
Saya tidak belajar politik secara formal tetapi rasanya sulit untuk tidak terpapar isu politik jika berdiam diri di Bumi Indonesia belakangan ini. Jangankan mereka yang sengaja mengikuti isunya, mereka yang berusaha menghindar dari hingar bingar politik pun harus rela bertemu lagi dan lagi dengan isu politik. Disengaja atau tidak, setiap orang akan bertemu dengan isu politik yang tengah menyita perhatian seluruh negeri. Yang lebih penting, percaya atau tidak, paham atau tidak, kehidupan kita dipengaruhi politik. Nasi yang kita kunyah, jalan yang kita lalui, buku yang kit abaca, kendaraan umum yang kita tumpangi, disadari atau tidak adalah produk politik. Seperti udara, kita tidak harus percaya atau peduli padanya, kita tetap akan tergantung. Politik itu demikian. Pilihannya jelas, diam saja atau memberi komentar dan bereaksi. Saya memilih yang kedua, tentu dengan kapasitas yang sangat terbatas.
Saya memilih Jokowi ketika pemilu lalu dan masih meyakini bahwa Jokowi adalah pilihan yang lebih baik, dengan segala hormat saya untuk Prabowo. Jokowi bisa salah. Jelas bisa. Pendukungnya tentu harus rasional. Bagi saya, rivalitas pendukung sudah tidak ada. Capres kita memang beda tetapi presiden kita sama. Itu sudah pasti. Maka dari itu, saya ingin memiliki Jokowi sebagaimana layaknya rakyat memiliki presidennya. Teringat satu dialog di The American President, saya belajar sesuatu. Lewis, penulis pidato presiden, berujar dengan nada tinggi ketika A.J., Chief of Staff Presiden, melarangnya bertanya kepada presiden karena presiden tidak wajib menanggapi pertanyaannya. Dia bilang “Presiden wajib menjawabku, A. J., aku adalah seorang rakyat dan dia adalah presidenku. Di negeri ini, kita tidak saja diizinkan untuk bertanya pada pemimpin kita, kita bahkan diwajibkan untuk itu.” Orang yang tidak paham politik secara formalpun boleh berkomentar tentang presiden. Boleh mempertanyakan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh presidennya.
Anda mungkin satu dari sangat banyak orang yang menduga atau yakin bahwa Jokowi dikendalikan oleh Megawati. Bahwa apa yang terjadi sekarang ini, apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh Jokowi adalah buah dari kekuasaan Megawati atas Jokowi. Jika membaca berita dengan seksama, ada banyak tanda-tanda yang membenarkan asumsi atau keyakinan ini. Benarkah Jokowi tunduk kepada Megawati? Saya tidak tahu bersis tetapi bahwa peran Megawati memang penting dalam pengambilan keputusan Jokowi, saya kira ada benarnya.
Mengapa seorang presiden yang dipilih rakyat harus takut kepada Megawati? Mengapa Jokowi tidak bersikap tegas saja, melakukan apa yang dia yakini sebagai presiden dan tidak terpengaruh pada suara-suara dari manapun? Mengapa Jokowi tidak berkata “TIDAK” dengan tegas saat Megawati berusa melakukan intervensi atas suatu perkara, terutama jika intervensi itu negatif? Mengapa Jokowi tidak menatap wajah atau mata megawati lekat-lekat, seperti layaknya President Andrew Sheppard di The American President dan berkata “I am Joko Widodo, and I AM the PRESIDENT!” Daftar pertanyaan ini tak akan berakhir.
Menjadi presiden, kata Sheppard, adalah soal karakter. Itu betul. Yang juga betul, posisi seorang presiden adalah posisi politis dan inti dari politik yang saya pahami adalah kompromi. Dukungan politik mutlak diperlukan untuk mengambil keputusan. Tanpa itu, tidak mungkin. Maka dari itu, perkaranya bukan soal baik atau buruk tetapi soal mendukung atau tidak. Jokowi perlu dukungan karena secara administratif dan politik, presiden tidak bisa memutuskan segala sesuatu sendiri. Kesalahan terbesar seorang rakyat awam adalah menduga bahwa presiden bisa melakukan apa saja yang dia mau dan tidak ada yang berani membantah. Era Soeharto sudah lewat belasan tahun silam, jangan lupa.
Pertanyaannya, siapa yang mendukung Jokowi? Jokowi didukung PDIP sebagai partai utama dan partai lainnya. Siapakah Jokowi dalam PDIP? Kita tahu, Jokowi bukan ketua umum dan PDIP ada di bawah kendali Megawati. Mempertahankan dukungan PDIP di kancah politik berarti memastikan dukungan Megawati. Faktanya memang demikian, bahwa PDIP identik dengan Megawati. Kegagalan Jokowi mempertahankan dukungan dari PDIP akan membuatnya menjadi pejalan kaki yang sendiri dan kesepian. Bagaimana dengan partai pendukung selain PDIP? Saya tidak yakin mereka memiliki sikap dukungan yang memadai dan dibutuhkan saat ini. Politik adalah soal kepentingan, kita semestinya tidak pernah lupa itu.
Mengapa Jokowi harus gentar dengan partai, bukankah rakyat ada di belakangnya? Relawan memang bertebaran, masa siap dikumpulkan kapan saja untuk bergerak. Tapi jangan lupa, relawan dan pendukung bukanlah orang-orang yang rapat bersama Jokowi di Gedung DPR. Relawan itu tidak punya suara sah saat rapat kabinet. Relawan itu bukan menteri yang akan menerjemahkan kebijakan makro Jokowi. Relawan dan pendukung itu bukan elemen birokrat yang secara langsung bisa mengeksekusi gagasan Jokowi. Dengan segala hormat kepada relawan dan pendukun, mereka tidak memiliki kekuatan formal yang dibutuhkan saat ini. Mereka hanya memiliki kekuatan moral untuk mendesak. Sayangnya, kekuatan moral itu tidak selalu bisa menyentuh hati orang-orang yang terlanjur hitam, haus kekuasaan dan menganggap kompetisi adalah permusuhan. Jokowi tidak ditemani relawan dan pendukung dalam kesahariannya. Presiden kita berurusan dengan anggota DPR, Kabinet dan jajaran administrasi lainnya. Dengan himpitan, desakan dan mungkin ‘tekanan’ dari berbagai pihak dan partai, kini Jokowi menapaki jalan sunyi di tengah kepungan.
Akankah Jokowi menyerah? Akankah kekacauan yang pelik luar biasa ini membuat Jokowi kelelahan lalu kehilangan semangat? Saya harap tidak. Menjadi presiden sebuah negeri sebesar Indonesia tak hanya berisi kebangggan tetapi juga tanggung jawab yang luar biasa. Seperti nasihat Uncle Ben kepada Peter Parker di Spiderman “with great power, comes great responsibility”. Tanggung jawab Bapak Presiden Jokowi jelas berbeda dengan pendahulu di masa lalu. Tanggung jawab yang kami paling nantikan adalah sikap yang terang benderang menunjukkan ketegasan dan kemerdekaan dari tekanan manapun.
Meminjam istilah dari Mas Anies Baswedan, seorang presiden tidak perlu sibuk memikirkan bagaimana headline koran akan menulis namanya esok hari tetapi bagaimana sejarah akan mencatatnya suatu ketika. Maka ini bukan soal berani atau tidak melawan Megawati. Megawati pun belum tentu seperti yang saya duga atau tuduhkan. Ini adalah soal menjukkan diri kepada seperempat miliar manusia Indonesia bahwa mereka memiliki seorang presiden yang mampu mengambil sikap tanpa intimidasi. Kompromi memang tak bisa dihindari dalam politik namun kompromi yang kami inginkan adalah kompromi yang terhormat. Kami ingin suatu ketika melihat Bapak Jokowi berkata mantap, pelan namun penuh keyakinan “I am the PPRESIDENT!” Sulitkah itu? Tentu saja sulit tapi “sulit” adalah kata yang terlalu sederhana untuk seorang persiden negara kepulauan terbesar di dunia, dengan GDP nomor 16 di dunia, nomor 5 di Asia dan nomor 1 di ASEAN. Presiden kami adalah aktor utama negara demokrasi terbesar ketiga di Planet Bumi untuk melakukan berbagai mission impossible.
Negeri ini, yang penuh sesak dengan sesuatu yang impossible, memerlukan pendekatan yang impossible. Bagaimana caranya? Saya tidak tahu persis. Yang saya tahu, pakaian Indonesia terlalu besar jika hanya dipakai oleh presiden biasa yang normatif. Mengutip kalimat Sheppard, “being president of this country is entirely about character!“
That a great post sir.
may I get permission for share it?
Thank you.
I am happy that I ever meet a great peraon like you.
Thanks. Pls do share 🙂
Di saat saya kehabisan kata untuk mengungkapkan kegelisahan atas apa yang sedang kisruh di tanah air, seperti biasa Bli Andi merangkumnya dengan apik, terima kasih. Ijin reblog 🙂
Siap kumendan 🙂 Monggo mbak yu
Hallo Pak, Kalau bisa dibinlang saya merupakan pendukung fanatiknya Jokowi yang saat ini sulit untuk menolak akal sehat bahwa apa yang menjadi kebijakan Jokowi selama ini dibawah bayang bayang Megawati. Tetapi masih terus berharap bahwa Jokowi ibarat chef yang punya resep dan cara sendiri dalam meramu Indonesia jadi lebih baik… tugas kita adalah terus mengawal dan mengkritik jikamana presiden kita berbuat salah.
Sukses selalu… salam 🙂
Ketegasan bersikap dan bertindak yg ditunggu rakyat. Seperti ketika Jokowi melanjutkan putusan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan narkoba.
saya pikir ini bukan tentang berani atau enggak berani, tapi ini tentang kenyamanan dg keadaan tertindas dan senang di bawah kekuatan lain. tokoh politik lain di negeri ini byk yg gitu, tapi kekuatan yg di atasnya (para politisi) mampu berkompromi dg keadaan. nah buk mega ini gak mau kompromi. dia sosok tegas, ngeyel, gak mau denger orang lain. nah jadilah si jokjok terpojok oleh kekuatan besar si mega dan kekuatan pemodal lainnya di atas pak jok.
Saya membaca artikel ini 5 bulan setelah tulisan ini terbit, dan makin sepakat megawati harus dilawan.
kalau tidak dialwan, mohon maaf, jokowi mmang tidak pantas jadi presiden, karena selalu tunduk pada ibu suri dan tidak ada keberania melawan sbg pemimpin negeri