
Kereta yang bergerak dari Bogor ke arah Kota Jakarta itu penuh. Banyak orang harus berdiri karena semua tempat duduk terisi. Saya termasuk yang memilih untuk berdiri meskipun tadinya dapat tempat duduk. Ada beberapa perempuan dan lelaki senior yang lebih membutuhkan. Meskipun sebenarnya saya punya tugas yang harus diselesaikan, saya akhirnya memilih menutup laptop, memasukkan ke tas dan berdiri. Tidak nyaman bekerja di kereta dengan tatapan perempuan atau lelaki tua yang lebih membutuhkan kursi.
Syukurlah baterei HP saya habis sehingga saya tidak tenggelam di dunia maya berakrab-akrab dengan orang jauh dan mengabaikan orang dekat. Saya raih tali pegangan yang berjuntai di atas kepala. Memandang ke luar jendela, saya menikmati suasana sepanjang jalan. Harus diakui, dibandingkan sepuluh tahun silam, kereta di Jabodetabek jauh lebih nyaman kini. Saya tidak ragu mengacungkan jempol untuk siapa saja di PT Kereta Api Indonesia yang menghadirkan kebaikan itu.
Kekaguman saya terganggu begitu melihat seorang gadis cantik yang membuang tisu ke lantai kereta. Terus terang saya terkejut karena tidak berharap perbuatan ‘hina’ itu dilakukan oleh seorang gadis yang kelihatannya terdidik dan bermasa depan itu. Pakaiannya bagus, pada telinganya terselip earphone dengan pandangan mata yang rupanya begitu menikmati diri sendiri. Saya berpikir sejenak, bertanya pada diri sendiri apa yang harus dilakukan.
Saya putuskan untuk melihat wajah perempuan cantik itu dengan sengaja. Merasa dilihat, dia membalas tatapan saya (jangan bayangkan film romantis di sini). Ada kecaggungan pada wajahnya karena rupanya dia tidak menduga saya akan bereaksi demikian. “Kenapa?” demikian tanyanya dengan wajah penasaran sekaligus agak menantang. Spontan saya jawab “Kenapa buang sampah di lantai?” Rupanya dia tidak siap dengan intervensi seperti itu. Pastilah dia sama sekali tidak bermimpi bahwa akan ada penumpang di kereta itu yang menegurnya saat membuang tisu. “Ya, soalnya kalau sampah tisu kan susah mau naruh di mana” katanya merancau, tidak fokus dan terlihat ‘ngeles’.
Saya tidak menuggu lama, saya bilang “ambil!” dengan nada tegas tetapi dengan volume tidak keras sambil menunjuk tisu itu mantap. Tak sekalipun saya palingkan pandangan dari wajahnya. Terlihat dia gelagapan karena sepertinya sama sekali tidak menduga akan mendapat ‘perintah’ itu dari saya yang bukan petugas, bukan siapa-siapa. Jika Anda, pembaca, menuduh saya nekat dan kurang kerjaan, bisa jadi Anda benar.
Perempuan itu menatap saya dengan penuh tanda tanya. Dia masih tidak bergerak tapi saya yakin ada keraguan di wajahnya. Dia belum bisa memahami apa yang terjadi dan mengapa saya senekat itu. Dia tahu saya bukan siapa-siapa tetapi dia juga sadar, apa yang saya katakan/perintahkan tidak salah. Saya pun memanfaatkan keresahan/ketidakyakinan perempuan itu dengan berkata tegas “AMBIL!” dengan nada agak tinggi. Beberapa orang di sekitar kami melihat kejadian itu dan orang-orang mulai memandang. Pandangan penumpang lain itu menghadirkan tekanan yang lumayan pada perempuan itu dan akhirnya dia menyerah. Tanpa berpanjang-panjang, dipungutnya tisu itu dan diamankan di tasnya. Wajahnya tidak bahagia tentu saja.
Saya yakin ada kebencian yang teramat sangat pada diri cewek itu kepada saya. Saya memilih untuk melihat ke luar, tidak ingin menambah kegalauannya. Sejujurnya, saya juga tidak merasa nyaman melakukan itu. Saya tahu perempuan itu merasa malu atau dipermalukan tetapi saya tidak punya banyak pilihan. Setidaknya itu yang saya yakini saat itu. Saya bisa saja salah.
Ketika saya twit kejadian ini, ada yang serus bertanya “apa yang akan Bapak lakukan kalau wanita itu tidak mau memungut tisunya?” Dari awal memang saya sadari, saya bukan petugas yang punya otoritas menghukum atau menyuruh orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Saya sudah bersiap diri, kalau dia tidak mau ambil sampahnya maka saya yang akan mengambilnya lalu memasukkan ke saku celana. Saya tidak akan berdebat dengan dia tapi fokus pada tujuan ‘perseteruan’ itu yaitu lantai kereta yang bersih dan nyaman. Saya kira cewek itu membuat pilihan yang tepat meskipun harus menanggung malu. Saya hormati keputusan itu dan kecantikannya pulih seketika, meskipun tadinya sempat tececer di lantai bersama tisu yang dibuangnya.
Sebenarnya, saat akan melakukan semua itu ada keraguan. Keraguan yang paling sulit diusir berupa pertanyaan “apakah saya selalu benar, sehingga berani menegur orang lain?” atau “apakah saya suci sehingga berani ‘memaksa’ orang lain untuk berbuat baik?” Semakin direnungkan, keraguan itu semakin membesar. Akhirnya saya diselamatkan oleh satu pemahaman bahwa jika orang harus menunggu suci dulu baru boleh menegur orang lain maka tidak ada satu orangpun yang boleh menasihati orang lain. Saya hanya berharap ada orang yang akan ‘tega’ menngingatkan saya jika melakukan kesalahan serupa. Mengutip Ayu Kartika Dewi, saat mengomentari twit saya soal ini, yang penting “we do what we can do”. Saya tidak mungkin menunggu sempurna untuk berbuat sesuatu karena kata Soleh Solihun, kesempurnaan itu hanya milik Tuhan Yang Maha Esa dan Andra and the Backbone 🙂
PS. Kejadian ini berlangsung tanggal 15 Februari antara jam 13-14. Jika Anda mengenal perempuan yang saya maksud, mohon sampaikan salam saya untuk dia dan mohon maaf karena telah membuatnya tidak nyaman.
setuju mas Andi…..sayapun pernah bbrp kali berbuat hal yg sama, saat melihat sesuatu yg tdk pd tempatnya atau tdk seharusnya, misalnya sj saat melihat orang membuang sampah seenaknya, saat melihat orang merokok di tempat umum (khususnya di dekat saya hehehe), bahkan pernah saya marahin anak SD yg merokok, saya suruh matikan dan buang rokoknya, sampai2 anak saya bengong, koq bundanya berani marahin orang gitu hehehe pisss…..as you said: we must do what we can do, right?
Terima kasih Pak Andi karena telah melakukan teguran tersebut. Saya juga sudah beberapa kali melakukan hal yang sama. Saya pikir orang Indonesia memang harus diperlakukan seperti ini.
Pada suatu kasus ekstrim, saya pernah memungut sampah yg dibuang dr mobil, lalu saya uber mobilnya pakai motor & meletakkan sampah tsb kembali ke mobilnya. Di kasus lain pernah hampir berkelahi dgn seorang pemuda yg tersinggung setelah saya tegur. Namun saya tidak menyesal …
Sekali lagi terima kasih Pak, semoga semakin banyak masyarakat Indonesia yg peduli & mau menegur …
Terima kasih Mas Taufik. Komentar Mas Taufik ini membuat saya lega, apa yang saya lakukan mendapat dukungan orang baik.
Luar biasa, Pak Taufik Sutanto. Saya jadi malu karena sering kali takut menegakkan hal yang benar. Semoga setelah ini saya bisa meneladani keberanian. Pak Andi dan Pak Taufik. Sutanto.
Thanks Mbak
Terima kasih mas, saya senang membacanya 😀
Makasih Vita 🙂 Saya juga senang membaca komentar ini …
keren pak!
kalau saya jadi bapak, mungkin ga akan seberani itu..
Saya setuju sama Pak Made Andi.
Jika saya di posisi Pak Made, pastilah saya punya rasa keraguan atas apa yang telah saya lakukan dengan perempuan cantik itu, dengan adanya kritik manusia bisa memperbaiki diri.
Selain itu, seharusnya perempuan cantik itu juga sepatutnya merasa malu karena membuang sampah sembarangan bukan karena “ditekan” oleh situasi & orang-orang di sekitarnya. Toh pada akhirnya, walaupun terpaksa, Ia juga bisa menahan diri & menampung sampah yang Ia miliki tanpa harus membuangnya secara sembarangan.
Saya suka tulisan ini Pak. Saya jadi terinspirasi untuk menyelesaikan tulisan yang senada dan menerbitkannya di blog saya http://mfadhillah.net/2014/02/18/ingin-menciptakan-atau-hanya-menikmati/. Terima kasih banyak
Terima kasih 🙂
Pak Andi, sudah pernah baca berita di link ini?
http://news.detik.com/read/2014/02/20/132632/2503387/10/jangan-coba-coba-buang-sampah-di-sini-nyawa-taruhannya
Tegurannya malah jauh lebih ekstrim ya Pak 😀
Salut sama keberanian Pak Andi dan Pak Taufik Sutanto.
Suka saya tulisan tulisannya. Saya juga sering merasa ‘jijik’ lihat orang buang puntung rokok atau apapun, bahkan ada yang ngeludah dari mobil pribadi, yg biasa maupun mewah…bisa beli mobil, tp gak bisa mendidik dirinya sendiri untuk hal ya g kecil dan sederhana tetapi bermakna.
Mari Kita selalu belajar …
wew,keren pak Andi..
Kalo di fasilitas umum mungkin perlu dibuat peringatan untuk tdk buang sampah ato menyediakan tempat sampah. Karena ada tipe masyarakat harus dibilangin baru ngerti 🙂
Pak, saya salut atas tindakan anda dan juga kecepatan anda berpikir untuk mengambil sebuah keputusan. Sekilas memang apa yang anda lakukan terlihat nekat dan mungkin juga lebay atau sok suci, tapi saya pun sependapat dengan alasan anda dan akhirnya juga mendukung apa yang anda lakukan.
Ketika saya nanti dihadapkan pada kejadian serupa, saya belum tentu bisa berbuat seperti anda, tapi setidaknya kejadian ini menginspirasi saya untuk setidaknya tidak melakukan apa yang dilakukan perempuan itu karena bisa saja tiba-tiba anda muncul di hadapan saya 😀
sukama 🙂 Hati2 buang sampah sembarangan ya … 😀
Benar sekali, Pak 🙂 Saya sangat mendukung apa yang anda lakukan. Saya bahkan pernah menegur seorang ibu yang dengan santainya membuang sampah yg ada di dalam tasnya ke pojok lantai angkot, bahkan kemudian ibu tersebut menyuruh 2 anaknya membuang bungkus makanan di pojok angkot itu juga 😦 Memang pada saat itu beliau tampak kesal, namun setelah sempat agak raguragu, beliau menyuruh si anak mengumpulkan sampah yg mereka buang di tas kresek. Namun setelah itu justru ada seorang ibu lainnya menegur saya, harusnya dibiarkan saja, mbak, kan ibu itu lebih tua dari kamu, harusny lebih sopan 😦 Mungkin yang ibu itu lakukan sama seperti orangtuanya mendidiknya dulu ya 😦 Di Commuter Line juga sangat sering saya melihat kejadian ini 😦 Terkadang heran juga kenapa masih sangat banyak orang yang membuang sampah sembarangan dan berpikir bagaimana menguabh kebiasaan itu 😦
Setuju mas, saya suka dengan tulisan mas yang menghadirkan liputan mengenai kehidupan sekitar. Saya akui masnya mantap, mau mengingatkan wanita tersebut secara langsung. Kalau saya di posisi mas, mungkin saya hanya akan memandangnya tidak semestinya dan tidak menegurnya. Karena masih dilanda malu. Hem harus selalu belajar
Terima kasih. Saya juga tidak selalu bisa begitu. Mencoba sambil melihat situasi 🙂
hihi lucu bgt mas wktu crita berpandang2an …tp btw mgkin mas andi naik kreta bogor jkt ga pas jam sibuk ya maKanya terasa nyaman…kalau pas jam kerja mah banyak yg pingsan itu didalem mas…
hehe.. Ya waktu itu ga rame meskipun saya duga itu sudah cukup penuh 🙂
membuang tisu mungkin dianggap hal kecil dan sepele utk seseorang, tapi klo semua orng menganggap hal itu juga sepele. maka dapat dibayangkan banyaknya org yg buang tisu di kereta dengan sadar, pasti lah membuat pandangan tdk enak.sikap bli mmg mantap, krna tidak bnyk org yg berani melakukan dan merasa berkepntingan menjaga kebersihan di fasilitas umum selain petugas. tulisannya menginspirasi…..salam