Saat kuliah, saya kos di tempat seorang penulis novel dengan nama pena Nani Heroe. Kami memanggil beliau dengan nama Bu Heru. Tempat kos kami berupa sebuah rumah besar yang sudah tua umurnya. Di halaman ada beberapa batang pohon manga. Kerap mangga itu berbuah dan manis rasanya. Kami, anak-anak kos, turut menikmati buah mangga itu dengan penuh sukacita. Saya termasuk yang sering memanjat untuk memanen mangga yang sudah matang.
Suatu hari Bu Heru meminta saya memanjat pohon itu dan memetik beberapa biji mangga. Jika tidak salah ingat, ada enam mangga terbaik yang saya petik atas perintah beliau. Selepas itu, saya diminta membantu membungkusnya menjadi dua, masing-masing berisi tiga biji mangga. “Mangga ini akan Ibu kirim ke Bogor dan Surabaya”, katanya pada saya. Ternyata tiga biji mangga masing-masing dikirimkan untuk putra-putra beliau yang sudah berkeluarga. Yang di Bogor adalah seorang dosen di IPB dan yang di Surabaya adalah seorang pengacara. Saya kemudian mengenal kedua lelaki itu dan keluarganya.
Waktu itu saya tertegun dengan keputusan Bu Heru. Mengirimkan tiga biji mangga ke Bogor dan Surabaya menurut saya bukan keputusan yang ekonomis. Daripada bersusah payah mengirimkan tiga biji mangga ke Surabaya atau Bogor, tentu lebih murah bagi beliau-beliau di kota itu untuk membeli mangga di pasar dengan kualitas yang barangkali lebih bagus. Harga pengiriman mangga itu dan keruwetan yang ditimbulkannya rasanya tidak sepadan dengan tiga biji mangga yang akan diterima putra-putra Bu Heru di Bogor dan Surabaya. Meski bertanya-tanya, saya toh tetap melakukan apa yang diminta Bu Heru. Hal itu tidak terjadi hanya sekali. Hampir setiap kali musim berbuah, Bu Heru akan mengirim beberpa biji mangga untuk putra-putra dan cucunya di Bogor dan Surabaya.
Yogyakarta, 20 tahun kemudian
Saya menerima beberapa biji mangga dari Bapak Ibu saya di Bali yang dititipkan ke Jogja lewat Lita, anak saya. Mangga madu itu manis betul rasanya. Saat menikmatinya, saya seperti melihat Bapak saya memanjat pohon mangga di depan rumah di Desa Tegaljadi. Beliau mungkin berkelebat di antara dahan dan berlomba dengan semut yang tak terhitung jumlahnya. Ibu saya terlihat sedang menengadahkan tangannya siap-siap menangkap buah mangga yang dijatuhkan oleh Bapak. Kehebohan itu akrab dalam ingatan saya dan kini pindah ke Jogja lewat biji-biji mangga itu.
Untuk pertama kalinya saya memahami dengan persis alasan Ibu Heru mengirimkan tiga biji mangga ke Bogor dan Surabaya, duapuluh tahun silam. Bahwa cinta orangtua kepada anaknya itu memang bisa dititipkan di sebiji mangga dan demikian pula sebaliknya. Ingatan ini menyisakan pertanyaan, kapan ya terakhir saya mengirimkan sebiji mangga untuk Bapak dan Ibu di desa? Di hari Idul Fitri ini, sahabat Muslim mungkin bisa menitipkan maaf dan cintanya pada sebiji mangga untuk orang-orang yang dicintai. Selamat menyambut hari kemenganan. Mohon maaf lahir dan bathin.
Manis sekali pak kisahnya… memang kasih orang tua sepanjang masa 🙂
Memang… luar biasa mereka
Ibu saya masih rajin ngirim mangga dari Jateng ke Jabodetabek. Tadinya kakak adik saya pada protes, ngapain sih repot-repot. Lama-lama mereka ngerti, persis seperti kisah di atas. Sayang kiriman mangganya nggak pernah nyampe ke Inggris 😁
Wah.. mau saya kirimi mangga? 🙂
Mauuuuu. Nah lho ditagih 😆
jadi ingat nenek yang sering ngirimin mangga dari Tapin ke Kapuas.
Reblogged this on A Journey of Discovery and commented:
:”
Inspiratif sekali bapak. Hal kecil tetapi makna nya luar biasa
Makasih Hikamul Haq 🙂
Ibu saya sk menitipkan rendang ke teman2 saya kalo ada yg balik ke Ire lagi …
Wah… salam untuk ibunda ya 🙂
Tulisan Bapak sukses membuat air mata saya turun karena kangen ibu ayah saya,..