itu ke dalam untuk diserahkan kepada Lowell. Satu masalah teratasi karena kebaikan hati seorang supervisor SQ.

Sayapun meluncur ke KJRI Sydney di daerah Maroubra dengan Bus 400. Saat berada di dalam bus, sebuah sms datang yang bunyinya kira-kira “saya tiba di kantor jam 9.10 pagi Mas. Jam 9.15 Mas Andi sudah akan berangkat dari KJRI menuju Bandara.” Sebuah janji yang sangat optimis, terlalu optimis karena diucapkan oleh birokrat Indonesia, demikian mungkin ada yang berpikir. Tanpa berpanjang-panjang, sesaat kemudian saya telah termangu-mangu di dalam bus menuju KJRI dengan segala macam pikiran dan kemungkinan yang datang bertubi-tubi.

Saya sedang menyeberang jalan di Maroubra Road ketika telepon saya berdering. Ibu Yoen dari KJRi menelpun saya dan mengatakan telah menyiapkan segala sesuatunya. Rupanya Pak Fahmi telah memberikan instruksi kepada Ibu Yoen untuk membantu saya. Tidak hanya menunggu, Ibu Yoen juga secara aktif menghubungi saya. Sebuah tindakan yang sangat terpuji. Tidak lupa beliau mengingatkan agar saya menelpun beliau setelah tiba di KJRI agar dibukakan pintu karena kemungkinan petugas pintu belum datang, hari masih sangat pagi. Sebuah perhatian kecil yang istimewa.

Saya tiba di depan KJRI dengan berjalan kaki dari Maroubra Junction. Belum sempat saya menelpun Ibu Yoen, di depan saya nampak sesosok tubuh yang saya kenal: Pak Kiki, soerang diplomat lain yang juga saya kenal baik. Setelah berbasa-basi dan menunjukkan simpatinya, beliau yang mengajak saya masuk ke KJRI. Oleh resepsionis yang ternyata orang baru, saya disambut baik, terlebih saya masuk dengan Pak Kiki. Saya segera mengisi formulir perpanjangan passport. Saat mengisi formulir, Pak Raja tiba di kantor dan menyapa dengan ramah. Pak Raja adalah salah seorang diplomat lain yang mengurusi bidang ekonomi. Menyusul di belakangnya adalah seorang diplomat putri, juga menyapa dengan ramah. Saya baru menyadari bahwa saya mengenal baik hampir semua diplomat di JKRI. Menariknya lagi, saat saya memerlukan bantuan mendadak, semua memberi dukungan penuh. Suatu pagi yang menegangkan sekaligus sangat menyenangkan.

Pak Kiki memberikan komputer dan ruangan beliau untuk saya pakai karena ada dokumen yang diperlukan. Dalam waktu singkat semua dokumen beres dan Ibu Yoen telah menyelesaikan semuanya. Seperti janjinya Pak Fahmi segera muncul dan membubuhkan tanda tangan di paspor saya. Dalam waktu yang tidak lebih dari 7 menit, semua beres, saya siap meluncur ke Bandara Kingsford Smith. Rasanya ucapan terima kasih saja tidak cukup untuk membalas budi baik pihak KJRI. Saya tahu bahwa peran mereka memang adalah untuk melayani dan membantu masyarakat tetapi cara mereka melakukannnya terhadap saya mengundang kagum dan rasa hormat. Jika ada pemilihan pelayanan Konjen terbaik di dunia, saya tidak akan segan-segan memilih KJRI Sydney. Tentu saja bukan semata-mata karena saya sering dibantu, mereka membantu banyak sekali orang yang saya kenal. Saya punya banyak sekali cerita yang bisa menjadi kesaksian. Sayapun meluncur ke Bandara dengan taxi.

Bandara Sydney, 5 Agustus 2010, jam 9.40 pagi
Hey you! You did it. Excellent!” Hayam menyapa saya, setengah tidak percaya dia bahwa saya bisa melakukan semua itu dalam waktu yang sangat singkat. Bukan saya yang cekatan, KJRI Sydney yang jempolan. Hayam kemudian mengantar saya ke sebuah counter yang kemudian saya tahu adalah counter executive. Karena diantar oleh supervisornya, petugas itu manut saja, melayani saya dengan fasilits executive padahal tiket saya adalah tiket ekonomi yang paling murah. Meski agak ragu, petugas ini tetap memberikan selembar kertas bertuliskan “express service” agar saya bisa menerobos antrian di imigrasi nanti. Sebuah perlakuan yang luar biasa. Ini terjadi karena kebaikan seorang Hayam sehingga saya akhirnya bisa berangkat jam 11.40 pagi.

Ada satu masalah lain muncul. Saya akan menghabiskan waktu sehari di Bandara Changi Singapura karena pesawat ke Vietnam baru terbang besok pagi jam 9. Apa yang akan saya lakukan di bandara besar itu? Tiba-tiba saya membayangkan kisah yang terjadi pada Tom Hanks di “Terminal” bisa terjadi pada saya jika saya harus menginap di bandara. Tentu saja tanpa kehadiran Catherine Zeta Jones. Saya memencet nomor seorang teman baik di Singapura. Mbak Dewi dan Mas Nova adalah teman baik kami ketika di Sydney 5 tahun lalu. Saya memang berencana mampir ke rumah baru mereka di Singapura, tetapi dalam perjalanan saya pulang dari Vietnam tanggal 9 Agustus, bukan saat berangkat ke Vietnam. Nampaknya rencana harus diubah mendadak karena saya memerlukan tumpangan malam ini juga.

Tidak perlu berpanjang-panjang dengan Mbak Dewi, beliau langsung mengiyakan. Masalah kedua telah teratasi. Satu-persatu jalan keluar menampakkan dirinya, saya bersyukur dan berdoa tiada henti. Saya diam sejenak, menikmati putaran dunia yang tiba-tiba dalam beberapa menit ini terasa lebih cepat. Saya jadi ingat belum mengaktifkan roaming internasional. Tadinya saya tidak mau mengaktifkannya tetapi beberapa kejadian aneh yang menimpa saya tadi membuat saya merasa perlu memiliki fasilitas komunikasi selama di luar negeri. Just ini case. Sayapun menelpun customer service Three. Seorang petugas berlogat India memberi penjelasan dan membantu saya dengan ramah dan cekatan. Sementara saya semakin tegang karena sebentar lagi harus boarding. Saya tentu tidak bisa menelpun di pesawat. Ada satu masalah kecil: jika saya ingin menggunakan internet selama di luar negeri, harganya akan sangan mahal. Ketika saya tanya, dia menjawab ”sekitar 1500 dolar Australia untuk 100 MB”. Saya terkejut dan mengurungkan niat untuk mengaktifkan internet. Soal telepon beres, tetapi tidak untuk internet.

Sementara itu, saya harus menyiapkan alamat dan peta rumah Mas Nova, termasuk urusan transportasi di Singapura. Semalam memang saya sempat chatting dengan Mbak Dewi dan beliau menjelaskan segala sesutunya. Dengan segala data yg diberikan Mbak Dewi, saya tentu akan memerlukan akses internet di Singapura. Kini strategi harus diubah karena saya tidak akan punya akses internet dari iPhone saya saat di Singapura. Setidaknya tidak akan ada akses internet dari Three. Sayapun tidak yakin akan ada WIFI gratis di bandara Changi untuk iPhone saya. Satu-satunya cara adalah dengan menyelesaikan segalanya di sini, di Bandara Sydney.

Waktu kian dekat dengan boarding, saya mulai membuka kembali hasil chatting saya semalam dengan Mbak Dewi. Saya cari alamat rumahnya di Google Maps dan ketemu. Saya juga telah menemukan jalur dari Bandara ke rumah tersebut. Iphone memang handal urusan begini. Masalahnya, saya bisa melihat alamat dan jalur itu ketika berada di Sydney tetapi di Singapura belum tentu bisa karena iPhone saya tidak tersambung ke Internet. Apa yang bisa dilakukan? Saya memutar otak mencari akal sementara waktu bergerak makin cepat, kerumunan orang yang kian banyak di sekitar saya karena menunggu saat boarding meningkatkan kegelisahan saya. Sulit berpikir jernih di saat seperti itu.

Tiba-tiba saya punya ide. Saya akan merekam layar iPhone yang memuat peta rumah Mas Nova dan lokasi-lokasi penting di Singapura. Jika peta itu dalam bentuk gambar statis, tentu bisa dibuka tanpa memerlukan internet. Pertanyaan selanjutnya ”bagaimana caranya merekam layar iPhone?” Saya yakin, untuk perangkat secanggih iPhone tentu saja bisa melakukan screen capture atau print screen, tetapi saya belum tahu caranya. Setelah berkonsultasi dengan Paman Google (siapa lagi kalau bukan dia!) semua beres. Ternyata layar iPhone dapat direkam dengan mudah, menggunakan tombol lock (on-off) dan tombol home secara simultan. Proses ini akan menjadikan iPhone sebagai kamera untuk layarnya sendiri. Canggih! Sayapun memanfaatkan waktu yang tidak lama itu untuk merekam berbagai peta dan lokasi yang penting. Tidak lupa saya salin hasil chatting saya dengan Mbak Dewi ke sebuah note di iPhone agar bisa dibuka tanpa internet. Saya masih perlu mempelajari tatacara membeli tiket dan beberapa hal lainnya. Tadinya semua prosedur itu saya abaikan dulu karena rencananya baru ke Singapura tanggal 9, bukan hari ini. Beberapa menit sebelum boarding dilakukan, saya telah menyelesaikan semuanya dengan baik. Saya menghembuskan nafas panjang, lega tak terkira.

Tidak lama kemudian, saya telah terkantuk-kantuk di pesawat dalam perjalanan tidak kurang dari 8 jam dari Sydney ke Singapura. Waktu saya habiskan dengan tidur, membaca Dwilogi Padang Bulan, berlatih presentasi, menonton film, dan tentu saja mempelajari kembali hasil chatting dengan Mbak Dewi. Perjalanan itu terasa tidak begitu lama.

Singapura, 5 Agustus 2010, sore hari lepas pukul 5.
Pesawat mendarat dengan baik dan saya langsung menghambur di ke Terminal 2 dengan Sky Train untuk mengambil bagasi. Setelah menunggu beberapa lama, saya dapatkan koper dan langsung menuju beacukai/imigrasi. Tidak ada masalah berarti, saya keluar dengan cepat. Kini saatnya membeli tiket EZ Link yang katanya ada di stasiun MRT di bawah. EZ Link berbentuk seperti ATM, tiket multi moda transportasi yang bisa diisi ulang. Dia bisa dipakai untuk kereta dan bus dengan bayaran sesuai jarak tempuh. Demikian informasi yang saya dapat dari Mbak Dewi dan hasil membaca di internet. Meskipun sudah berkali-kali ke Changi, saya memang belum sempat mengeksplor bandara ini sehingga perlu waktu untuk beradaptasi. Andalan saya tentu hanya petunjuk dan juga konter informasi.

Tiba di depan konter tiket EZ link saya kecewa, mereka tidak menerima kartu kredit. Saya tidak membawa sepeser pun dolar Singapura karena, sekali lagi, kunjungan ke Singapura baru direncanakan empat hari lagi. Saya bergegas mencari ATM terdekat yang cukup jauh letaknya. Ujian memang datang bertubi-tubi, beberapa mesin ATM tidak bisa membaca kartu saya yang memang sudah kumal. Di saat seperti itu, tidak mudah menyembungikan perasaan khawatir dan bahkan stress. Saya diam sejenak, mencoba menenangkan diri sampai akhirnya mesin ATM terakhir berbaik hati mau membaca kartu saya. Saya mengambil 100 dolar Singapura sebelum bergegas kembali ke konter EZ Link. Dalam waktu singkat saya telah memegang kartu EZ Link yang tadi sudah langsung saya tambahi isinya menjadi 17 dolar. Kartu ini dijual dg harga $12 dengan $5 adalah harga kartu dan $7 adalah isinya yang bisa digunakan untuk transportasi. Saya tambahi $10 sehingga menjadi $17.

Setelah itu segera beranjak menuju bus stop terdekat. Lagi-lagi andalan saya adalah tanda di sekitar bandara yang menunjukkan public bus. Sasaran saya adalah Bus no 53 yang akan mengantarkan saya ke rumah Mas Nova di bilangan Pasir Ris. Menurut Google Maps, perjalnan ditempuh selama 41 menit termasuk jalan kaki dari stasiun ke rumah. Informasi yang diberikan Google Maps memang akurat. Di dalam bus saya mulai mengirimkan sms ke Mbak Dewi untuk mengabarkan beliau. Beberapa menit kemudian Mas Nova juga mengirimkan sms dan menjanjikan akan menjemput saya di bus stop terdekat. Mereka mameng selalu baik dari dulu, sangat perhatian.

Saya tiba-tiba merasakan satu masalah kecil. Badan terasa panas luar biasa. Rupanya saya mengenakan 4 lapis baju dan dua lapis celana karena memang sangat dingin saat berangkat dari Wollongong tadi pagi. Winter di Australia memang agak menyiksa. Sementara saat ini saya berada di salah satu kawasan paling tropis di dunia, dekat sekali dengan katulistiwa. Udara yang panas dan kelembaban yang tinggi membuat saya berkeringat deras. Sementara itu, saat turun dari bus saya mendapati Mas Nova bercelana pendek dan kaos putih tipis. Tampak dengan jelas, saya tidak saja kumal, tetapi juga udik, seakan tidak paham kalau sedang datang ke negara tropis. Keringat saya bercucuran dalam perjalanan lanjutan dari bus stop ke kediaman Mas Nova.

Pasir Ris, 5 Agustus 2010, malam hari
Kami menghabiskan waktu untuk bercerita tentang saat-saat di Sydney 5 tahun lalu. Putra putri Mas Nova dan Mbak Dewi, Kafka dan Kayla sudah besar. Kami menikmati pertemuan itu. Sambutan dan hangat dan hidangan yang lezat adalah perpaduan yang sempurna bagi saya yang telah dirundung kekalutan sejak pagi. Lepas dari itu, saya menghabiskan waktu berlatih dan memantapkan presentasi saya yang akan dilakukan esok hari. Meski panitia mengerti situasi saya yang terlambat datang, jadwal sudah disusun rapi sehingga tidak mungkin dilakukan perubahan. Saya akan tetap presentasi setelah makan siang besok. Saya tidak mau tampil tanpa persiapan. Di ruangan itu akan hadir doktor dan profesor senior dari pusat kajian dan universitas di Eropa, Amerika, Asia dan Australia, orang-orang dari perusahaan migas terkemuka, jurnalis kawakan dan juga penentu kebijakan di Asia. Saya tidak mau mempermalukan diri sendiri di depan mereka. Saya berlatih tekun hingga jam 2 pagi. Saya memastikan bahwa presentasi saya tidak akan lebih dari 15 menit seperti diharapkan panitia. Setelah merasa puas, saya tidur, menyerahkan sepenuhnya lelah, letih dan kegelisahan yang telah menumpuk pada kekuasaan sang malam. [bersambung]

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

8 thoughts on “Sebelum Vietnam, sebuah tragedi di Bandara”

  1. Mas Andi,

    A very nice story. I believed it was a very amazing experiences, even me could learnt a lot from your story, I really do.

    Thanks to God, that every thing seems to work with you.

  2. I have to disagree tho, they made my miserable year back in 2005 when I lost my passport, no one in so called “the best KJRI” actually would help me. they literally made me wait for 12 months until they issued new passport for me. and the security is a complete arrogance toward me but very nice towards caucasians. They finally talk nicely to me when I drop my friend’s dad who happened to be one of important person in PT PLN.

    then during election, my home mate and I were told to queue, but some “special people” who happened to be a colleague of these diplomats they don’t need to queue at all. perfect service for them but totally unfair for the rest of the community.

    -warga indo yang kecewa dengan kelakuan KJRI-

  3. Dirgayuza gave me this blog entry when I told him about mine.

    I’m sure that even after you’ve done a lot of preps there’s always something missing… (We’ve all been there done that) … Fortunately for you, the stars were aligned and all is well in the end.

    It’s really interesting to know how the consulate can extend their arms to a great length to help fellow Indonesians. Unfortunately, as the previous poster stated, they could sometimes be horrible and all those ‘special treatment’ practices were used in a situation where there are other people queuing. That’s when I lost my respect to them. They should’ve just left the ‘normal’ Indonesian officials practices at home and try to respect other people.

    Once again, I’m truly happy with their treatment of you and I just wish that they would be willing to do the same to ALL OF US 🙂

    1. Ardi,

      Thanks for this. We certainly had different experience.
      In my view, what happened to me was not a standard one. I was desperate at that time. I believe not every Indonesian citizen is as careless as I am when it comes to noticing passport expiry date. What I saw Konjen did to me was a ‘special treatment’ because I was in a big trouble, so it per se should not be seen as a benchmark.

      However, what you pointed out is important. I have forward this issue to KJRI and also had you in the cc list. Pak Fahmi from the Konjen has also contacted me acknowledging the receipt of my email and he will get back to you (us) ASAP. Thanks again!

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: