Belakangan ini, Jogja diguyur hujan hampir setiap sore. Tidak terkecuali sore itu ketika saya pulang kantor saat hari sudah mulai gelap. Hujan turun konstan meskipun tidak lebat. Saya pikir saya bisa menuju parkir mobil tanpa payung meskipun mungkin akan sedikit basah. Saya berjalan dengan langkah mantap di Balairung UGM menuju parkir mobil, bersiap-siap untuk melesat ke rumah.
Saat melewati pos keamanan kampus, ada seorang petugas keamanan perempuan yang mengejar saya. “Pak, hujan lo Pak” kata perempuan itu sopan. “Ya, nih. Tapi nggap apa-apa, saya harus segera pulang” demikian saya menjawab. “Pakai payung saja Pak” katanya sambil dengan sigap mengambilkan payung yang ada di situ dan menyodorkannya pada saya. Petugas ini nampaknya tidak mengenal saya dengan baik tetapi dia merasa perlu melakukan semua itu. “Tapi nanti gimana payungna ini?” saya bertanya karena tidak paham bagaimana saya bisa mengembalikan payung itu. “Bawa saja Pak, besok Bapak kembalikan ke sini” katanya sopan namun jelas dan tegas. Ada senyum dalam penjelasan itu.
Saya selalu bangga dengan UGM. Saya bangga dengan prestasi dan reputasinya yang tinggi dan mendunia. Sore itu saya seperti diingatkan bahwa kepedulian yang tulus seperti ini yang sejatinya menjadi karakter universitas kerakyatan ini. Seraya kita berjuang keras untuk menarik perhatian dan pengakuan dunia, saya senang UGM tidak lupa meneruskan tradisi kebaikan-kebaikan kecil saat diperlukan. Saya rasa itulah sifat UGM yang sesungguhnya. Sederhana, penuh cinta dan peduli. Seperti kata Bung Karno, “Gadjah Mada adalah sumbermu. Gadjah Mada adalah mata airmu. Mengalirlah ke laut pengabdian kepada Rakyat. Bukan kepada kemuktian Diri.” Lewat payung UGM yang melindungi saya sore itu, saya seperti mendengar sayup-sayup petuah dari Sang Proklamator itu.
Betul pak,kesederhanaan dan keikhlasan dalam membantu sesama itulah yang sejatinya dapat membahagiakan.
Betul sekali… Terima kasih atas komentar positifnya 🙂