
Suatu pagi, saya mengantar Lita ke sekolah. Kami melewati sebuah pasar yang ramai bukan main sehingga saya harus melaju sangat pelan. Di depan saya terlihat seorang anak SMA perempuan yang berjalan agak di tengah. Sepertinya anak ini kurang menghiraukan lalu lintas yang padat. Dia telah menambah keruwetan pasar pagi itu. Tak ayal lagi, motor dan mobil membunyikan klakson membuat suasana jadi riuh rendah. Sebuah mobil yang berjalan tepat di belakang anak SMA itu bahkan membunyikan klaksonnya dengan keras dan panjang karena anak itu tidak menghentikan langkahnya. Selanjutnya anak itu terlihat panik dan justru berjalan agak ke tengah jalan sehingga nyaris bertabrakan dengan mobil yang saat itu sudah melintas di sampingnya. Mobil itupun secara tiba-tiba berhenti, orang-orang di pasar berteriak histeris. Saya berharap-harap cemas, apa yang akan terjadi. Terbayang si bapak sopir akan berteriak memaki anak SMA yang tidak tahu aturan itu.
Berbeda dengan yang saya bayangkan, tidak ada teriakan atau makian dari dalam mobil. Yang ada adalah seorang lelaki pedagang pasar menghampiri anak SMA itu, meraih pundaknya lalu menuntunya ke tepi. Saya termenung, ternyata anak itu tidak melihat alias tuna netra alias buta. Rupanya dia sangat panik mendengar suara klakson di pasar itu dan membuat langkahnya tidak terkendali. Saya menyesal telah menuduhnya tidak tahu aturan.
Mobil di depan saya melaju, mungkin sang sopir juga dihinggapi rasa bersalah. Saya bergerak melewati kerumunan pasar dan melihat anak SMA tuna netra itu terus berjalan dengan langkah yang tidak begitu cepat. Perjuangannya tidak mudah. Menjadi orang yang tidak melihat di negeri ini ternyata memang berat. Tata ruang kota yang tidak bersahabat dan orang-orang sekitar yang mudah emosi menambah perjuangan itu jadi kian sulit.
Saat saya melintas di samping anak itu, tiba-tiba ada seorang lelaki mengendari motor berhenti di sebelahnya. Saya lihat pakaian beliau layaknya seorang guru atau pegawai pemda. Saya lihat beliau mengatakan sesuatu dan beberapa saat kemudian anak itu naik ke atas motor lelaki itu. Rupanya lelaki itu menolong perempuan tuna netra itu dan mungkin akan mengantarnya ke sekolah. Bisa jadi lelaki itu adalah gurunya di sekolah luar biasa. Entahlah. Siapapun lelaki itu, dia telah menjadi teladan, memberi satu harapan bahwa mereka yang melihat dunia bisa meminjamkan matanya pada mereka yang tak melihat cahaya. Yang terpenting, lelaki itu telah meminjamkan mata hatinya pada orang-orang seperti saya yang kadang lupa bahwa dunia ini semestinya bersahabat bagi siapa saja.
A touching story. Wrapped in a fiction would be nice! 🙂
Subhan Zein
subhanallah….maha suci Allah…
Di Jakarta, tepatnya di Jalan Sudirman-Thamrin, saat ini mulai dibangun trek trotoar khusus untuk tunanetra. Jadi di trotoar itu akan disusun lantai trotoar khusus berwarna kuning dan memiliki kontur tertentu sehingga bisa menjadi petunjuk bagi para tunanetra..
Berita bagus
Pak Andi saya surya gumilar, seorang mahasiswa di Bandung. Saya ingin bertanya mengenai surat keterangan sehat untuk pengajuan beasiswa, apakah hanya basanya saja yang diubah kedalam bahasa inggris atau ada bentuk khusus?
Terima kasih,
Jika tidak disediakan formnya oleh beasiswa itu sendiri berarti bebas aja 🙂
Terima kasih Pak Andi.
Mata saya “mbrabak” (berkaca-kaca) membacanya.
Tulisan bapak ini pun, meminjamkan mata hati bagi para pembaca.
Semoga bermanfaat mas Agus 🙂