
Subuh-subuh dia sudah harus bangun. Meskipun tidak salat, dia harus menyiapkan segala sesuatunya untuk kedua anak lelakinya yang masih bocah. Harus disediakannya makan dan minum untuk sarapan mereka. Di rumah mereka hanya ada empat orang. Pekerjaan lelaki itu membuatnya tidak mampu membayar pembantu. Dia dan istrinya harus mengerjakan semuanya sendiri.
Selepas mencuci piring dan gelas yang kotor, dia harus mengangkat kantong sampah dan membawanya ke tempat penampungan di dekat rumahnya yang sepi dan dingin. Sementara itu istrinya menyiapkan bekal untuk makan siangnya nanti. Kedua anak-anak itu akan diantar ke sekolah dan tempat penitipan anak karena istrinyapun harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Lelaki itu tinggal di sebuah rumah yang baru dibelinya tiga tahun lalu. Tentu saja dengan mengangsur, gajinya tidak cukup untuk membeli rumah tunai. Sejak tiga tahun lalu, dia harus sisihkan gajinya untuk membayar utang yang belum akan lunas sebelum 20-30 tahun ke depan. Begitu lama, dia hrus membayarnya sedikit demi sedikit agar anak-anaknya bisa bertumbuh tanpa ganguan ekonomi yang berarti. Hidup lelaki itu sederhana.
Selepas mandi dan berkemas, dia mengayuh sepedanya berbelas kilometer. Dia tidak mengendarai motor atau mobil ke tempat kerja. Jika hujan mendera, dia harus bungkus dirinya dengan jas hujan. Tak ayal, seringkali dia basah kuyup dan harus mandi lagi sesampainya di tempat kerja. Di tempat itu, sudah ada orang yang menunggunya. Lelaki itu memiliki tugas berbagi kepada orang-orang itu. Di sela berbagi, dia harus produktif menghasilkan karya yang tidak saja diakui tempat kerjanya tetapi lingkungan yang lebih besar. Jika saja dia tidak berhasil karya nyata yang diakui, maka posisinya terancam. Dalam waktu singkat dia bisa saja tidak dibolehkan bekerja di sana lagi.
Siang hari dia akan istirahat sejenak untuk makan siang. Disantapnya bekal yang disiapkan istrinya, setangkup roti sederhana berisi sedikit ikan dan sayur di dalamnya. Dengan segelas teh, dia bereskan makan siang itu sebelum kembali ke tempat kerjanya. Dia akan tenggelam berjam-jam menekuni tugas hingga senja menjelang.
Menjelang jam lima sore, dia kemasi perkakasnya dan melaju dengan sepedanya menuju rumah mendapati istri dan anaknya. Di sana kewajiban membersihkan rumah sudah menunggu atau menyuapi anak keduanya yang masih balita. Mungkin ada jemuran yang harus diambil, rumah yang harus dibereskan setelah dibuat berantakan oleh dua bocah laki-laki yang belum paham akan hidup. Atau ada kamar mandi yang centang perenang dan segera dirapikan. Dia mengerjakannya.
Lelaki itu seorang professor di Australia. Gaya hidup yang dijalaninya tidaklah unik. Dia adalah akademisi kebanyakan di negeri kangguru ini. Dialah lelaki yang ketika memaparkan idenya di depan parlemen negara adidaya membuat orang berdecak kagum. Dialah lelaki yang namanya bahkan disebut-sebut oleh hakim dunia tentang sengketa kedaulatan bangsa-bangsa. Dialah lelaki yang ketika saya sebut namanya di forum-forum internasional orang mengangkat tangan tanda hormat. Dialah yang namanya berjejal di Google Scholar. Dialah yang tulisannya diacu oleh penggiat ilmu tua dan muda di bidangnya.
Dia masih bersepeda. Dia masih mencuci dan menyetrika bajunya sendiri. Dia sikat lantai kamar mandinya sendiri dan bersihkan basin dapurnya yang penuh sisa makanan. Dia masih ganti popok anaknya tanpa campur tangan pembantu. Dipotret dari sebuah sisi, kehidupannya ‘mengenaskan’ dan jauh lebih sederhana dari kehidupan dosen muda di sebuah negeri yang bahkan sudah tidak pernah menyetrika bajunya sendiri. Yang menarik, lelaki sederhana itu bahkan tidak merasa apa yang dilakukannya itu perlu dikeluhkan. Maka dia bahagia dan terus berkarya.
Ya Allah, kisah yang luar biasa. Saya yang masih menjadi mahasiswa yang msh belum punya apa-apa saja sering kali malas.
Tidak terbayangkan ada manusia yang dengan ketinggiannya masih hikmat membumi.
Syukurlah, mari menuai manfaat 🙂
Nice story, as usual ^_^
Makasih Vero 🙂
Menggugah bli, jadi inget nasib para pejuang tanpa tanda jasa di negeri kita. Penghargaan belum diberikan secara pantas kepada mereka.
Semoga tulisan ini bisa menggugah para pemegang kebijakan untuk semakin memperhatikan nasib para akademisi di negeri kita.
Amien..
Terima kasih bli Andi..
Semoga 🙂 terima kasih Tendy
Sebuah kisah yang sangat menginspirasi. Saya kini semakin menyadari bahwa semua hal yang dilakukan dengan penuh semangat dan ikhlas pada hasil akan membuat kita lebih bahagia.
Luarbiasa Mas Andi…penuturan Mas Andipun juga sangat mengalir. Pingin rasanya baca lebih lanjut tentang Sang Professor?
amazing sekali cerita ini