Nanning, Tiongkok, 18 Juni 2016
Di depan ada puluhan pasang mata, menyimak dengan takzim. Meski hari sudah agak sore dan makan siang baru saja berlalu, wajah-wajah antusias masih bisa disaksikan di ruangan itu. Mereka seperti menunggu-nunggu presentasi saya. Setidaknya saya meyakinkan diri saya akan hal itu. Entahlah sesungguhnya.
“I am afraid, I am the only engineer in this room” kata saya memulai presentasi dan mulai mengundang senyum bahkan tawa. “I warn you, mine might be a little bit too technical but I will do my best to make it as accessible as possible”. Kelakar yang tepat di awal presentasi memang selalu membantu mencairkan suasana. Maka setelah senyum dan tawa kecil itu terlihat, datanglah energi positif yang mengiringi kelebat lembar-lembar tayang di belakang saya. Satu dua kelakar tetap keluar, puja puji untuk kolega selalu terjaga. Konon, begitulah presentasi yang baik. Menjadi bintang bersama-sama dengan pembicara lainnya dan menjadi bagian utuh dari para penyimak.
“I am sure they were enlightened and entertained at the same time” kata seorang penyimak beberapa menit setelah sesi tersebut selesai. Paripurna sudah tugas dilaksanakan, saatnya istirahat, menyimak dan lanjut belajar dari yang lain. Nanning sore itu istimewa karena satu amanat telah tertunaikan. Berbicara soal laut Tiongkok Selatan di tanah Tiongkok menjadi pengalaman yang penuh pelajaran.
Langkawi, 31 Mei 2016
Saya masuk ke dalam bus yang sudah mulai terisi. Panitia akan membawa kami ke tempat makan malam setelah seharian berdiskusi tentang kerjasama pendidikan tinggi di ASEAN. Pertemuan itu dihadiri oleh kepala-kepala kantor urusan internasional dari berbagai perguruan tinggi di kawasan. Kali ini yang bertemu tidak hanya perwakilan perguruan tinggi di ASEAN tetapi juga Tiongkok, Jepang dan Korea. Maka dari itu, pertemuannya tersebut dilabeli “ASEAN+3”.
Ada beberapa kursi kosong dan cukup banyak yang sudah isi. Dari sekian kursi bus yang terisi itu, sebagian besar terisi satu-satu padahal ada dua kursi yang berjejer. Rupanya orang cenderung memilih kursi kosong dan duduk sendiri dalam perjalanan jika bus berisi orang-orang yang tidak begitu saling kenal. Meskipun sudah dua hari dalam satu acara, nampak jelas orang-orang di dalam bus itu masih canggung untuk menunjukkan keakraban.
Bagi saya, sangat mudah untuk melakukan hal yang sama dengan sebagian besar orang-orang itu. Rasanya lebih nyaman memilih kursi kusong di deretan belakang agar perjalanan nyaman, tidak perlu bertoleransi, tidak perlu berinteraksi dengan orang yang belum tentu menyenangkan peringainya. Tatkala melewati lorong bus itu saya berpikir agak serius. Pilihannya jelas: memilih kursi kosong atau duduk di dekat sesorang. Duduk sendiri jelas tanpa risiko tapi tanpa peluang apa-apa. Entah apapun peluang itu. Memilih duduk di samping orang lain punya risiko tidak nyaman, terutama jika obrolan tidak nyambung, tetapi memberi peluang. Mungkin setidaknya peluang menambah teman atau bahkan kerjasama antarinstitusi. Bukankah itu tujuan utama pertemuan ini? Ada kecamuk di dalam pikiran soal pilihan yang tiba-tiba tidak mudah itu.
Mata saya terantuk satu wajah. Seorang perempuan yang usianya mungkin di bawah atau sekitar 30 tahun. Dari wajahnya dia sepertinya dari Tiongkok dan mungkin seorang penelti. “May I?” langsung saja saya sapa sambil mohon izin duduk di dekatnya. “Yes, please” katanya ramah. Tak lama saya sudah duduk di dekatnya dan terjadilah percakapan basa-basi. Dia memang dari Tiongkok dan merupakan seorang peneliti di China-ASEAN Research Institute (CARI).
Tiongkok sangat menarik belakangan ini. Yang lebih menarik lagi adalah interaksinya dengan ASEAN. Dua istilah itu, Tiongkok dan ASEAN, tidak sanggup menahan saya untuk tidak menyebut Laut Tiongkok Selatan. “Do you follow the issue?” katanya menanyakan. “Part of my research for the last couple of years” kata saya tidak kalah antusias. “Oh really? We are organizing a conference in Nanning. This is about China-ASEAN Maritime cooperation. Are you interested in participating? We will cover all the cost!” katanya seperti menghipnotis saya. Siapa yang mau menolak undangan presentasi di sebuah konferensi bergengsi dan dibayari?
“Of course!” kata saya sambil menatapnya dengan penuh semangat. Saya mengingat lagi kejadian saat saya memasuki bus beberapa menit lalu. Seandainya saya memilih kursi kosong, tentu ceritanya akan lain sekali. Kadang kesempatan besar itu datang karena ketepatan kita memutuskan pilihan kecil yang nampak tidak berarti. Peluang itu kadang ada di antara pilihan kursi kosong atau kursi isi.
Wahhhh!!! Sungguh tak terduga ya Bli, undangan presentasi datangnya Dari kursi sebelah 😀
Ya mbak. Kebetulan ya ayu orangnya.. hehe ini bonus saja sih 🙂