
Sahabat saya, Sony Kusumasondjaja, tiba-tiba menyapa saya di twitter ketika saya berada di tanah air untuk beberapa lama bulan Maret lalu. Sony, katanya, akan mengirimkan sesuatu untuk saya. Sesuatu itu ternyata adalah sebuah buku berjudul River’s Note. Dari judulnya, sekilas terdengar seperti sebuah novel roman. Itu juga yang diduga oleh seorang kawan saya di Sydney ketika melihat novel itu tergeletak di meja.
River’s Note tidak bergenre roman. Mungkin tidak bisa juga dikatakan sebuah novel. Seperti namanya, River’s Note adalah kumpulan catatan. Ini adalah catatan seorang bapak kepada anaknya. River adalah nama anak yang dibicarakan atau menjadi penerima pesan itu. Itulah rupanya yang menjadi alasan pemilihan judul itu. River’s note adalah sebuah buku non fiksi, tulisan seorang ayah atau calon ayah yang merupakan pesan cinta kepada anak atau calon anaknya.
Saya menerima buku itu di rumah di Jogja, disaksikan oleh Lita, anak saya. Rasa ingin tahunya tentu saja tidak terbendung. Lita membuka buku itu bahkan sebelum saya. “Lita pernah membaca buku ini Yah” katanya, “tapi belum selesai” sambil mencari-cari halaman terakhir yang dia baca. Lita baru kelas dua SD dan tidak memiliki kegemaran membaca, saya tahu itu. Bisa jadi yang dikatakannya benar, tapi saya tidak mendapat jawaban yang memuaskan ketika bertanya tentang apa buku itu. Dia sibuk membolak balik halaman buku lalu menyampaikan informasi yang berubah-ubah terkait halaman terakhir yang dibacanya. Sungguh tidak meyakinkan.
Malam itu saya meninggalkan tanah air menuju Sydney. Siang tadinya saya berpisah dengan Lita di Jogja setelah beberapa hari sebelumnya sempat bersama. Kebersamaan yang hanya sebentar. Lita menunjukkan rasa sedih ketika saya pergi tetapi tidak mendalam. Saya bahkan tidak mengajaknya ikut ke bandara karena perpisahan di bandara biasanya lebih dramatis. Tidak jarang air mata menetes saat berpelukan di bandara meskipun sudah berusaha ditahan-tahan. Hal ini sudah berlangsung agak lama, Lita harus kami tinggal di Jogja dan kini saya dan Asti, isteri saya, tinggal di Australia.
Saya ceritakan situasi saya untuk memberi gambaran suasana hati saya ketika saya mulai membaca River’s Note dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Perjalanan selama sekitar tujuh jam itu saya lewati dengan suasana agak lain. Ada nuansa sedih dan haru yang menyelimuti perasaan. Kata-kata yang ditulis oleh Fauzan Mukrim dalam River’s Note seperti memiliki kekuatan sihir yang kuat. Sangat tepat menggambarkan perasaan seorang bapak kepada anaknya, mirip seperti apa yang saya rasakan malam itu. Saya yang baru saja meninggalkan anak saya di Jogja untuk berjuang belajar di negeri kangguru seperti bercermin pada buku yang saya baca. Kalimat demi kalimat yang bertengger di tiap halaman saya lahap dengan penjiwaan yang lebih dalam dari biasanya.
Buku itu seperti membahasakan ulang apa yang saya rasakan. Banyak hal yang ditulis Ochan, begitu Fauzan Mukrim, akrab dipanggil, menyampaikan dengan apik apa yang tidak selalu berhasil saya katakan. Buku itu berhasil membuat saya melewati Jakarta-Sydney dengan haru biru yang menenggelamkan. Saya harus akui, saya adalah lelaki yang tidak mengharamkan air mata. Maka saya biarkan air mata metes sekali dua kali di dalam pesawat ketika kisah-kisah yang terbaca begitu menyentuh.
Gaya bertutur Ochan memukau saya. Dia dengan cerdas menemukan cara untuk menasihati para bapak dan ibu tanpa terdengar menggurui. Gaya penulisan yang dibuat seperti menulis surat kepada anaknya membuat pembaca tidak merasa didikte atau diajari. Ochan juga dengan fasih menetralkan suasana, tiap kali dia menulis sesuatu yang rawan diinterpretasi sebagai ekspresi menggurui atau tidak tahu. Dia misalnya menulis, betapa sesungguhnya dia tidak layak menilai seorang ulama karena di sendiri berpengetahuan agama yang dangkal dan minim. Hal ini dia katakan sesaat setelah mencoba menilai seorang pengkhotbah di suatu masjid.
Tulisan Ochan sesungguhnya kaya dengan materi-materi berat tentang jurnalisme, nasionalisme, tata laksana bernegara, agama, kesetiakawanan, tempat, tokoh, presiden dan sebagainya. Hanya saja, sekali lagi, karena ditulis seperti surat untuk anak kecil, materi itu jadi terdengar ringan. Ochan juga mampu mengolok-olok dirinya sendiri di buku itu sehingga membuat kehadirannya jadi tidak mengancam. Akibatnya, kebaikan yang hendak dia kampanyekan tidak terdengar sok tahu dan menggurui.
Cerita Ochan tentang kucing di restoran A&W yang ditemuinya begitu menyentuh. Saya membayangkan Lita, anak saya, akan mencintai cerita itu karena menunjukkan cinta umat manusia pada binatang. Ochan juga berani menelanjangi dirinya dengan mengungkap ketidakhebatannya dalam hal ekonomi yang justru menjadikan ceritanya menjadi kuat dan berjiwa. Meski tidak mengagungkan materi dalam setiap penggal tulisannya, Ochan juga dengan lugas mengatakan betapa dia berusaha keras dan cukup percaya diri bahwa dia bisa menjamin keluarganya secara ekonomi.
Lembar demi lembar buku River’s Note saya nikmati. Meskipun memerlukan waktu yang agak lama menyelesaikan karena berbagai kesibukan, buku itu tidak pernah membuat saya bosan. Naluri seorang wartawan membuat buku itu kaya informasi. Meski demikian, gaya bertutur yang begitu personal membuatnya terasa dekat. Ochan telah menyelamatkan tulisannya yang sesungguhnya kaya informasi itu sehingga tidak terkesan membosankan dan seperti laporan investigasi. Keberaniannya menyampaikan perasaannya secara out loud rupanya salah satu kuncinya.
Membaca River’s Note membuat saya mengingat dengan jernih posisi saya sebagai seorang ayah sekaligus anak. Demikianlah Ochan yang tidak pernah lupa menceritakan ayahnya ketika beridealisasi tentang figur seorang ayah yang dia ingin capai. Membaca River’s Note akan mengingatkan kita pada sebuah cita-cita luhur menjadi seorang ayah yang baik. Tidak hanya itu, dia juga mengingatkan bahwa sehebat-hebatnya seorang ayah, dia tetaplah juga seorang anak. Bahwa belajar menjadi ayah sesungguhnya adalah kesadaran menjadi seorang anak yang baik. Diam-diam, saya berharap Lita benar-benar telah membaca River’s Note dari perpustakaan sekolahnya.
bagus bli
Makasih mbak Enny
jadi pengen baca 🙂 thanks share-nya !
Bagus kok 🙂
wah, sepertinya seru dan cocok buat saya yang cengeng,hehe..