Negeri Paman Ho – Sebuah kisah dari Vietnam


Ho Chi Minh City, 6 Agustus 2010, jam 11.30 pagi

Prof. Hasjim Djalal

Setelah tragedi yang menegangkan itu, akhirnya saya menginjakkan kaki di Vietnam untuk pertama kali. Ho Chi Minh City adalah nama baru untuk Saigon, yang merupakan nama seorang tokoh terkemuka di Vietnam. Itulah sebabnya Vietnam juga dikenal dengan Negeri Paman Ho. Saya sempatkan mengamati situasi, bandara cukup besar, meskipun tata ruangnya tidak sehebat Changi yang memang luar biasa itu. Setelah melewati imigrasi yang cenderung bekerja lambat, saya bergegas ke luar dengan barang bawaan. Saya akan dijemput petugas hotel seperti dijanjikan panitia. Tidak sulit menemukan penjemput saya karena nama saya tertulis pada kertas yang ekstra besar, lebih besar dari yang lain. Pada sebuah kertas kaku yang disangga tiang besi, saya melihat tulisan “Mr. I Made Andi Arsana” terpampang. Tiangnya dipegang oleh seorang lelaki muda yang santun, penuh senyum. Diam-diam saya berharap huruf “M” di awal tulisan itu segera enyah dan berganti huruf lain yang lebih baik. Mungkin huruf “D”. Entahlah, kapan itu akan terjadi. Singkat cerita saya sudah meluncur ke hotel di sebuah mobil yang lumayan mewah. Sopirnya ramah dan tidak bosan bercerita tentang sejarah Vietnam.

Melalui jalanan di Ho Chi Minh City membuat saya merasa pulang ke Indonesia. Negeri ini sangat mirip dengan Indonesia. Tata ruangnya, perilaku pemakai jalan dan terutama jumlah motor yang mendominasi. Di sepanjang jalan, mudah sekali melihat sepeda motor yang bermanuver ekstrim dengan suara klakson yang sangat akrab. Hal ini yang tidak mudah dijumpai di Australia. Pengendara motor juga seperti di Indonesia, kadang tidak memperhatikan kapasitas angkutnya. Tidak jarang satu motor dijejali oleh 4 orang yang tidak lagi bisa dibilang kecil. Saat melirik ke pinggir jalan, para pedagang kaki lima sibuk menjajakan barang dagangan. Ibu-ibu setengah baya berkeringat saat menggoreng makanan di pinggir jalan, sementara belasan orang menunggu untuk membeli. Di sudut lainnya terlihat orang-orang berpakaian agak rapi sedang menikmati makanan berkuah yang terlihat panas, duduk di sebuah warung yang tidak begitu mewah. Di sekitarnya nampak berlalu anak-anak muda yang berjalan setengah berlari.

Di tempat lainnya terlihat seorang pemuda tanggung duduk malas di atas sadel sepeda motornya, berteduh di bawah rindangnya pohon tepi jalan dengan pandangan lesu tidak bergairah. Panas terik dan debu membuat kemalasannya sempurna terlihat. Sementara itu seorang lelaki berjalan dengan mengusung barang dagangan berupa kacang, jagung dan ketela rebus. Dia melintas dengan meneriakkan sesuatu yang saya tidak mengerti. Dipanggulnya barang dagangan dengan sebuah batang bambu dan diseretnya kakinya di jalanan yang berdebu. Semangatnya, keringatnya dan teriakannya berpadu dengan bising kendaraan dan panasnya matahari kota Ho Chi Minh.

Di sudut lain nampak seorang ibu tua mengenakan kain dan baju mirip kebaya lusuh. Di kepalanya tergulung semacam handuk layaknya perempuan Bali di tahun-tahun lalu. Perempuan itu menawarkan kelapa muda segar kepada siapa saja yang lewat di depannya. Klakson mobil, manuver sepeda motor, kelakar orang-orang di pinggir jalan, salak anjing, kucing-kucing jalanan yang menguap malas, deru kompor pedagang kaki lima yang berpadu dengan terikan perempuan setengah baya yang mencumbu penggorengan, dan gegas para pekerja yang memburu makan siang adalah paduan khas yang sangat akrab di mata. Saya sempat bertanya pada Pak Supir, berapa harga makan siang yang normal di pinggir jalan. Dia menjawab, tidak lebih dari dua dolar amerika. Ada juga yang hanya 80 cent saja, katanya. Saya tiba-tiba rindu Jogja, rindu keramahan orang-orang dan makanan di pinggir jalan yang selalu mengundang selera.

Hotel Renaissance, Ho Chi Minh City, 6 Agustus waktu makan siang
Setelah check in, saya berkelebat ke lantai 14 tempat kamar saya berada. Menurut jadwal, saya akan presentasi jam 1.30 setelah makan siang. Saya lepaskan semua baju dan melemparnya ke tempat tidur lalu menggantinya dengan celana kain dan kemeja. Bergegas saya memakai dasi, menyisir rambut dan mengenakan sepatu resmi. Tak lupa saya kenakan jaket hitam. Melihat suasananya, saya harus rapi meskipun tidak harus mengenakan jas. Tanpa merapikan apapun, saya berlari ke luar dan menuju lantai satu tempat workshop berlangsung. Saya tegang. Di luar ruangan nampak benda-benda yang tidak asing: peta-peta yang saya buat telah dipajang di beberapa tempat strategis, saya lega dan bangga. Setelah itu saya menuju ruangan yang ternyata kosong karena semua orang sedang makan siang. Sayapun menyusul mereka.

Beberapa orang berteriak sekaligus memanggil nama saya. “Andi, here you are. Thank God you are here!” kata seorang profesor dari China. Banyak dari peneliti itu memang sudah saya kenal baik karena tahun lalu sempat mengikuti workshop yg serupa di Bali. Lowell berkelakar “Andi, everyone is looking for you.” Rupanya Clive Schofield, supervisor saya, sempat mengumumkan kepada khalayak perihal keterlambatan saya. Selain itu dia yang telah memamerkan kepada semua bahwa peta yang berwarna warni itu adalah buah tangan saya. Secara khusus saya menemui Prof. Hasjim Djalal yang menyantap hidangan di suatu meja. “Ah, my friend, welcome. Kenapa baru datang, Andi?” demikian beliau menyapa dengan antusias dan ramahnya sebelum satu patah pun kata dari mulut saya sempat keluar. Saya pun menjelaskan semua. Ketika saya jelaskan perihal dukungan KJRI Sydney yang luar biasa, beliau berkelakar “jadi tidak betul apa yang dikatakan orang bahwa yang berlaku di Indonesia adalah ‘jika bisa dipersulit kenapa harus dipermudah’.” Kamipun tertawa bersama. Sebagai seorang mantan duta besar, Pak Hasjim tentu sangat paham situasi yang baru saja saya jelaskan.

Saya akhirnya menempati sebuah meja setelah menyapa beberapa arang. Saya benar-benar lega karena akhirnya sampai di Vietnam dan siap presentasi. Saya duduk bersama satu orang dari perusahan maritim Malaysia, satu orang dari Petroleum Institute of Thailand dan satu peneliti dari China. Kami berbicara banyak hal. Saya senang berinteraksi dengan mereka dan belajar banyak hal dari pembicaraan singkat itu.

Ruang Workshop, jam 1.30
Prof. Ian Townsend-Gault memperkenalkan saya secara singkat. Peneliti senior ini adalah ahli terpandang dari University of British Columbia, Kanada. Seperti biasa, saya agak resah dan sedikit berdebar-debar. Meskipun telah melakukan presentasi di banyak tempat, perasaan khawatir dan berdebar-debar itu tetap saja akrab. Hanya intensitasnya yang berubah-ubah. Mengetahui nama-nama hebat dari berbagai belahan dunia akan mendengarkan saya beberapa saat lagi, kekhawatiran itu menguat. Saya tahu, diantara mereka adalah doktor senior dan profesor dari Oxford, Harvard, NUS, Waterloo, NTU, UNSW, John Hopkins, Wollongong, Nottingham, dan beberapa universitas serta pusat kajian besar di China, Vietnam, Korea, Thailand, Malaysia, Taiwan, dan Filipina. Selain itu ada juga orang-orang dari Chevron, Media TV, media cetak dan sebagainya. Satu dari hadirin itu, ada yang sangat istimewa: Prof. Hasjim Djalal, veteran hukum laut dari Indonesia. Saya berhenti membayangkan sangarnya mereka ketika Ian berkata “Andi, the time is yours now.

Saya melangkah gesit menuju podium. Saya tekan F5 pada laptop sehingga tertayanglah presentasi saya. Dengan ucapan standar, saya membuka presentasi. Karena yang hadir dari berbagai kalangan, saya mulai dengan sesuatu yang prinsipil yaitu animasi landas kontinen kebanggan saya sebelum akhirnya memaparkan secara khusus tentang penetapan batas terluar landas kontinen di berbagai negara di Asia Timur dan Tenggara. Seperti layaknya presentasi saya lainnya, saya menampilkan sedikit hurup dan dominan gambar, terutama animasi peta. Pada layar itu, meliuk-liuklah titik, garis dan bidang berbagai warna merepresentasikan pasal 76 Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Berkelebat satu garis menghubungkan titik-titik yang mewakili ketebalan sedimen 1 persen. Di sebelahnya nampak juga garis lain yang berjarak 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. Keduanya adalah kriteria yang ditetapkan dalam ayat 4 pasal 76. Sejurus kemudian muncul garis hijau tebal yang direkonstruksi dari kedua garis sebelumnya dan membentuk satu garis tunggal opsi batas terluar landas kontinen. Saya diam sejenak, memberi kesempatan kepada para hadirin untuk menikmati sebuah hiburan akademis.

Di ujung paling kanan akhirnya muncul satu garis lain yang berjarak 350 mil laut dari garis pangkal. Ini adalah garis pembatas yang menandakan bahwa garis batas terluar landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal. Berikutnya muncul garis pembatas kedua, mewakili sebuah garis berjarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter. Memang rumit sekali dan sangat teknis. Meski begitu, hadirin yang pada dasarnya sudah membaca pasal 76 semestinya kini tercerahkan. Pasal yang terdiri dari 10 ayat dan 600an kata itu selama ini memang begitu rumit dan sangat teknis. Misteri di dalamnya sulit disingkap karena sebuah konvensi memang hanya terdiri dari kata-kata, tidak ada ilustrasi sama sekali. Sebuah animasi yang menjelaskan duduk perkara pasal itu tentu merupakan pencerahan bagi banyak orang. Mungkin betul kada Prof. John Duff dari Boston ketika mengomentari presentasi saya di Tokyo “Andi, you have demystified Article 76” bahwa saya, menurutnya, telah menyingkap tabir misteri pasal 76 yang selama ini seperti berawan bagi banyak orang. Semoga saja benar demikian.

Para pakar hukum dan penentu kebijakan di ruangan itu nampak menikmati sajian saya. Saya melihat wajah-wajah yang senang. Tidak sedikit yang mengangguk-angguk tanda mengerti. Waktu lima belas menit berjalan cepat sayapun menutup dengan kesimpulan. Saya sampaikan bahwa batas terluar landas kontinen yang final dan mengikat merupakan mimpi yang masih panjang. Prosesnya akan sangat lama dan saya cukup optimis bahwa kawasan Asia Timur dan Teggara masih akan disibukkan oleh isu ini hingga 2040. Saya berkelakar, “this means, a lot of researches do do and a lot more papers to publish” yang disambut tawa hadirin. Tidak jarang, para ahli memang mengeksploitasi suatu isu menjadi buku dan makalah, tanpa memberikan satupun solusi yang nyata. Seperti para politisi yang mencintai kemelut, tidak sedikit peneliti dan akademisi yang menyayangi dan memelihara ketidaktuntasan. Sayapun menghakhiri.

Berikutnya saya sibuk mencatat berbagai komentar dan pertanyaan. Berlaku sebagai pembahas makalah dan presentasi saya adalah seorang profesor senior bidang hukum laut dari National University of Singapore. Prof. Robert Beckman, yang biasa dipanggil Bob, adalah seorang pakar terkemuka di bidang ini, disegani oleh kawan dan lawannya. Selain pintar, dia terkenal tidak banyak basa-basi dan langsung pada pokok persoalan. Akademisi muda kemarin sore seperti saya umumnya akan merasa risau menunggu komentar dan masukannya. Benar saja, meski tidak luar biasa, ada sederet masukan yang disampaikannya untuk menyempurnakan makalah saya. Hadirin terdiam karena Bob sedemikian seriusnya, lebih serius dari yang lain. Saya sibuk mencatat masukannya. Dia meminta saya memasukkan beberapa hal penting dan termasuk mengubah struktur makalah saya.

Berikutnya bermunculanlah pertanyaan dari hadirin yang harus saya jawab. Diantara mereka, Clive muncul dengan satu komentar. Ditegaskannya bahwa dia sudah membaca dan ikut berkontribusi pada makalah saya sehingga tidak akan menyampaikan pertanyaan spesifik. “Andi is my student”, katanya, “so I will ask you something unrelated to your paper: when are you going to give me chapter 3” Sontak hadirin tertawa mendengar lelucon akademis yang khas itu. Ini adalah situasi yang sangat biasa dalam dunia pendidikan S3 saat supervisor mengejar-ngejar mahasiswanya agar menyerahkan bab demi bab disertasi. Saya sudah menduga pertanyaan guyon yang cerdas ini dan segera memutar otak untuk membalasnya.

Sejurus kemudian saya sudah menguasai mimbar lagi, menjawab berbagai pertanyaan dan merespon komentar yang tadi disampaikan. Hal pertama yang saya sampaikan adalah sebuah intermezo “This is what I am afraid of: questions.” Hadirin pun tertawa. Saya mulai menjawab pertanyaan seputar territory menurut UNCLOS, yang disampaikan Prof. Wang, lalu tentang peran Komisi PBB dan memberikan rekomendasi terhadap landas kontinen yang dilakukan oleh sebuah negara yang disampaikan oleh James dari Australia. Saya juga menyampaikan apresiasi atas pujian Juita, seorang praktisi maritim dari Malaysia yang ‘terkesan’ dengan animasi landas kontinen yang saya sampaikan. “Now I would like to address Clive’s question”, saya memasang wajah serius. Hadirin sedikit tegang menunggu respon saya terhadap guyon akademik yang cerdas dan telah membuat ruangan menjadi heboh beberapa menit lalu. “Clive when are you going to return my Chapter 1 and 2?” Seperti bisa diduga meledaklah suasana, semua orang heboh tertawa sekaligus tersentak dengan balasan seorang murid kepada gurunya yang nakal tetapi juga cerdas dan elegan. Saya lihat Clive terpingkal-pingkal tidak kuasa menahan tawa sekaligus terperanjat atas serangan balik saya yang tak kalah mematikan.

Renaissance Hotel, 6 Agustus 2010 selepas pukul 5 sore.
Seorang bule berusia matang, mengenakan baju khas Melayu Singapura, tiba-tiba mendekati saya. “Hi Andi, I am Carl” katanya. Sayapun menjabat tangannya penuh takzim, menatap matanya dengan sopan dan berusaha elegan. Saya tidak tahu orang ini, meskipun tadi saya lihat dia berada di salah satu meja hadirin. Carl ternyata adalah kawan lama Clive dari Inggris dan kini mengajar di NUS, Singapura. Dia menyatakan kesan dan apresiasi terhadap presentasi saya, terutama tentang peta dunia yang kini berubah akibat satu pasal di UNCLOS. “I am so impressed with that. I would like to interview you for a video program, if you don’t mind.” Tawaran dan kesempatan itu datang bertubi-tubi, saat saya belum lagi pulih dari trauma hampir tidak jadi berangkat ke Vietnam sehari sebelumnya. Apa daya, tawaran baik seperti ini sulit ditolak, sayapun mengiyakan dengan mantap. Dalam waktu 30 menit berikutnya saya sudah berada di atap hotel tempat ‘syuting’ video dimaksud. Dari sana saya tebarkan pandang melihat gairah kota Ho Chi Minh yang memang ‘alive and vibrant’. Di depan saya nampak laki-laki bertelanjang dada dan perempuan berbikini bercengkrama menikmati segarnya air kolam renang. Sementara itu, saya sedang bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Carl yang tidak saja akademis tetapi juga filosofis pun tetap gaul dan populer. Sore itu, saya merasakan sebuah kombinasi yang ganjil dan mamacu adrenalin di atap hotel Renaissance, di negeri Paman Ho. [mungkin bersambung]

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

11 thoughts on “Negeri Paman Ho – Sebuah kisah dari Vietnam”

  1. once more, as always, pak andi is really awesome! uhm, i mean, experiencenya hahahha 😛

    i will wait your next chapter pak andi, about negeri paman ho of course 🙂

  2. nice story pak, sangat sangat menginspirasi.
    andai saja semua dosen kaya Pak Andi, apa jadinya kampus geodesi? hehehe

  3. Bacaan yang mudah dinikmati dan menarik hati, hebat sekali bli. Melihat pengalamannya dari tulisan ini, sepertinya nikmat sekali menjadi seorang profesional ya bli? Dinantikan dan dikagumi banyak orang. hehehe

    Kata M ke D maksudnya Doktor kan?

    Semoga makin sukses ya bli.

  4. Hey…indeed you are exist everywhere, my friend. I admire your energy, creativity and passion to do all things in your academic, career, and love life. 🙂

  5. mas andi seru banget neh baca blog punya mas andi… hal nyata yang tidak membosankan baca nya..
    Pengen punya pengalaman ke luar negri kaya mas andi yaitu untuk belajar bukan sekedar jalan – jalan, selain itu punya koneksi di mana – mana..
    Salut baget mas..

    Mudah – mudahan saya bisa mengikuti jejak mas andi yah.
    Saya pengen banget bisa kuliah di Eropa ambil magister dengan beasiswa, tapi kesempatan nya belum ada karena saya tidak tahu kesempatannya ada ??
    Mudah – mudahan mas andi bisa memberi sedikit informasi yang diketahui mas andi..

    Kata orang untuk ambil S2 harus kerja dulu buat pengalaman, saya sudah 4 tahun kerja dan kesempatan itu tak kunjung datang.. Padahal impian saya bisa kuliah di luar negri..

    Terima akasih ya mas Andi

    1. Terima kasih telah membaca. Kesalahan pertama yang kita lakukan adalah menduga kalau kesempatan itu ada sesuatu yang datang. Kesempatan itu adalah sesuatu yang diperjuangkan.. direbut…

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: