
Kadang saya bertemu orang-orang penting, para pejabat negeri, justru saat ada di negeri orang. Kalau sedang di tanah air, mungkin kesempatan makan malam atau ngobrol dengan menteri atau wapres akan terasa sulit. Isitimewakah kesempatan itu? Saya serahkan saja bagi pembaca untuk menilainya, tapi bagi saya, jelas ini bukan kesempatan sehari-hari. Kalau demikian, bolehlah dia kita anggap istimewa.
Seorang kawan bertanya ’bagaimana caranya bisa punya kesempatan bertemu orang-orang penting itu?’ Saya harus akui, tidak ada cara sistematis yang saya tempuh dan ini bukanlah cita-cita. Yang pasti, tidak pernah ada tes psikologi apalagi IELTS untuk bisa bertemu menteri. Tidak juga ada wawancara. IP juga tidak berpengaruh, apalagi jumlah publikasi ilmiah. Tidak ada.
Jika kita sekolah di luar negeri, terutama negeri maju, biasanya tingkat kunjungan pejabat negara cukup tinggi, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dari kepala daerah hingga presiden, dari anggota DPR hingga menteri, semuanya punya kemungkinan berkunjung. Kunjungan ini biasanya diatur oleh perwakilan Indonesia di negara tempat kita belajar. Jika di ibukota negara maka akan diurus oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) jika kunjungan ke kota besar bukan ibukota. Karena berbagai alasan, biasanya KBRI atau KJRI membutuhan kehadiran mahasiswa Indonesia selama kunjungan itu. Tugasnya bisa sekedar membantu angkat kopor dari bandara hingga ’meladeni’ sebuah diskusi serius tentang masa depan bangsa. Ada juga yang sekedar menemani makan malam sambil berdiskusi ringan. Tidak jarang, pejabat negara tersebut yang memang ingin bertemu dengan mahasiswa Indonesia di negara yang mereka kunjungi.
Di Australia, jumlah mahasiswa Indonesia sekitar 18 ribu orang. Siapa yang harus dipilih oleh KBRI atau KJRI untuk menemani seorang menteri makan malam sambil ngobrol, misalnya? Untuk tugas demikian tentu banyak sekali yang mampu. Tidak dibutuhkan seleksi khusus. Yang dipilih biasanya yang aktif, misalnya pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di negara yang bersangkutan atau mereka yang memang gemar membantu kegiatan KBRI atau KJRI. Akhirnya ini adalah persoalan sikap dan kepribadian.
Saya memiliki teman yang dengan tegas memutuskan untuk tidak aktif di PPI dan bahkan membuat jarak dengan KBRI atau KJRI selama mereka sekolah di luar negeri. Masing-masing orang memiliki alasan dan pandangan sendiri tetapi ada juga yang memilih sebaliknya. Saya merasa perlu membina hubungan baik yang wajar dengan KBRI dan KJRI. Tentu saja tidak mengharapkan keuntungan pragmatis tetapi dalam rangka melatih dan membina kemampuan berjejaring dan bekerjasama dengan baik.
Idealnya, ilmu yang dipelajari di manapun, pada akhirnya harus bermanfaat untuk kemaslahatan umat manusia dan alam. Agar dapat bermanfaat bagi masyarakat luas maka ilmu itu harus menjadi atau mempengaruhi kebijakan publik. Agar bisa mempengaruhi kebijakan publik maka ilmu ini harus diketahui oleh mereka yang membuat kebijakan publik. Pembuat kebijakan publik ini adalah pejabat negara. Artinya, jika seorang ilmuwan memang serius ingin mengabdikan ilmunya bagi umat manusia atau masyarakat maka salah satu caranya adalah dengan sungguh-sungguh mengusahakan agar ilmunya diketahui atau sampai di tangan pejabat. Maka sesungguhnya ada alasan mulia bagi seorang pembelajar atau mahasiswa untuk membina hubungan baik dengan pejabat pemerintah. Dalam istilah yang sering saya ungkapkan, para pemilik ilmu memang harus kritis kepada pemerintah tetapi tidak boleh anti meskipun harus tetap menolak ’berselingkuh’.
Menjadi pejabat atau tidak itu adalah urusan lain tetapi membuat gagasan kita sampai di tangan pejabat itu sangat penting. Lewat tangan pejabat itulah kemaslahatan umat bisa tercapai lebih cepat karena pejabat memiliki kekuatan legal formal untuk melakukan perubahan dalam tatanan masyarakat. Mungkinkah usaha bertemu atau dekat dengan pejabat ini adalah dalam rangka mengejar suatu posisi jabatan di masa depan? Mungkin! Dan itu sah. Bayangkanlah kalau orang seperti Jokowi dan Ahok ’berambisi’ menduduki jabatan publik dengan tujuan agar bisa menggunakan kekuatannya untuk menumpas segala kejahatan, maka ’ambisi’ yang demikian itu digerakkan oleh motivasi kemuliaan.
Bertemu pejabat atau tidak itu bisa dianggap penting bisa juga tidak, kuncinya adalah rangkaian cerita yang saya kemukakan sebelumnya. Intinya, kesempatan itu banyak dan terbuka lebar sekali. Pertanyaanya, maukah kita meraihnya? Jika mau maka syaratnya sederhana sekali: lebih sering menunjukkan kepedulian yang orisinil.
Jadi jika saya melihat foto seseorang yang sekolah di luar negeri bersama seorang presiden atau pejabat lainnya, saya berharap ada rangkaian cerita yang lebih besar di balik foto itu. Bahwa foto-foto itu semestinya lebih dari sekedar ekspresi narsis yang kronis.