Koreksi terakhir: Selasa, 27 Nov 12 @9.36 WIB
Silakan langsung lompat ke inti diskusi jika tidak ingin membaca rangkaian cerita sebelum diskusi.

Saya mendapat kesempatan berharga, diminta menjadi moderator sebuah diskusi istimewa dengan Profesor Mahfud MD. Nadia, ketua PPIA NSW tiba-tiba menghubungi saya lewat email menanyakan kesediaan untuk acara tersebut. Tentu saja tidak membutuhkan waktu lebih dari semenit untuk mengatakan ‘ya’, tawaran itupun saya terima dengan senang hati, meski sedikit grogi.
Stasiun North Wollongong, 24 November 2012 @ 7.40 pagi
Saya telah berdiri di pinggir rel kereta mengenaan batik lengan pendek. Hari ini adalah hari yang ditunggu, saya akan meluncur ke Sydney melakukan tugas istimewa mengantarkan diskusi bersama tokoh terkemuka Indonesia: Mahfud MD di Konsulat Jenderal RI di Sydney. Diskusi memang belum akan dimulai sebelum jam 11.00 tetapi jarak Wollongong ke Sydney ditempuh setidaknya 1,5 jam dengan kereta dan perjalanan dari Stasiun Central ke KJRI memakan waktu minimal setengah jam. Sementara itu, frekuensi jadwal kereta dari Wollongong ke Sydney adalah sejam sekali. Saya tidak boleh terlambat.
Jam 7.50, kereta sudah membawa saya menuju Sydney. Di jalan saya membaca beberapa makalah yang ditulis Pak Mahfud, membaca kembali website pribadi beliau dan dengan setia mengikuti celoteh warga Twitter tentang Pak Mahfud. Ini adalah kesempatan pertama saya bertemu Pak Mahfud, saya harus tampil prima. Demikian saya berpesan pada diri sendiri.
Singkat cerita, jam setengah sebelas lebih sedikit saya sudah berada di KJRI. Pak Mahfud belum datang tetapi beberapa peserta diskusi sudah menunggu dengan setia. Saya pun bergabung dan bersenda gurau dengan mereka. Obrolannya tentu saja seputar hal nggak penting seperti proposal, tesis, submission. Semuanya tidak menarik, maka tidak akan saya ceritakan di sini 🙂
Beberapa menit kemudian muncullah orang yang ditunggu. Pak Mahfud memasuki KJRI yang ternyata langsung dari Bandara Sydney. Pagi itu, beliau baru tiba dari Jakarta setelah menempuh sekitar 7 jam perjalanan. Dengan perbedaan waktu empat jam, rasanya wajar jika beliau sedikit jetlag dan kurang fit. Meski demikian, senyum khasnya tidak menunjukkan hal itu. Dengan sumringah beliau menyalami saya dan beberapa teman yang menunggu. Itulah kali pertama saya melihat dan bersalaman dengan Pak Mahfud secara langsung. Gayanya sangat bersahaja, tidak ada jarak sama sekali sekaligus tidak ada basa-basi yang berlebihan dan dibuat-buat. Biasa saja, apa adanya. Saya mulai merasakan energi positif dan merasa tidak akan terlalu sulit menjadi moderator untuk diskusi beliau.
Sekitar Jam 11.30 acara utama dimulai. Pak Konjen memberi sambutan singkat setelah dibuka oleh pembawa acara. Rupanya beliau tahu persis, hadirin sudah tidak sabar mendengarkan pemaparan Pak Mahfud MD, makanya beliau tidak berpanjang-panjang. Sementara itu, hadirin yang terdiri dari staff Konjen, pelajar dan pekerja Indonesia, serta berbagai perwakilan Indonesia di Sydney, sudah nampak tidak sabar menyimak apa yang akan dikemukakan oleh Pak Mahfud pagi menjelang siang itu.
Begitu pembawa acara memperkenalkan saya sebagai moderator, saya langsung mengambil posisi. Saya tahu, peserta tidak ada di sana untuk mendengarkan saya dan tidak juga perlu dikuliahi tentang siapa sesungguhnya Pak Mahfud. Meski demikian, sebagai moderator saya tentu harus berbasa-basi sejenak. Beberapa lelucon dan fakta-fakta kecil tentang Pak Mahfud yang sering luput dari bidikan media massa coba saya hadirkan. Rupanya hal-hal ringan itu bisa meningkatkan gairah para peserta yang semakin lama semakin hangat dan antusias.
Pak Mahfud segera menuju mimbar setelah saya persilakan. Menariknya, Pak Mahfud masih sempat melayani guyonan saya yang berkelakar soal nama saya yang berupa simple past tense. Beliaupun melafalkan nama saya “ai meid andi arsana” yang disambut gelak hadirin. Pembawaannya yang memang tenang, sederhana dan apa adanya, membuat suasana kemudian hening. Pak Mahfud memulai dengan menjelaskan bahwa kedatangan beliau adalah undangan dari Australian National University (ANU) untuk berbicara seputar demokrasi, toleransi dan pluralisme. Berbeda dengan kunjungan pejabat negara lainnya yang kadang harus menghabiskan uang rakyat, Pak Mahfud didanai oleh Australia karena ingin didengarkan pandangannya.
Beliau menegasan bahwa peserta diskusi boleh bertanya apa saja kepada beliau dan tentu saja peserta jadi kian semangat. Selajutnya Pak Mahfud menegaskan bahwa dengan kondisi teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini, negara di dunia, termasuk Indonesia, adalah sebuah tempat terbuka. Tidak ada yang bisa disembunyikan seratus persen dari publik. Itulah sebabnya beliau memilih keterbukaan, termasuk bertanya apa saja dan akan beliau jawab apa adanya. Dalam beberapa hal, ini senada dengan hasil ngobrol-ngobrol saya via email dengan Dr. Chatib Basri, ketua BKPM pengganti Gita Wiryawan. Beliau mengatakan kita tidak bisa berbohong kepada calon investor dengan mengatakan hal yang berbunga-bunga tentang Indonesia karena siapapun pasti bisa menemukan kebenaran sendiri. Lebih fatal akibatnya jika kita berbohong lalu calon investor justru menemukan kenyataan bertolak belakang. Saya kira demikian pula maksud Pak Mahfud soal keterbukaan politik. Dalam hal ini, beliau menganggap sebagian besar rakyat sudah bisa mencari kebenaran sendiri sehingga penguasa tidak bisa berbohong.
Pak Mahfud menyoroti beberapa hal memprihatinkan di Indonesia. Intinya beliau meyakini satu hal bahwa pemerintahan demokrasi di Indonesia memang dari rakyat tetapi belum oleh dan belum untuk rakyat. Beliau menegaskan, rakyat memang memberikan mandatnya melalui pemilu tetapi itu adalah porsi kecil dari keseluruhan demokrasi. Selebihnya semua terjadi di tangan penguasa dan orang-orang yang diberi mandat itu. Beliau mengibaratkan, rakyat hanya berperan beberapa menit ketika melakukan pencoblosan, itupun untuk memilih calon yang tidak dikenalnya dengan baik. Selain itu, seringkali rakyat bahkan tidak memiliki banyak pilihan sehingga kesempatan untuk mendapatkan wakil yang representative menjadi sangat kecil. Sementara itu, proses penentuan dan pelaksanaan kebijakan sepenuhnya dilakukan oleh pejabat negara yang sering kali tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang memilihnya. Ini adalah potret kelabu demokrasi Indonesia menurut seorang Mahfud MD.
Meski secara gamblang mengungkap kelemahan Indonesia, Pak Mahfud tidak mau berlama-lama mengajak peserta diskusi larut dalam keputusasaan. Meski masih ada kekurangannya, mari kita menatap masa depan Indonesia dengan optimis, katanya. Lupakan sejenak diskusi yang tidak berujung tentang demokrasi oligarki atau bahkan poligarki dengan elit politik yang tidak peduli dengan rakyat. “Kita, Bangsa Indonesia, bisa menjadi besar lagi” kata Pak Mahfud optimis. beliau menegaskan kata “lagi” karena sejatinya Indonesia memang pernah menjadi bangsa yang besar. “Sebut saja pada zaman Soekarno”, katanya dengan tegas. Beliau menceritakan pengalamannya berkunjung ke berbagai negara menguatkan pemahaman itu. Saat mewakili ASEAN berbicara di Maroko, presiden asosiasi MK terkait memperkenalkan dirinya dari Indonesia yang adalah bangsa besar. Indonesia, menurut presiden tersebut, adalah negara yang menginspirasi bangsa-bangsa Asia Afrika untuk meraih kemerdekaan. Kunjungan beliau ke Aljazair dan Mesir juga sama. Intinya berbagai bangsa di dunia pernah merasakan kehadiran Indonesia sebagai bangsa yang menginspirasi mereka untuk bangkit dan maju.
Cerita Pak Mahfud ini mengingatkan saya pada diskusi lima tahun silam dengan beberapa kawan dari Afrika di Gedung PBB New York. Kawan saya, seorang diplomat dari Cameroon juga dengan fasih menyebut nama Soekarno dan konferensi Asia Afrika yang memang mereka rasakan sebagai tonggak sejarah bagi kebangkitan bangsa-bangsa Afrika. Pak Mahfud memang tidak salah dan itu tentu bukan cerita baru bahwa Indonesia pernah menonjol warnanya dalam peta percaturan politik bangsa-bangsa.
Mendukung optimismenya, Pak Mahfud menambahan bahwa beliau tidak mengatakan itu tanpa alasan. Ada beberapa modal utama yang menurut beliau sudah dimiliki Indonesia untuk kembali menjadi bangsa yang besar. Pertama, Indonesia memiliki ideologi yang kuat yaitu Pancasila. Meskipun Pancasila memang tidak diterima oleh semua kalangan di Indonesia, Indonesia terbukti kuat bertahan dari rongrongan. Ini menunjukkan bahwa Pancasila masih yang terbaik dari semua ideologi yang pernah ditawarkan. Beliau kemudian mengajak perserta diskusi untuk mengingat sejarah perpartaian Indonesia sejak reformasi yang muncul seperti jamur di musim penghujan. Dengan jelas ada beberapa partai yang berniat mengganti dasar negara dengan ideologi baru yang bukan Pancasila dan ternyata tawaran semacam itu tidak laku di Indonesia. Yang menang tetaplah partai dengan ideologi Pancasila, meskipun dalam pemilu yang sedekimian demokratis seperti yang terjadi tahun 1999, misalnya. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya Indonesia adalah bangsa yang pro dengan keberagaman seperti yang dijamin oleh Pancasila.
Meski Optimis, Pak Mahfud tentu saja bersikap realistis dan mengakui bahwa memang terjadi letupan-letupan yang meresahkan. Meski demikian, menurut beliau, letupan-letupan itu sesungguhnya relative kecil dan itu tidak mencerminkan kondisi Bangsa Indonesia seluruhnya. Geliat masyarakat yang menunjukkan ketidakpuasan bukanlah merupakan perlawanan terhadap ideologi bangsa melainan sebagai konsekuensi dari manajemen pemerintahan yang masih sarat kelemahan. Ini adalah persoalan manajemen pemerintahan sehari-hari yang tidak berpihak pada kepentingan pragmatis rakyat. Pengelolaan sumberdaya alam adalah salah satu contoh yang sering menjadi pemicu letupan karena tidak berpihak pada kepentingan masyarakat banyak.
Saya pribadi memahami ini bahwa pemicu kegaduhan di Indonesia sesungguhnya bukanlah perlawanan terhadap ideologi tetapi perihal yang lebih pragmatis. Hanya saja memang ada pihak yang bisa membuatnya seakan-akan menjadi persoalan fundamental seperti misalnya keyakinan dan ideolog. Muara dari semua itu adalah kegagalan penguasa dalam menjalankan manajemen pemerintahan sehari-hari.
Modal kedua yang diyakini Pak Mahfud adalah perekonomian Indonesia yang pertumbuhannya relative stabil. Indonesia kini menduduki urutan kedua di Asia setelah China dalam hal pertumbungan ekonomi dan menempati posisi ke-16 di dunia. Pak Mahfud juga mengutip hasil Survei lembaga terkemuka McKinsey bahwa tahun 2030 nanti ekonomi Indonesia masuk dalam kelompok 7 besar dunia. Semua itu adalah indikator yang ditampilkan oleh pihak independen dari luar Indonesia. Ini merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri meskipun tentu selalu ada debat dari prediksi atau analisis semacam itu. Setidaknya itu harus dipahami sebagai suatu fenomena yang memang bisa jadi benar atau bisa terjadi jika memang Indonesia seris mencapainya. Lembaga internasional tentu juga tidak mau mempertaruhkan reputasinya dengan menyampaikan prediksi asal-asalan. Perekonomian yang kuat dan bertumbuh stabil tentu sangat masuk akal dijadikan alasan bahwa Indonesia memang bisa menjadi besar lagi atau bahkan lebih besar dari yang pernah dicapainya.
Modal ketiga menurut Pak Mahfud adalah modal kehidupan sosial yang kuat. Bangsa Indonesia sesungguhnya tidak terkotak-kotak ketika menghadapi sesuatu yang krusial dalam kehidupan bernegara. Bencana di Aceh misalnya adalah salah satu contoh yang menunjukkan munculnya partisipasi dari berbagai kalangan untuk membantu tanpa membedakan etnis dan agama. Gempa di Jogja tahun 2006 juga serupa. Kebersamaan dan kekompakan ini mengejawantah dalam kehidupan politik. Tahun 1999 misalnya, Indonesia dipuji karena berhasil menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil dan sedemikian demokratis dengan puluhan partai peserta. Awalnya banyak orang khawatir bahwa bisa terjadi kekacauan setelah pemilu usai karena bangsa akan terpecah-pecah secara politik tetapi hal itu tidak terjadi. Charter Center yang menjadi pemantau pemilu independen ketika itu bahkan mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa Indonesia memang begitu beragam/plural tetapi telah menunjukan kesiapan dalam berdemorasi. Kenyataannya, setelah pemilu ternyata rakyat tidak berseteru. Kalaupun ada hingar bingar, umumnya yang bertikai adalah para elit politik.
Pak Mahfud juga menegaskan bahwa rakyat Indonesia sesungguhnya sangat paham bahwa mereka punya tugas untuk menjaga keutuhan bangsanya. Jikapun ada tindakan anarkis yang dilakukan sebagian kecil masyarakat, itu sesungguhnya bentuk ketidakpuasan dari kinerja pemerintah dan lunturnya kepercayaan. Perihal ini, Pak Mahfud juga sempat menyinggung apa yang terjadi di Lampung beberapa waktu lalu. Memang ada balutan perseteruan isu etnis atau suku di situ tetapi sesungguhnya ada isu pragmatis yang lebih penting. Saya menduga, Pak Mahfud percaya bahwa isu persaingan ekonomi, kesempatan berusaha dan ketimpangan kesejahteraan menjadi faktor yang penting dalam kasus Lampung. Intinya, Pak Mahfud memang mengakui adanya indikasi kegaduhan yang jika dipandang sesaat bisa berbau ideologis tetapi sesunggunya tidaklah demikian dan semua itu terjadi karena kegagalan manajemen pemerintahan sehari-hari.
Mengakhiri pemaparannya, Pak Mahfud menawarkan dua solusi yang bisa jadi sifatnya jangka pendek tetapi bisa dikembangkan. Pertama, perlu dilakukan penataan sistem perekrutan politik menjadi lebih demokratis dalam pengertian sesungguhnya. Saat ini rekrutmen politik, terutama dalam partai, bersifat tertutup sehingga membatasi kesempatan untuk bisa masuk. Akibat buruknya adalah orang yang berkualitas namun tidak memiliki dukungan internal atau modal financial tidak bisa berpartisipasi. Beliau menjelaskan, jika saja rekrutmen politik memang baik dan terbuka maka dimungkinkan muncul kader-kader yang lebih baik. Ditegaskan, bahwa saat ini sistem rekrutmen politik tidak tumbuh dari bawah tetapi terjun dari atas sehingga nepotisme begitu kental. Beliau juga mencontohkan bahwa di tahun 50an kita memiliki tokoh politik yang sedemikian mumpuni dan disegani tidak saja di dalam negeri tetapi juga di dunia internasional. Ini terjadi karena adanya kesempatan terbuka bagi orang-orang terbaik untuk terjun di dunia politik praktis tanpa dibebani secara ekonomi, misalnya.
Tawaran kedua adalah perlunya kepemimpinan yang kuat atau strong leadership. Kepemimpinan yang kuat tidak berarti yang sewenang-wenang tetapi kreatif menerobos kebuntuan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum tetapi memenagkan kepentingan masyarakat. Kepemimpinan kuat juga berarti tidak terseret dan terombang-ambing dalam gelombang koalisi antar partai atau politisi.
Pak Mahfud secara khusus menyatakan di akhir pemaparannya bahwa bangsa ini harus mengakui dengan bijaksana bahwa pemerintahan Presiden SBY ternyata mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik. Ini adalah indikator obyektif yang diakui banyak pihak meskipun tentu tetap ada celah untuk berdiskusi dan meragukan. Banyaknya pengakuan dari dunia luar berupa penghargaan tentu tidak dihasilkan dengan kolusi atau menekan pihak luar. Ini adalah fenomena yang harus dipahami dan disyukuri bangsa Indonesia. Meski demikian, menghargai itu tentu saja tidak berarti membuat kita buta dan tidak kritis. Kritik dari dalam itu tetap perlu untu mengingatkan tetapi semangat untuk menghargai sesuatu yang baik itu harus kita tumbuhkan.
Tepuk tangan riuh hadirin menyambut penggal akhir pemaparan Pak Mahfud dan diskusipun dimulai. Saya persilakan tiga orang untuk bertanya di sesi satu. Ibu Evi, dosen di UTS bertanya tentang hal yang agak teknis yaitu status hukum Universitas Trisakti. Seperti yang dijanjikan Pak Mahfud, peserta boleh bertanya apa saja. Untuk mengaitkan dengan topik diskusi siang itu, Ibu Evi menyinggung perihal kepastian hukum. Dalam pemahaman subyektif saya, di Trisakti ada perseteruan yang tidak kunjung berakhir dan secara tidak langsung itu menjadi salah satu pemicu dirinya untuk hengkang dari Trisakti dan menjadi staf pengajar di Universitas di Australia. Pak Mahfud menjawab pertanyan ini dengan baik dengan menyampaikan pemahaman beliau terhadap kasus itu. Intinya, Trisakti, berdasarkan perkambangan terakhir, akan dijadikan universitas negeri yang bersifat otonom. Intinya telah ada perkembangan yang baik dan penyelesaian secara hukum.
Pertanyaan berikutnya datang dari Pak Jon, salah seorang warga senior di Sydney. Pak Jon mengomentari perihal rendahkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia terutama yang bekerja di luar negeri. Pak Jon mengacu pada kasus TKI yang marak belakangan ini dan berpendapat bahwa segala persoalan itu terjadi karena kurangnya pendidikan. Atas komentar ini Pak Mahfud membenarkan. Beliau bahkan mencontohkan bahwa banyak yang bahkan tidak tahu isi kontrak kerjanya. Di satu sisi, memang masih banyak masyarakat yang tergatung hidupnya dari bekerja di luar negeri, sehingga kondisi pendidikan yang rendah ini memicu banyak persoalan. Persoalan ini juga bisa menyandera kedaulatan negara oleh negara lain. Banyaknya TKW yang menggantungkan hidupnya di Malaysia dan pendidikannya kurang memadai, menurut Pak Mahfud, membuat Indonesia jadi tidak bisa bersikap tegas terhadap Malaysia jika menghadapi persoalan lain yang sesungguhnya tidak terkait dengan TKW tersebut. Oleh karena itulah, pendidikan harus menjadi prioritas dan ini sudah ditegaskan konsititusi dengan mengalokasikan 20 persen ABPN untuk pendidikan. Hal ini harus dilaksanakan dengan konsekuen.
Farida dari Indonesian Community Council menyoroti kepastian dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Bahwa menurutnya, setelah membandingkan dengan Sydney misalnya, kunci tatanan masyarakat adalah pada kepatuhan akan hukum. Menanggapi hal ini Pak Mahfud membenarkan. Tidak saja dalam perilaku keseharian masyarakat, beliau menambahkan perihal kepastian hukum dalam hal investas. Pak Mahfud menceritakan seorang investor kenalannya yang akhirnya tidak jadi berinvestasi di Indonesia karena ketidakpastian biaya investasi. Jalur yang berbeda menawarkan biaya yang berbeda katanya. Intinya Pak Mahfud setuju dan itulah yang kini menjadi PR bagi Indonesia.
Harni, seorang mahasiswa S3 dari Sydney University memberikan pertanyaan dan komentar terkait keadilan literasi. Bahwa akses terhadap pengetahuan itu penting dan ekspresi pendapat dalam bentuk tulisan itu penting. Beliau menceritakan sebuah rencana murid-muridnya di Bandung untuk mengirimkan surat kepada pemimpin daerah agar melakukan sesuatu. Meski ide ini baik ada kekhawatiran apakah masukan seperti ini akan didengarkan oleh penguasa. Beliau juga membandingkan dengan apa yang terjadi di Sydney saat ada sekelompok anak sekolah secara kolektif menulis surat kepada pemimpin di daerahnya agar membangun kolam renang. Menariknya, masukan seperti itu didengarkan oleh pemimpin daerah dan ide itu akhirnya diwujudkan. Harni menginginkan hal ini juga terjadi di Indonesia.
Pak Mahfud membenarkan hal itu bahwa di Indonesia mungkin pemimpin daerah itu belum memiliki tradisi yang sedemikian kuat untuk mendengar dan menjalankan masukan dari rakyat kecil. Meski demikian beliau setuju agar hal-hal seperti itu digalakkan di Indonesia. Setengah berkelakar beliau mencontohkan bahwa Amerika bisa matang demokrasinya perlu waktu 40 tahun. Kita yang baru 14 tahun mungkin tetap harus optimis meskipun itu tidak berarti kita harus melewati 40 tahun untuk mencapai seperti yang dialami Amerika dalam hal kebebasan perpendapat oleh rakyat banyak.
Pak Pipit, seorang mahasiswa dari University of Wollongong bertanya perihal strategi mendobrak kebuntuan yang selama ini sudah ditunjukkan oleh Pak Mahfud dan tentang isu terkini yaitu pembubaran BP Migas. Pak Mahfud menyatakan bahwa kreatifitas itu memang kadang diperlukan, terutama ketika prosedur atau aturan seakan menjadi penghambat penyelesaian suatu perkara. Beliau kemudian menjelaskan strateginya ketika terjadi kasus Anggodo dengan keberaniannya memutar rekaman percakapan di persidangan. Banyak pihak yang awalnya tidak setuju tetapi media kemudian mengambil peran memberi tekanan. Itulah yang menjadi kekuatan besar sehingga kasus itu bisa ditangangani dengan cara yang lebih baik. Seandainya saja tidak ada kreativitas seperti itu maka tekanan publik tidak akan sebesar itu. Meski demikian, Pak Mahfud menegaskan bahwa langkah seperti itu tidak selalu bisa dilakukan. Idealnya, katanya, sistem yang harus sudah bekerja dengan baik sehingga segala proses sesuai dengan prosedur tetapi harus dijamin prosedur itu efektif.
Terkait BP Migas, Pak Mahfud berbicara singkat saja. Intinya, semua sudah dituangkan dalam putusan dan semua oang bisa membacanya. Hal formal yang diungkap Pak Mahfud misalnya adalah dengan menunjukkan beberapa bukti bahwa dengan adanya BP Migas maka ketentuan konstitusi tentang kekayaan alam tercederai, bahwa kekayaan alam tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam bahasa hukum yang dipakai, telah terjadi inefisiensi. Pak Mahfud juga menyampaikan sedikit indikasi bahwa di luar perihal formal ada lebih banyak hal yang sangat mengerikan dan itu semakin menegaskan bahwa pembubaran BP Migas adalah langkah yang tepat. Ada banyak pihak yang bertanya apakah dengan pembubaran BP Migas dijamin tidak akan terjadi inefisiensi. Pak Mahfud dengan pragmatis menjawab “tidak ada yang bisa menjamin”. Persoalannya, adanya BP Migas sudah PASTI menimbulkan inefisiensi jadi lebih baik menghilangkan lembaga yang sudah pasti menimbulkan inefisiensi karena dengan demikian akan ada kemungkinan terjadi perbaikan.
Sempat juga beliau singgung kasus Hambalang dan dinilainya mengandung banyak sekali kejanggalan yang begitu nyata menunjukkan itu pelanggaran tetapi beliau tidak meneruskan lebih lanjut. Sempat juga disinggung perihal Olla yang gembong narkoba itu dan bagaimana grasi itu sesungguhnya tidak tepat. Mengomentari presiden yang berkeinginan mencabut grasi tersebut karena kemudian mulai ditemukan bukti-bukti kesalahan, Prof. Mahfud tidak setuju dan berkelakar “bukan grasinya yang harus dicabut tapi orang-orang yang memberi masukan sehingga grasi itu mau diberikan itu yang harus dicabut.” Hadirin tergelak.
Kembali ditegaskan, kreativitas itu perlu untuk menembus kebuntuan tetapi tujuan utama jelas adalah mewujudan sistem yang baik sehingga penyelesaian itu berbagai persoalan di masa depan dapat dilakukan dengan baik. Kita juga tidak bisa hanya menyalahkan presiden, kata Pak Mahfud karena presiden tidak bekerja sendiri. Kadang instruksi presiden diterjemahkan secara salah oleh birokrasi di bawahnya. Maka dari itu, sistem itu yang harus dibangun. Meskipun Pak Mahfud tidak sempat menjelaskan secara rinci teknis pembuangunan sistem yang dimaksud.
Irfan, mahasiswa S3 di UNSW bertanya perihal isu kunjungan DPR yang menuai protes mahasiswa. Irfan menyoroti dan menanyakan pendapat Pak Mahfud perihal etika bahwa menurut beliau mahasiswa itu etis melakukan penguntitan seperti yang dilakukan di Jerman. Lebih jauh Irfan menanyakan komentar beliau tentang gerakan mahasiswa secara umum.
Hal pertama yang dibayas Pak Mahfud adalah kunjungan studi banding DPR yang memang tidak ada manfaatnya. Apa yang mereka bandingkan jika di kepala mereka sendiri belum ada gambaran tentang apa yang akan dikerjakan. Yang namanya studi banding kan seharusnya sudah memiliki konsep yang jelas lalu membandingkan dengan apa yang dimiliki negara lain. Dalam banyak kasus, tidak demikian halnya dengan studi banding DPR, tegas Pak Mahfud. Beliau lalu mencontohkan sebuah pembuatan undang-undang saat beliau menjadi anggota DPR yang memerlukan studi banding ke Amerika. Pak Mahfud dengan tegas menolak dan mengusulkan agar DPR mengundang Kedutaan Amerika untuk menjelaskan apa yang ada di sana. Selain itu diundang juga pusat studi Amerika di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Bagi beliau, hal itu sudah lebih dari cukup dan tidak studi banding. Menariknya, ada pemaparan dari Kedutaan Amerika dan Pusat Studi Amerika di DPR, anggota DPR yang tadinya bersemangat studi banding dengan alasan untuk mengetahui apa yang terjadi di Amerika justru tidak datang. Hadirin tergelak mendengarkan kelucuan ini.
Terkait mahasiswa, Pak Mahfud tidak membahas soal etika tetapi secara implisit membenaran peran mahasiswa Indonesia di luar negeri yang harus kritis. Secara umum Pak Mahfud membahas gerakan mahasiswa di Indonesia. Beliau tegaskan ada dua gerakan mahasiswa yang menurut beliau sangat besar saat orde baru yaitu tahun 1978 dan 1998. Keduanya berjarak 20 tahun. Ini mengindikasikan bahwa semangat kekritisan mahasiswa memang memerlukan waktu untuk mengental. Diakui bahwa mahasiswa sekarang memang berbeda dengan angkatan 1998 misalnya, berbeda juga dengan 1978. Mungkin mahasiswa sekarang masih merasakan kedekatan emosional dengan reformasi sehingga tidak bisa mengambil jarak untuk kemudian menjadi kritis. Hal ini bukanlah hal baru, katanya, karena dari tahun 1979 hingga tahun 1997 pun gerakan mahasiswa bisa dibilang tidak begitu signifikan mengubah tatanan negara.
Frans dari Jempol.com.au mengajukan pertanyaan tentang partisipasi rakyat dalam politik secara independen. Bapak Mahfud menjelaskan bahwa jika partisipasi yang dimaksud adalah mempengaruhi kebijakan publik maka sesungguhnya jalur bisa apa saja. Bisa lewat ormas, LSM atau individu. Beropini di media publik bisa juga dikatakan partisipasi secara independen. Jika yang dimaksud adalah menjadi pemimpin daerah atau nasional maka sudah ditegaskan bahwa dimungkinkan untuk menjadi pemimpin daerah lewat jalur non partai (independen). Sementara untuk menjadi presiden tetap harus melalui partai atau gabungan partai. Beliau menegaskan keduanya memang berbeda karena dasar hukumnya juga berbeda. Untuk menjadi kepala daerah tidak ditegaskan harus berasal dari partai, yang penting dipilih secara demorasi. Sementara calon presiden ditegaskan dalam UUD 1945 harus berasal dari partai.
Mbak Iis dari Wollongong mengungkapkan keprihatinannya bahwa di Indonesia, menjadi orang baik itu menghadirkan tantangan yang luar biasa besar. Beliau menyoroti kasus Dahlah Iskann yang kini ‘dikeroyok ole DPR’. Mbak Iis bertanya apakah yang salah di negeri ini? Pak Mahfud dengan tegas menjawab bahwa bahwa persoalan kita di Indonesia adalah pada orangnya yang tidak memiliki integritas dan moral. Segala teori tentang perbaikan bangsa sudah habis dan tidak perlu ditambah lagi, tinggal dilaksanakan. Inilah yang tidak ada. Yang menjalankan segala teori bagus itu tidak ada. Jikapun ada, tidak banyak dan tidak kuat bertahan. Pak Dahlan Iskan menurut beliau adalah salah satu yang berani menjalankan apa yang seharusnya dijalankan. Intinya, untuk menciptakan kebaikan harus siap berjuang dan itu tidak mudah.
Riyan bertanya perihal strategi Pak Mahfud untuk melindungi diri dan institusinya dari pengaruh media yang sering kali tidak independen. Sesungguhnya, menurut beliau, hakim juga tidak mungkin tidak terpengaruh oleh opini publik yang muncul di media massa. Dengan asumsi bahwa opini itu memang mencerminkan aspirasi publik, justru keputusan MK harus mendengarnya karena rasa keadilan masyarakat harus tercermin pada keputusan peradilan. Hanya saja, Pak Mahfud menambahkan bahwa opini di media itu tidak tunggal sehingga sesungguhnya dampak biasnya bisa dikurangi. Berbagai opini itu harus diserap semua sehingga dihasilkan kesimpulan yang komprehensif. Ditegaskan oleh beliau, setiap fakta, sekecil apapun, dibahas dan dijelaskan oleh semua hakim dalam perkara yang ditangani oleh MK. Beliau menegaskan tidak ada keputusan yang tidak melalui proses bersama para hakim MK sehingga harapannya hasilnya adil dan transparan. Keputusan MK yang dibacakan di siding itu sama persis dengan yang dibawa pulang oleh para pihak dan dengan yang diunggah di website MK. Prosesnya juga cepat. Itu salah satu yang dilakukan MK untuk menjaga transparansi dan menghindari peluang rekayasa keputusan. Beliau menyinggung perihal adanya pengubahan keputusan oleh suatu lembaga peradilan dengan tulisan tangan hakim. Ini tidak terjadi di MK, katanya menegaskan.
Meski demikian, Pak Mahfud membenarkan perihal ketidak-independen-an media karena menurutnya memang ada kecenderungan untuk menggunakan pers guna memenangkan suatu persaingan. Terkait interaksinya dengan media, beliau menegaskan bahwa saya berusaha menyampaikan segala sesuatu apa adanya. Maka dari itu, beliau tidak pernah mau wawancara dengan pertanyaan yang diatur sebelumnya. Setiap kali dimintai konfirmasi sebelum wawancara live tentang jenis pertanyaan yang boleh atau tidak atau kisi-kisi pertanyaan, Pak Mahfud selalu bilang “silakan tanyakan apa saja nanti saat live dan saya akan menjawabnya.” Pak Mahfud melakukan ini agar media juga jujur apa adanya tidak merekayasa proses transfer informasi. Hal ini membuat Pak Mahfud terkenal tidak mau diatur-atur oleh media.
Seorang penanya berikutnya bertanya pendapat Pak Mahfud tentang buku Gurita Cikeas dan Anggaran pembangunan Gedung DPR yang begitu besar. Pak Mahfud berpendapat, bahwa pernyataan di buku itu tentu saja merupakan opini penulisnya. Memang menggemparkan karena keberaniannya. Hanya saja, tidak atau belum terbukti secara hukum. Kemungkinan memang dibiarkan mengambang seperti itu karena jika dituntut, bisa jadi memang ada beberapa hal yang bisa dibuktikan meskipun sepertinya tidak semuanya. Pak Mahfud menilai ada semacam kesengajaan untuk tidak tidak menuntaskan isu itu karena memang ada ketakutan akan terbukti.
Terkait anggaran gedung DPR yang sangat tinggi, Pak Mahfud menegaskan bahwa pembangunan itu tidak jadi dilaksanakan. Ini, menurut beliau, adalah salah satu bukti digdayanya kekuatan masyarakat sipil. Desakan masyarakatlah yang akhirnya bisa menghentikan usaha pembangunan gedung DPR tersebut. Dengan ini seakan Pak Mahfud ingin mengingatkan bahwa jika masyarakat bersatu dan peduli pada apa yang terjadi pada bangsanya maka banyak penyimpangan akan berhasil diperbaiki.
Terkait kepemimpinan nasional, Pak Mahfud secara khusus berkomentar bahwa beliau ingin mengajak semua orang untuk bersama-sama mencari pemimpin yang terbaik. Saya akan bersama-sama rakyat Indonesia untuk mencari pemimpin nasional. Tidak penting siapa orangnya tetapi yang terpenting adalah dia terbaik untuk bangsa ini. “Tidak usah menyebut saya atau orang tertentu karena siapa saja bisa” katanya menjawab pertanyaan yang mengarah pada kemungkinannya menuju RI 1. Lebih lanjut, beliau menegaskan, bisa saja beliau menjadi salah seorang yang maju atau mendukung seseorang yang dia percaya bisa membawa kebaikan untuk bangsa ini. Kemungkinannya ada banyak, kata beliau, yang pasti beliau akan ikut dalam usaha mencari pemimpin terbaik untuk Indonesia. Meski memailiki antusiasme dan kepudulian terhadap kepemimpinan nasional, Pak Mahfud menegaskan bahwa dirinya tidak akan berbicara hal-hal teknis tentang peluang keterlibatannya dalam pemilihan presiden sebalum menyelesaikan amanahnya sebagai ketua MK yang pada tanggal 1 April nanti akan berakhir. Seperti yang diberitakan media, Pak Mahfud sudah menegaskan untuk tidak bersedia dipilih kembali jadi ketua MK.
Diskusi yang begitu hangat itu berlangsung hingga jam 2 padahal beliau masih mengalami jetlag dan belum makan siang. Menariknya, hadirin juga sangat betah, tidak ada yang kelihatan gelisah karena ingin berhenti. Harus diakui, pesona seorang Mahfud MD memang mampu membuat hadirin berdiam diri di ruangan yang cukup dingin di Konjen dalam waktu lama.
Akhirnya, tanpa menyimpulkan dan membiarkan suatu akhir yang terbuka, saya menutup diskusi dengan menyampaikan terima kasih kepada Pak Mahfud, Konjen, PPIA NSW dan semua hadirin yang turut berpartisipasi. Beberapa menit kemudian, makan siangpun berlangsung dan sesi berfoto dengan Pak Mahfud tentu saja menjadi bagian yang seru sore itu. Yang mengharukan, Pak Jon, salah satu tokoh senior Indonesia di Sydney secara khusus meminta pembawa acara menyampaikan apresiasi untuk moderator. Saya tersanjung mendapat kehormatan itu.
Diskusi di kelompok-kelompok kecil masih terjadi sambil makan. Foto-tofo tetap berlangsung seakan tidak ingin berhenti dan lalu lalang orang membawa makanan dan minuman nampak ramai di ruangan itu. Beberapa saat kemudian satu per satu pergi dan ruanganpun kembali sepi. Ruangan yang sepi tetapi semangat dan ajakan Pak Mahfud untuk tetap optimis melihat Indonesia tetap menggema dalam hati siapa saja yang menyimak beliau dengan sungguh-sungguh. Terima kasih Pak Mahfud.
Wollongong, 24 November 2012 @ 1.45 am
Percakapan di Whatsapp:
Teman: Sedang apa Bli, kok belum tidur? 🙂
Saya: Latihan terakhir jadi moderator untuk Pak Mahfud beberapa jam lagi.
Catatan
Tulisan ini adalah catatan subyektif dari I Made Andi Arsana selaku moderator dan peserta diskusi. Segala fakta yang diungkapkan di sini sedapat mungkin mencerminkan apa yang terjadi dan didiskusikan dalam acara tersebut dengan interpretasi secukupnya. Jika terjadi ketidaksesuaian maka itu adalah kesalahan I Made Andi Arsana dan dipersilakan memberikan koreksi.
Oh, boleh saya bertanya, Pak Moderator? Mengenai judul fotonya, apa mungkin bisa menjadi, ‘Sang Moderator dan Pak Mahfud MD’? 😉
Subhan Zein
Hahaha 🙂 boleh juga idenya 🙂
Tulisan yg memvesona… Seakan2 sy hadir di ruangan diskusi walo tidak bisa ikut dalam diskusi apalagi sesi foto2 dng Pak Mahfud MD…. Hahahaha….
Thanks Mas Win 🙂
Nice post sir…. Good luck…
Thanks 🙂
Thanks for sharing Mas Bli.
A very Impressive note 🙂
Thank you. I am flattered 🙂
Tulisan yang menarik, pak..sekadar info, saya baca konten di atas itu lewat Koran Kompas beberapa hari lalu. Ternyata eh ternyata itu materi beliau ceramah di Australia toh..
terima kasih sudah ditambahkan tanya jawabnya, mas..soalnya yang di Kompas kan Pak Mahfud MD nggak masukin sesi tanya jawabnya hehe..
😀
Beliau diskusi di Sydney dan Canberra. Kebetulan diskusi ini adalah yg pertama. Terima kasih pencerahannya.
Pak Mahfud MD bisa jadi RI-1 jika rakyat kenal dan tahu kredibilitasnya, sayang media-media mainstream (televisi) Indonesia dikuasai konglomerasi yang sangat bernafsu menjadi atau mendukung calon presiden yg mampu dan mau melanggengkan bisnis konglo2 tsb.
walhasil orang sebersih dan sehebat Mahfud MD kurang terdengar gaungnya di akar rumput krn kurangnya publikasi beliau.
Jika mendukung, kita bisa lakukan sesuatu untuk mengorbitkan beliau. Obama melakukannya dengan baik melalui gerakan relawan akar rumput 🙂
Setuju..bagaimana bila kita galang saja dukungan untuk pak Mahfud, masih ada waktu sebelum 2014
Semoga saya menjadi salah satu penghuni universitas di australia tahun depan…. (deg-degan mode : ON)
Amiin. Saya doakan 🙂
Catatan yg menarik Bli. Pendapat2 Pak Mahfud MD memang salah satu yg menarik disimak. Semoga disusul catatan2 diskusi dgn tokoh2 Indonesia lainnya.
Terima kasih Mas.. beliau memang beda 🙂
kenapa kita harus mencari pemimpin masa depan sementara kita hidup disaat ini, padhal besok kita belum tentu hidup,pilhlah yang ada sekarang yang terbaik dan diakui dunia. wasalam bukan Pak Mahfud MD.