Saya sudah cukup sering menulis tips wawancara beasiswa di blog ini. Tidak hanya tips, ada juga prediksi pertanyaan wawancara yang mungkin membantu para pejuang beasiswa luar negeri, terutama yang akan sekolah ke Australia dengan beasiswa Australia Awards atau dikenal juga dengan AAS. Meski demikian, tips itu sebenarnya bersifat universal, berguna juga bagi pejuang beasiswa yang ingin sekolah ke negara lain. Ada beberapa hal yang ingin saya tambahkan dan tekankan, melengkapi tulisan-tulisan terdahulu.
Antara percaya diri dan sombong
Percaya diri itu penting. Penting sekali. Meski beigtu, percaya diri bisa muncul sebagai kesan kesombongan jika kita tidak berhati-hati. Saya pernah mewawancarai seorang perempuan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Alih-alih nampak percaya diri, perempuan ini tambil sebagai orang yang terkesan sombong. Dia dengan sengaja tampil ‘tidak hormat’ kepada saya dan tidak ingin terlihat ada di bawah kendali saya. Karena penasaran, saya telusuri gerak-gerik itu dan berhasil menyingkap bahwa sebenarnya dia gelisah. Dia tidak ingin tertindas oleh saya maka dari itu dia ‘pasang kuda-kuda’ lebih dahulu. Sebelum direndahkan, dia memilih untuk merendahkan. Sebelum dianggap tidak bisa, dia memilih untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dibandingkan pewawancara.
Perlu diingat bahwa Anda tidak sedang bersaing dengan pewawancara. Mereka adalah orang yang menentukan apakah Anda akan lolos atau tidak. Selain itu, coba renungkan sejenak dan bayangkan diri Anda sebagai pewawancara. Orang seperti apa yang akan Anda pilih? Jika pertanyaannya disederhanakan, apakah Anda akan memilih orang yang ‘memaksa diri’ terihat pintar dan bahkan cenderung ingin kelihatan lebih pintar dari Anda sebagai pewawancara? Memang penting untuk terlihat menguasai dan mumpuni di bidang tertentu tetapi pahamilah, tidak ada satu orangpun yang rela dan senang dipermalukan atau dianggap atau diperlakukan lebih rendah. Pewawancara juga demikian.
Jika ingin terlihat percaya diri, pelajari isu dengan baik dan lakuakn persiapan maksimal dengan keras. Ketika tampil di depan pewawancara, Anda bisa banyak senyum dan tenang. Itulah ciri orang percaya diri yang sebenarnya. Jika Anda masih offensif, suka menyerang, sedikit-sedikit membela diri alias defensif, mungkin Anda belum percaya diri yang sebenarnya. Kondisi seperti ini membuat Anda terlihat sombong. Kini renungkanlah. Jika Anda memang benar-benar menguasai segala sesuatunya, tidak ada satu alasanpun untuk ‘menyerang’ atau ‘sombong’. Senyum dan penghormatan adalah dua hal yang menonjol dari orang yang percaya diri.
Canggung dan Kikuk
Masih jelas dalam ingatan saya, waktu kecil saya termasuk orang yang sangat canggung. Kondisi keluarga secara ekonomi dan pendidikan turut menentukan semua itu. Berbicara kepada orang asing atau di depan umum jelas bukan hal yang akrab di keluarga kami yang petani dan penambang padas. Saya tumbuh menjadi anak yang canggung dan tidak percaya diri dalam berbicara.
Anda mungkin sulit membayangkan bahwa saya bahkan tidak berani berteriak “stop” di dalam angkot karena takut suara saya akan mengganggu orang lain dan tidak mau menjadi pusat perhatian. Saya tidak nyaman jika ada sekelompok orang yang memperhatikan dan memandang saya karena saya membuat suara yang menarik perhatian di dalam satu kumpulan. Pernahkah Anda mengalami hal serupa dalam situasi yang mirip? Jika ya, Anda tidak sendiri.
Canggung dan kikuk itu penyakit bayak orang. Jangankan untuk menghadapi wawancara dengan seorang professor bule dari luar negeri, untuk menyapa tetangga di samping rumah saja mungkin ada yang tidak mampu. Waktu kecil, saya diajari sopan santun oleh bapak dan ibu. Bapak, terutama, sangat keras untuk urusan satu ini. Saya harus menyapa semua tamu yang datang ke rumah kami di desa. Terus terang, sulit sekali rasanya sebagai anak kecil usia 7 atau 8 tahun untuk menyapa rombongan dari kota lain yang bertandang ke rumah. “Ayo menyapa!” begitu kata Bapak saya setiap kali ada tamu Tidak mudah bagi anak kecil untuk menyapa, terutama karena dalam Bahasa Bali tidak ada padanan kata “hai” atau “halo”. Sapaan dalam Bahasa Bali adalah pertanyaan. Coba bayangkan, pertanyaan apa yang bisa dan harus dikemukakan oleh seorang anak usia 8 tahun kepada seorang lelaki atau perempuan usia 45 tahun yang baru pertama kali dijumpainya. Sulit minta ampun. Saya canggung dan kikuk.
Paksaan semacam itu ternyata membantu. Komunikasi, pada awalnya, adalah soal paksaan ternyata. Kalau saja Bapak saya tidak memaksa saya untuk berkomunikasi dengan orang-orang tua ketika saya kecil, mungkin ceritanya akan berbeda. Saya percaya, canggung dan kikuk bisa dihilangkan dengan memaksa diri. Kita harus rela menyiksa diri berada pada posisi yang sangat tidak enak pada awalnya karena hanya dengan itulah kita akan terbiasa.
Berlatih Ngobrol
Wawancara adalah ngobrol. Ya, memang sesederhana itu. Kalau Anda tidak terbiasa ngobrol dengan orang lain, wawancara bisa jadi proses yang rumit dan menyeramkan. Ngobrol secara verbal bisa jadi merupakan hal yang semakin jarang dilakukan dewasa ini. Kehadiran ICT mengubah cara kita berkomunikasi. Sangat mungkin menemukan seorang anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer atau tablet, diam tidak berbicara tetapi dia merasa melakukan banyak hal. Kebiasaan seperti ini membentuk kepribadian yang miskin kosakata verbal. Ini belum tentu hal buruk dan tidak berarti orang yang demikian itu tidak pintar. Masalahnya, ketika harus menghadapi wawancara verbal yang konvensional, orang-orang semacam ini akan mengalami kendala.
Coba ingat-ingat, kapan terakhir Anda menyapa orang asing dalam suatu antrian atau di halte bus dan kemudian bercerita asyik dengan orang itu? Kapan terakhir Anda menyapa orang di sebelah Anda ketika naik kereta atau pesawat? Kapan Anda menemukan teman baru dalam perjalanan karena diawali sapaan basa-basi? Mungkin banyak yang tidak bisa mengingatnya sama sekali. Pertanyaan sederhana ini mengingatkan kita apakah kita termasuk orang yang suka atau tidak suka ngobrol. Memang banyak yang punya prinsip bahwa ngobrol itu bukan pekerjaan penting dan tidak ada gunanya. Percayalah, Anda akan berpikir lain jika melihat potensi manfaatnya untuk wawancara. Kalau Anda sedang membaca tulisan ini di halte bus atau tempat umum lainnya, coba hentikan sejenak dan lihat sekeliling Anda. Mungkin ada orang yang bisa disapa atau setidaknya diajak tersenyum sesaat. Itu adalah latihan wawancara.
Wancara Bukan Interogasi
Wawancara memang bukan interogasi. Anda bukan orang yang bersalah dan diminta pertanggungjawabanya. Anda adalah orang yang punya gagasan bagus dan kini ada orang yang tertarik dengan gagasan itu sehingga ingin bertanya lebih jauh. Itulah wawancara. Wawancara juga bukan ujian oral sehingga Anda tidak perlu terlalu khawatir tidak bisa menjawab pertanyaan dengan presisi dan akurat.
Coba bayangkan Anda punya sebuah bisnis atau sebuah benda baru yang orang lain tidak tahu. Anda yang paling menguasai informasi tentang bisnis atau benda itu. Jika ada orang lain yang ingin tahu, mereka akan bertanya pada Anda. Pertanyaan ini benar-benar untuk bertanya atau untuk mengkonfirmasi informasi yang Anda ketahui tentang benda itu. Maka dari itu, wawancara tidak bisa berdiri sendiri sebagai satu proses terpisah. Materi wawancara itu terkait erat dengan berkas lamaran beasiswa yang Anda serahkan sebelumnya. Jika berkas lamaran itu adalah hasil perjuangan sendiri, hasil belajar yang baik dan Anda benar-benar menguasainya, maka wawancara akan menjadi hal yang menyenangkan karena ringan tanpa beban yang berarti.
Wawancara akan terasa seperti interogasi atau pengadilan jika berkas lamaran beasiswa yang Anda serahkan sebelumnya bukan merupakan hasil perjuangan sendiri. Jika informasi yang Anda sampaikan di berkas beasiswa sebelumnya adalah hasil mengutip sana sini tanpa penjiwaan atau hasil bantuan teman-teman tanpa sempat Anda kuasai maka wawancara akan menjadi proses yang penuh keringat karena tegang dan khawatir. Dalam siatuasi ini, wawancara memang akan terasa seperti sebuah interogasi.
Pengetahuan Umum
Topik atau jurusan Anda bisa jadi sangat spesifik semacam teknik geodesi seperti bidang ilmu saya. Bisa juga topik spesifik lain seperti aktuaria atau lainnya. Meski topik studinya spesifik, Anda sebaiknya memahami isu-isu umum yang dihadapi masyarakat. Berbicara soal geodesi yang terkait pemetaan akan lebih mudah nyambung jika dikaitkan dengan bencana alam yang dihadapi masyrakat. Bicara soal koordinat dan datum geodesi akan lebih mudah jika dikaitkan dengan sengketa perbatasan antarnegera yang kerap terjadi. Berbicara soal system informasi geografis akan lebih mudah dinikmati oleh orang awam jika dikaitkan dengan politik. Ceritakanlah pada pewawancara bahwa peta bisa digunakan untuk membantu strategi pemenangan pemilu oleh suatu partai.
Pengetahuan umum bisa diperoleh dari Koran, televisi atau media sosial lainnya. Saya sendiri juga bukan penekun berita tetapi saya menyempatkan diri untuk mengetahui isu-isu popular terkini, setidaknya yang terkait dengan bidang ilmu saya atau pekerjaan. Isu sengketa perbatasan atau pendidikan internasional adalah dua hal yang membantu saya membumikan ilmu dan pekerjaan saya saat ini. Memahami ini juga membuat kita lebih mudah ngobrol dengan orang lain dari berbegai disiplin ilmu. Demikianlah manfaatnya pengetahuan umum dalam wawancara.
Sopan-santun Universal
Sopan santun ini memang agak rumit. Apa yang sopan di satu peradaban mungkin belum tentu demikian di peradaban lainnya. Meski demikian, ada hal-hal universal yang bisa dipahami dan dilakukan sebagai wujud sopan santun universal. Sopan santun ini terkait erat dengan kepercayaan diri. Jika tidak percaya diri maka sopan santun akan muncul sebagai bentuk kecanggungan atau malah ketakutan. Alih-alih menjadi terlihat sopan, kita bisa terlihat tidak percaya diri, takut, atau menghamba-hamba pada pewawancara. Mudah untuk merasa kecil, merasa rendah dan merasa tidak berarti jika kita menghadapi ‘orang besar’ atau ‘orang pintar’. Hal ini bisa jadi lebih rumit jika kita berasal dari satu peradaban yang memang memberi ‘doktrin’ harus hormat kepada orang yang lebih tua, orang yang punya kedudukan tinggi atau para pejabat. Sopan santun, dalam situasi seperti ini, bisa muncul dalam ekspresi takut, kikuk atau canggung.
Hal-hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sopan-santun yang wajar misalnya senyum wajar sambil menatap mata, salaman mantap/hangat/erat sambil tersenyum lalu mengucapkan kata yang tegas seperti “selamat pagi” atau “salam kenal Pak” atau “nice to meet you” atau sejenisnya. Jika Anda tidak mau bersalaman dengan lawan jenis, berikan sinyal yang jelas di awal misalnya cakupkan tangan dari jauh sambil mengucapkan salam. Usahakan agar pewawancara tidak ada di posisi serba salah, misalnya mereka sudah mengulurkan tangan tetapi Anda tolak. Sakitnya tuh di sini 🙂 Agar hal ini bisa dihindari, cakupkan tangan dari jauh lalu sampaikan salam hormat sambil sedikit menunduk. Jika Anda perempuan dan menggunakan jilbab maka sinyal ini akan bisa diterima dengan baik dan jelas.
Pilih frase singkat namun tegas saat bertemu pertama kali. Saat masuk ruangan interview, pastikan mengangguk dengan senyum yang wajar dan lepas. Jika tadinya pintu tertutup maka senyum itu harus diberikan ketika membuka pintu dan beradu pandang untuk pertama kalinya. Jangan menunda senyum. Untuk mengkonfirmasi, bisa juga bertanya dengan tegas dan lantang, “should I close the door?” atau “apakah pintu harus saya tutup?” sebelum kemudian dengan sigap menutup pintu. Gerakan yang cepat, sigap dan cekatan bisa memberi kesan yang baik. Di sini, rasa percaya diri memegang peranan penting. Jika tidak percaya diri, Anda akan canggung dan terbata-bata serta tergagap-gagap ketika menutup pintu atau menuju kursi saat mau duduk. Hindari ini. Jika tidak yakin, berdiri dengan tenang sebelum dipersilakan duduk atau silakan tanya dengan sopan “apakah saya boleh duduk?”
Ucapan-ucapan singkat juga menentukan. Saat pewawancara mengatakan “thank you for being here” atau “thank you for coming” maka Anda harus menjawab. Jika tidak percaya diri, kadang yang muncul hanya senyum meringis nggak jelas. Mulai sekarang, tinggalkan kebiasaan itu. Katakan dengan tegas dan santun “my pleasure” atau “thank you for having me”.
Penuh Perhatian
Dalam wawancara atau obrolan dengan orang lain, penting untuk tampil penuh perhatian. Salah satu wujudnya adalah dengan menatap mata orang yang sedang bicara. Bisa menambahkan senyum wajar di saat tertentu atau anggukan kepala pertanda mengerti atau mengamini satu pernyataan. Gerakan alis dan mata juga sangat membantu. Hindari menjadi orang yang datar dan tanpa ekspresi. Orang yang berbicara pada Anda perlu tahu apakah Anda mengerti atau tidak. Dia juga perlu tahu apakah ucapannya berkenan atau tidak. Menjadi orang yang berwajah datar membuat pewawancara ‘bingung’ sehingga tidak bisa ‘intim’ dengan Anda dan itu bisa merusak suasana wawancara.
Perhatian juga bisa disampaikan dengan membuat catatan jika memang dimungkinkan. Namun perlu diingat, tekun mencatat tanpa memperhatikan wajah pewawancara juga tidak baik. Kombinasikan dengan tepat antara mentap matanya dan membuat catatan kecil. Ini akan menguatkan kesan bahwa Anda memberi perhatian. Selain itu, perhatian bisa ditunjukkan dengan membenarkan pendapat pewawancara, misalnya dengan mengatakan “you said it precisely that bla bla” atau, “I share your view that …” atau “thank you, I like the point that bla bla”.
PS. Mungkin ada yang bertanya-tanya, apa dasarnya saya menulis tips di atas. Dasarnya bukan teori atau ilmu psikologi tingkat tinggi. Dasarnya hanya commonse sense dan pengalaman jadi pewawancara maupun yang diwawancarai. Simak dengan menggunakan common sense dan jangan percaya begitu saja. Jika tidak setuju atau ingin bertanya, silakan sampaikan di bawah.
PSS. Baca juga
Reblogged this on A Rosella.
awesome! tips nya, best practices pak. Lebih applicable utk saya dari yang saya baca di bukunya mas Dale C@rnegie 🙂
Selamat siang, Pak Andi. Blognya sangat menginspirasi membuat saya tahu apa yang harus saya siapkan. Tapi saya ingin bertanya, Pak. Apakah kalau wawancara itu kita harus menjawab seperlunya saja atau dibuat panjang lebar biar terlihat akrab, Pak? Terimakasih 🙂
Jawaban saya klise: sedang2 saja dan lihat situasi pewawancara 🙂