
Belakangan ini saya sering belajar di sebuah ruangan di UNSW sejak tinggal di Sydney. Di ruangan itu ada dapur tempat para mahasiswa makan siang atau sekedar istirahat menikmati teh. Di dapur itu ada lap/tisu kertas gulung yang menempel di tembok. Tisu itu kadang saya ambil untuk membersihkan meja dari tetesan air, melapisi tangan saat memegang gelas berisi kopi panas atau untuk membersihkan piring dari remah-remah makanan. Setiap kali selesai mencuci perabotan, saya juga memanfaatkan tisu itu untuk membersihkan tangan.
Berbeda dengan tisu toilet yang mudah dipotong karena sudah ditentukan penggalan-penggalan untuk memotong, tisu gulung itu harus dipotong dengan pemotong bergerigi yang sudah ada pada wadahnya. Tisu itu juga kuat, jauh lebih kuat dari tisu toilet sehingga harus ditarik dengan tenaga secukupnya agar terpotong. Singkat kata, memotong tisu gulung itu perlu sedikit keterampilan dan juga tenaga.
Seringkali, ketika selesai mencuci tangan dan tangan masih basah sempurna, saya meraih tisu itu. Jika saya menarik bagian ujungnya maka lebih sering tisu itu robek dengan mudah. Alih-alih memanjang seperti yang saya inginkan saat menariknya, ujungnya justru rusak binasa. Mengapa tisu yang kuat itu robek begitu mudahnya? Sebabnya tiada lain adalah air. Air itu menjinakkan tisu yang tadi begitu kuat. Dia bahkan bisa lumer meleleh dan robek tanpa menunggu lama.
Air memang digdaya. Dia bisa menerobos celah-celah yang begitu kecil di lembaran tisu itu dan membuatnya lemah dari dalam. Air juga sangat pandai menyesuaikan diri karena bentuknya selalu mengikuti wadah tempatnya berada. Jika sering memerhatikan sungai, air tidak pernah terhenti karena bebatuan atau karang besar. Dia tidak menentang karang tetapi masuk di celah-celah yang ada atau di sela-sela bebatuan. Namun jangan lupa, jika bersatu padu, air bisa menghanyutkan bukit besar yang dicerai-beraikannya menjadi serpihan-serpihan kecil.
Air juga menjadi teladan bagi ketekunan. Orang yang lahir dan besar di desa seperti saya akan sering melihat bahwa tetesan air yang kecil namun konsisten dalam waktu lama akan melubangi karang atau batu di bawahnya. Di tepi-tepi sungai yang terjal atau di goa-goa yang perawan, hal ini mudah ditemukan. Air yang menetes ini tidak memamerkan kekuatan tetapi konsistensi dan ketekunan tiada tara. Bahwa tetesan air yang lemahpun bisa melubangi batu yang perkasa. Syaratnya hanya satu: ketekunan.
Mungkin kisanak ingin menjadi air. Air yang menjinakkan tisu yang angkuh atau menembus celah-celah kecil pada batu karang tanpa merusaknya atau air yang dengan mudah menjadi seperti bejana, gelas atau leher angsa. Atau mungkin kisanak ingin menjadi air yang menetes, melubangi bebatuan tanpa membuatnya sadar dan menderita. Jika bisa memilih saat reinkarnasi nanti, saya ingin sekali menjadi air.
Menurut hemat saya, sulit kalau harus menentukan pilihan untuk menjadi air seperti apa pak..,sejatinya air harus bisa untuk semua pilihan yg pak Andi tawarkan.. 🙂
Mungkin demikian. Hanya kadang harus memilih sifat yg tepat di situasi tertentu 🙂
Filsafat air yang baik sekali Bli 🙂