Antara Sepeda, Motor dan Mobil


Kendaraan dinas UGM
Kendaraan dinas UGM

Jika ditanya serius “apakah kita boleh membedakan perlakuan terhadap orang berdasarkan kendaraan yang dipakainya?” mungkin sebagian besar, jika tidak semua, orang akan menjawab “tidak”. Anda juga mungkin menjawab “tidak”. Ini ilmu yang umum, ajaran yang dipercaya oleh semua penganut kebaikan. Benarkah kita tidak membedakan perlakuan terhadap orang berdasarkan kendaraannya?

Dalam beberapa bulan terakhir ini saya banyak menggunakan sepeda di UGM untuk mengunjungi tempat-tempat berbeda di lingkungan kampus. Kami menyebut sepeda itu sebagai ‘kendaraan dinas’ bagi mereka yang bertugas menjalankan roda organisasi UGM. Di kesempatan berbeda, saya juga sering menggunakan motor. Tentu saja sekali waktu masih menggunakan mobil, terutama ketika hujan mendera atau karena harus mengantar tamu. Ternyata perlakuan yang saya terima saat naik sepeda, motor atau mobil itu berbeda.

Dari semuanya, yang paling menggelitik adalah saat menggunakan motor. Di sebuah lokasi parkir di UGM, saya pernah ditanya setengah diteriaki “mau ke mana Mas?” dengan nada yang jauh dari sopan. Di lokasi yang sama, ketika menggunakan mobil, saya mendapat perlakuan yang jauh lebih baik. Saat datang ke kantor sendiri pun, saya pernah mendapat pertanyaan dengan nada tinggi ketika masuk parkir dengan motor. Saya bisa memahami, tukang parkir menjalankan tugasnya dengan baik untuk mengetahui identitas pengguna parkir yang menjadi tanggung jawab mereka. Hanya saja, motor yang saya kendarai dan mantol yang melindungi tubuh dari air hujan, seperti memberi hak kepada mereka untuk bertanya dengan cara yang tidak sopan. Dalam keadaan begitu, saya hanya meringis saja menjawab “mau ke kantor pusat Mas” tanpa menjelaskan lebih lanjut. Biasanya memang langsung diizinkan tanpa berpanjang-panjang. Dia tidak tahu saya. Dia orang baik. Dia hanya tidak siap menerima kenyataan bahwa ada kepala kantor yang mengendari motor di tengah hujan mendera, kuyup karena jas hujan tak mampu melindunginya.

Lain lagi ceritanya jika naik sepeda. Rasanya hampir semua petugas lapangan seperti satpam, petugas parkir dan pemelihara kebersihan di UGM tahu bahwa sepeda adalah ‘kendaraan dinas’. Oleh karena itu, saya belum pernah menerima perlakuan yang tidak baik dari mereka, apalagi pengendara sepeda biasanya mengenakan batik atau setidaknya rapi, layaknya akademisi. Penggunaan sepeda bisa bermasalah ketika berhadapan dengan orang luar UGM yang kebetulan berada di UGM. Saat pulang dari Teknik Geodesi UGM dengan sepeda saya melewati seorang lelaki, entah siapa, yang duduk di pos penjaga parkir. Saat melitas di sampingnya saya menyapa sopan “monggo Mas”. Lelaki yang sedang bermain degan HPnya sambil mengangkat kaki itu hanya menjawab “yoooh” sambil sedikit melirik lalu tenggelam lagi dengan HPnya. Lelaki itu mungkin baik, dia hanya tidak merasa perlu bersopan-sopan kepada seorang pengendara sepeda yang tidak jelas identitasnya bagi dia.

Tidak ada yang salah dengan mereka semua. Kadang memang ada rasa kesal mendapat perlakuan seperti itu tetapi setelah dipikir ulang, saya bisa memahami. Mengharap mendapat perlakuan yang sama-sama terhormat dan sopan saat mengendarai sepeda, motor, atau mobil adalah mimpi yang begitu utopis. Lebih baik saya bersiap saja dengan perlakuan yang pasti berbeda itu, agar tidak perlu menghardik “Anda tahu nggak saya siapa!?” Pada dasarnya semua orang membutuhkan pengakuan. Setiap orang ingin menunjukkan eksistensi dan kuasa. Para tukang parkir itu tidak memiliki kesempatan menunjukkan kekuatannya di tempat lain, maka di lahan parkir mereka unjuk gigi maksimal. Jangan-jangan dosen seperti saya pun demikian. Tak kuasa melawan tidasan pasangan hidup yang otoriter di rumah, di kelas menebar keangkeran agar nampak wibawa. Jadi, ini bukan soal membedakan perlakuan terhadap orang berdasarkan kendaraan yang dipakainya. Ini soal godaan nafsu untuk menunjukkan kuasa yang bisa terjadi pada Anda dan terutama saya.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

11 thoughts on “Antara Sepeda, Motor dan Mobil”

  1. Atau, dari perspektif lain, ini semata-mata karena atribut yang tidak lengkap terlihat saat komunikasi sedang berlangsung. Istilahnya “actor-observer effect”. Jika kita menggunakan atribut yang seolah-olah tersembunyi (naik motor, pakai helm tertutup, jas hujan, dan sebagainya) maka mengirim sinyal komunikasi yang tidak lengkap sehingga ditanggapi oleh satpam/observer secara ‘berlebihan’ (negatif) layaknya aktor (pura-pura). Tanggapan tersebut bisa jadi hasil observasi yang rutin terjadi, misal dalam kasus pemotor, biasanya pemotor datang pergi tidak jelas yang ternyata pencuri.
    Naik sepeda lebih mudah terlihat atributnya dan mengirim sinyal yang lebih lambat agar mudah dicerna (dinilai, verifikasi dan tanggapan). Naik mobil ada diantara kedua moda transportasi, tapi bisa mengirim sinyal berbeda karena jenis mobil bisa jadi semacam pembeda “kasta” sosial. Jenis mobil menandakan berasal dari status mana penumpangnya. Saya sering mengalami hal ini… 🙂

  2. saya masih suka sepedaan kalo ke kampus, soalnya enak bebas kemana2. apalagi pas mau ke wilayah rektorat/perpustakaan..

    mungkin suatu saat saya ketemu sampeyan pas di jalan hehe salam kenal pak guru 🙂

  3. Ulasannya menarik Bli, as always.

    Jangankan roda empat vs roda dua. Sama sama pake roda empat saja kalo butut diperlakukan beda kasta hehe. Di Inggris lho ini.

    Dulu mobil saya sempat dua, satu butut satu mudaan. Tiap bawa butut, pengendara di belakang seolah jadi ga sabaran dan kemrungsung pengin nyalip meski kecepatan sudah di batas maksimal. Pikirnya mobil butut ga bisa lari kenceng!

    Beda kalo bawa mobil satunya, biar jalan lambat juga orang males nyalip. Aneh…

    Sekarang cuma punya satu, si butut akhirnya dijual loakan karena mati mesin.

  4. alhamdulillah mulai 2006 sampai sekarang di Jogja, bersepeda menjadi kebiasaan. jogja masih nyaman untuk gowes. salam gowes om andi. 😀

  5. Masyarakat kita hanya perlu waktu untuk membiasakan diri menilai segala sesuatu sama rata. sampai kapan menunggu waktu itu ? sampai tidak ada lagi kesenjangan di masyarakat. Disini tempat saya tinggal malah pengendara sepeda yang masuk kampus adalah orang-orang yang poaling dihargai di dunia akademisi. Berharap ini bisa erjadi di Indonesia.. 5, 10, 15 hingga puluhan tahun kemudian hanya bisa berharap 🙂
    Sukses pak… salam 🙂

  6. saya sudah melihat adanya jejeran rapi sepeda dinas UGM ni pak, waktu kesasar mencari gedung untuk tes Interview AAS, saya malah ke Kantor Pusat dan keliling – keliling naik turun setiap tingkat hanya untuk menemukan gedung atau ruang untuk interview ini..Dalambenak saya, pasti ruangan interviewnya di Gedung Pusat, karena namanya berbau Hubungan Internasional..bertanya pada pegawai yang bertugas di sana juga ga tahu..akhirnya saya menyerah dan menanyakan via phone ke penanggungjawab interview..ternyata gedungnya di sebelah timur bundaran UGM..disitu juga saya lihat ada mobil golf? untuk keliling2 kampus bagi tamu kali yah..

    Memang diakui, orang – orang lebih melihat kepada ‘kulit luar’ atau atribut seseorang..bisa penampilan yang meyakinkan, rapi, necis dan menggunakan mobil..pernah juga saya masuk ke sebuah gedung kantor menggunakan ojek dan turun di luar gedung, eh SAtpamnya malah nanya: dari mana? mau kemana? setelah dijawab, malah balik nanya: kok ga naik taxi pak? haha..padahal itu kan urusan saya, wong jaraknya dekat, ngapain saya harus naik taxi? tapi mau jawab, ah senyum aja..

    Belum lagi kalau di perumahan..biasanya ibu2 akan melihat seseorang dari mobilnya atau besar kecilnya rumahnya, atau apa aja isi barangnya mahal, haha

    Itulah hidup yah mas..orang lebih melihat ke ‘kulit luar’ dari pada isinya, karakter orangnya, ide gagasannya dll

      1. Siap Mas..memang ada rencana mo ketemu teman – teman di UGM tapi ga kesampaian, karena saya juga harus fokus persiapan untuk interview kemaren..dan takut pula mengganggu acara liburan mereka..saya kenal dengan Mas Agus Hendratno, pengajar di Geologi UGM Mas..lain kali nanti kalau ada waktu bisa ketemuan..mo nanya mas, jurusan master mining courseworknya dibandingin antara UNSW dan UOW bagusan mana yah mas? saya compare dengan Curtin, Adelaide tapi dari segi kurikulumnya saya lebih merasa cocok dengan UNSW dan Curtin karena resources WA sangat besar di Aussy..lalu, apakah kemaren waktu ambil Master dan Phd pake paspor biru atau hijau Mas? karena katanya kalau pake paspor hijau sulit penyetaraan gelarnya nanti, apa betul? dan dulu OSHC nya pake apa? diupgrade dari individu ke family? atau bagus terpisah?

        SAlam

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: