Pagi itu saya berangkat ke kampus di University of Wollongong dengan mengendari bus. Sebelumnya saya mampir di ALDI, sebuah tempat belanja, untuk membeli beberapa biji buah pir. Saya terbiasa ngemil kelau sedang bekerja.
Karena sudah jelas apa yang dicari, dalam waktu singkat saya sudah menjinjing satu kotak buah pir dan siap antri di depan kasir. Di depan saya ada sekitar empat orang yang sedang antri dan satu orang sedang dilayani. Tepat di depan saya ada seorang ibu-ibu yang sudah cukup berumur. Saya tersenyum ketika dia menoleh ke belakang. Diapun tersenyum lalu memerhatikan barang belanjaan saya yang hanya satu bungkus. Sementara itu, belanjaannya sangat banyak, demikian pula orang-orang yang antri di depannya. Semuanya berbelanja dengan troli besar dengan belanjaan beragam.
Secara spontan perempuan itu menawarkan saya untuk mendahuluinya. “I don’t mind”, katanya sambil tersenyum. Saya tersenyum berterima kasih namun masih ragu-ragu. Keraguan itu muncul karena izin mendahului itu datang hanya dari satu orang. Masih ada setidaknya tiga orang lagi di depan perempuan itu. Saya paham usulan perempuan itu. Dia melihat barang belanjaan saya yang sangat sedikit sehingga tidak akan terlalu menghambat jika diberi kesempatan duluan. Sementara itu, bagi saya, kebaikan itu akan sangat berarti. Kebaikan yang sangat menyentuh.
Saya memutuskan untuk menunggu saja karena ragu apakah orang-orang di depan saya akan setuju jika saya minta dilayani oleh kasir lebih dulu. Selain itu, sangat amat wajar jika mereka keberatan karena, seperti kata Aming di film Janji Joni, “konsep mengantri itu diciptakan ada poinnya lo, supaya yang datang duluan bisa dapat [tiket] lebih awal”. Sayapun diam saja. Sementara perempuan di depan saya nampak kelisah. “They won’t mind” katanya meyakinkan bahwa orang-orang di depan saya tidak akan keberatan. Saya tersenyum saja sambil menjawab “I will be happy if they don’t mind” kata saya tetapi tetap dengan wajah ragu.
Tiba-tiba perempuan ini bergerak maju dan menyapa beberapa orang di depannya satu-satu. Rupanya dia melobi orang-orang itu untuk membiarkan saya dilayani lebih dulu. Semua orang di depannya tidak keberatan. Mereka malah tersenyum dan membiarkan saya dilayani lebih dulu. Saya berterima kasih berkali-kali. Tidak mudah menggambarkan kebaikan yang baru saja saya terima. Secara materi mungkin tidak bernilai tinggi tetapi kebaikan yang menyentuh itu mengingatkan saya akan nilai-nilai kebajikan klise yang dipelajari di SD dulu. Karena pengalaman hidup, kadang saya merasa nilai-nilai klise itu hanya ada di buku dan kitab suci namun tidak mewarnai kehidupan nyata. Pengalaman kecil pagi itu menegaskan bahwa kebenaran ajaran-ajaran moral yang saya terima dari masa lalu.
Nilai-nilai agama dipancarkan dengan cantik oleh orang-orang asing yang kemungkinan besar tidak hafal Trisandya. Dan ternyata kebajikan tidak selalu diajarkan di rumah-rumah Tuhan. Di sebuah pusat belanja yang dipenuhi orang-orang yang mungkin tidak pernah ke Pura pun kita bisa belajar makna sloka-sloka Bhagawadgita tentang kebajikan hidup. Meminjam istilah Bung Ebiet, “tinggal bagaimana kita menghayati”.
Pengalaman ini sangat berharga Bli, semoga kita bisa menghayatinya, seperti yg Bli bilang. Makasi ceritanya yach 🙂
Suksma DeHery 🙂
Siap Bli hehe 🙂
bli saya jadi malu kejadian barusan, melihat cerita ini, banyak orang yang mau mengalah tdk hanya memikirkan kepentingannya sendiri tapi kepentingan orang lain, sebuah pelajaran kebaikan hari ini…thank’s for sharing… 🙂
sama2 mbak Enny
Subhanallah…
cool…:) aku jadi inget dulu pas naik tram di Freiburg, aku kasih tempat duduk sama seorang nenek-nenek dan menurutku itu wajar karena orang tua, perempuan hamil, diffable dan anak-anak harus diutamakan duduk…si nenek duduk sambil mengucapkan terima kasih dan tetap mengucapkan terima kasih berkali-kali saat kami sudah sama-sama turun dari tram, padahal menurutku apa yang aku lakukan biasa saja, hehehe
Begitulah, istimewa atau tidaknya suatu tindakan tergantung yg menerima ya 🙂