
Saat kecil saya terbiasa mendapat tugas mencuci piring dan menyiram tanaman. Sementara itu, kakak saya ditugaskan mencuci baju, ngepel, dan menyapu halaman rumah. Seingat saya, tugas itu kami lakukan sejak usia 6 tahun. Tentu saja tidak ada yang istimewa karena kebanyakan teman-teman saya juga demikian, membantu orang tua sejak usia belia. Saya mencuci piring di sungai dekat rumah. Piring dan peralatan dapur lain yang kotor ditempatkan dalam sebuah jembor, sejenis ember, yang terbuat dari aluminium. Saya menjunjungnya dari rumah ke tempat pencucian. Pembersihnya adalah sabun colek Wings Biru dengan penggosok dari sabut kelapa.
Saya masih ingat, waktu mencuci harus pas yaitu siang hari setelah sandiwara radio Sahur Sepuh dan harus sudah selesai sebelum sandiwara radio Misteri Gunung Merapi. Mereka yang menghabiskan masa kecil di tahun 1980an atau awal 1990an pasti tahu siapa Brama Kumbara atau Sembara dan Mak Lampir yang menjadi tokoh populer lewat sandiwara radio ketika itu.
Sejujurnya saya tidak selalu bahagia melakukan tugas. Dalam soal kerajinan, kakak saya nomor satu. Dia teladan dalam melakukan tugas pekerjaan rumah. Karena kurang disiplin, kadang saya tidak bisa menyelesaikan tugas cuci piring sebelum Misteri Gunung Merapi dimulai. Akibatnya, piring-piring itu saya tinggal di sungai dan lari pulang untuk mendengarkan kisah yang rasanya tidak mungkin dilewatkan ketika itu. Setelah sandiwara radio selesai, saya lari ke sungai lagi untuk melanjutkan tugas.
Saya mencuci piring karena memang ibu saya menugaskan demikian. Bagi saya, itu tidak bisa dibantah dan jika saya tidak mengerjakannya berarti piring tetap kotor dan saya pasti dihukum. Sebagai anak kecil yang masih gemar bermain, mencuci piring seringkali terasa sebagai penindasan. Menariknya, saya tidak pernah meninggalkan tugas itu meski kadang kesal. Waktu itu, cuci piring juga tidak dikaitkan dengan teori pembentukan karakter atau membangun sikap hidup yang baik. Cuci piring ya cuci piring saja, tidak ada filosofi di situ. Setidaknya itu yang saya pahami ketika kecil.
Sydney, Mei 2004
Saya melangkah ragu memasuki dapur restoran di bilangan Randwick, New South Wales. Ini adalah hari pertama saya bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran Thailand saat menempuh S2 di University of New South Wales. Ego saya masih berkuasa penuh. Bagaimana mungkin seorang dosen di sebuah universitas di Indonesia harus menjadi buruh kasar mencuci piring di negeri orang? Saat menyeka piring-piring kotor dan menyingkirkan sisa-sisa makanan dengan tampilan yang tidak cantik sama sekali, saya bertanya what are you doing here Andi? Saya gamang, ragu-ragu dan penuh pertanyaan. Ada bagian dari diri saya yang sepertinya tidak rela, tidak terima dengan apa yang saya lakukan.
Namun kegamangan seperti itu berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari dua jam. Setelah bertumpuk-tumpuk piring kotor menghampiri saya, deru kompor yang tidak berhenti serta terikan chef yang membahana menyuruh saya bekerja dengan cepat dan sigap, semua keraguan itu mendadak sirna. Tiba-tiba saja saya merasa malih rupa menjadi Andi kecil dan sedang menghadapi setumpuk piring kotor di sebuah sungai kecil di Desa Tegaljadi. Tangan saya seperti mengingat keterampilan di masa kecil dan dengan sigap berkelebat membersihkan tumpukan piring di depan saya. Empat jam berlalu, seorang perempuan menjelang 40an tahun menghampir saya dan berkata “you are good Andi. Have you worked as a kitchen hand before?” Rupanya pemilik restoran ini puas dengan cara kerja saya. Saya hanya tersenyum dan dalam hati berkata jangan ganggu, aku harus selesaikan ini dengan cepat karena Sembara dan Mardian akan berlaga sebentar lagi.
Malam hari, saat restoran menjelang tutup, saya bekerja lebih santai membersihkan lantai dapur. Suasana hening karena tamu sudah sepi dan kompor sudah dimatikan. Saat menggosokkan alat pel di lantai yang kotor dan lengket, kenangan masa kecil saya hadir kembali. Orang pertama yang saya ingat adalah ibu saya. Beliau tidak pernah berteori soal cuci piring. Tentu saja beliau tidak pernah berkata “kamu harus belajar cuci piring sekarang karena akan sangat berguna ketika kamu kuliah di Sydney nanti.” Malam itu, untuk pertama kalinya saya memaknai cuci piring dengan cara berbeda. Saya bersyukur khidmat karena pernah ‘ditindas’ oleh ibu saya di masa lalu. Seandainya saja saya tidak merelakan diri menjunjung jembor aluminium itu setiap sore, mungkin ceritanya akan lain. Setelah berlalu agak lama, saya menemukan makna yang tercecer. Meminjam istilah Steve Jobs, ini barangkali yang disebut dengan connecting the dots.
saya dulu juga pernah “ditindas” ibu.. sampai sekarang.. semoga kelak bisa seperti bapak, ilmu cuci piringnya terpakai di negeri bersalju.. amiin.. hehhehe
Amiin
Yeah, connecting the dots. Jobs was right, eh?
Subhan Zein
Thanks Mas Subhan.
memang hidup perjuangan paling berat ketika merantau menhilangkan sikpa gengsi .. oo siapak saya tk mungkin bekrja serendah ini.. penganlama penulis ini setiudak saya mengrti betul yang pernah hidup perantauan .. bekerjalah pa sa yang penting bagi seorang muslim adalah HALAL ..SEKIAN RIFKY ACEH
Setuju. Terima kasih 🙂
banyak “penindasan” di masa kecil yg kini sgt bermanfaat pula ketika harus hidup mandiri di negeri orang. jika dulu saya tidak ‘ditindas’, pasti saya sudah menyerah jauh2 hari 🙂 nice posting pak…
Thank you mbak Nayarani 🙂
OMG! what a great story. saya jadi pengin nangis inget almh. ibu saya. hehe.
sekarang sih sudah mulai ada hasilnya dari ‘tidasan’ beliau, tp semoga bisa lebih sangat bermanfaat ketika saya melanjutkan study di California nanti. amiiinnn
Terima kasih Mbak Susie 🙂 Good luck di US ya.
Huaahaha..haha..KONYOLLL !!!! bukan pada bagian ceritanya…tap..pi selipan kisah tentang BRAMA KUMBARA dan MAK LAMPIR itu looh..yang langsung membuat benak saya mengembara kembali ke masa lalu…ke era kejayaan sandiwara radio. (salah satu yang menginspirasi saya….untuk terjun dan sedikit berkecimpung di dunia broadcast)
Gak kebayang…GELINYA hati ini…,ketika akhirnya mengetahui ada teman kecil di belahan bumi lain yang juga tergila-gila dengan kisah yang sama….hinga rela lari terbirit-birit meninggalkan “ajang”-nya (gelas,piring,panci dll yg hrs di cuci, di jawa cuci piring dikenal juga dengan istilah “ngesai ajang”) demi tak terlewat kisah jagoan idaman yang menjadi idola dan mungkin juga sekaligus motivator .
O..M…G…..Ternyata bukan hanya saya yang benar-benar lebayy..selebay-lebay-nya…menyemplungkan radio ibu saya ke dalam sumur kala bertugas menimba air untuk mengisi bak mandi..( hal ini terjadi karena daya baterai dalam radio sdh sangat lemah..sehingga kalau tdk diposisikan dekat dengan saya, tentulah suaranya kalah dengan kecipakan air sumur dan klontengan suara timba)…Al hasil….bukannya sukses mendengarkan sampai akhir….tangan saya malah sukses menyenggol radio yang posisinya tepat di sebelah saya, sehingga hukuman dari ibupun harus ikhlas…saya terima dengan tidak mendapatkan uang jajan selama dua minggu…(untung hukumanya tdk di sesuaikan dengan harga radio…kalau itu yang terjadi..alamaaakkk..bisa…4 bulan gak jajan di sekolah..mengingat betapa kecilnya uang saku saya ). Yang paling MENGENASKAN.. dari itu semua adalah..selama sebulan saya harus nebeng-nebeng ke tetangga untuk dapat mendengarkan aksi Mantili , Raden Bentar dan juga Arya Kamandanu..yang tengah disembuhkan oleh Dewi Tunjung Biru. Jujur…membaca kisah mas andi…serasa punya teman lebay yang lain..hehehe (untung..saat itu kita blm dipertemukan..kebayang khan kalo iya….kita bikin club…LAMPIR MANIA…atau BRAMA LOVERS…hihihi).
Hal penting yang selalu saya dapat dari kisah-kisah ringannya mas andi adalah….tentang proses pembelajaran…., tak peduli seberapa lucu, tragis dan beratnya kisah kita…selalu ada hal untuk dipelajari. Ketika kemerdekaan saya di masa lalu dibatasi dan terbelenggu rutinitas …sempat terlintas pikiran naif dalam diri saya…”sebenarnya ibu saya ini ibu tiri atau ibu kandung sich…kok selalu mengkaryakan anaknya dengan hal-hal yang tidak menyenangkan…seperti nyapu..ngepel…cuci piring…nimba… ngelap debu dll..” (terlebih saya ini mbarep..dengan selisih umur yang cukup jauh dengan adik saya…6 tahun…,so…sdh pasti..adik saya aman dan damai dari segala tugas-tugas rumah tangga). Hal lain…yang baru saya sadari kemudian adalah…ternyata “olahraga ringan dan rutin” itu pada akhirnya tidak saja mempersiapkan saya menjadi perempuan dan ibu rumah tanga yang mandiri namun juga turut membentuk pribadi saya.
Olahraga ringan itu pada akhirnya….bagai….pondasi…yang menguatkan, bagai benteng kokoh yang tak tergoyahkan…bagai pelangi…yang memberi keindahan….(hehehe..nyambung gak yaaa..?)
thank mas andi…..kisahmu..selalu menyentuh benak dan kalbuku…
kisahmu..menembus ruang dan waktu….
kisahmu…..menaburkan banyak cita dan keindahan….
kisahmu..merengkuh..jiwa dan rasa…
t.e.r.i.m.a.k.a.s.i.h
Thanks atas sharing yg menggugah mbak Yayak 🙂 inspiring!
Wah Pak Andi, mulut saya sampai tidak mangap Pak membaca postingan ini.
Luar biasa Pak, sangat rendah hati dan benar2 berjiwa ‘Fight’..
semoga saya bisa mengikuti jejak Pak Andi.
Terima kasih. Semoga lebih baik dari saya 🙂
Amin Pak, tp seperti Pak Andi jg kalau bisa sudah mantappp kata orang medan Pak..
hehehee
tahap 1 semoga saya lulus ADS dan bs kuliah di Aussie untuk S2 Pak.
Amin
Saya dukung!
Itu kok ada nama saya Mas, he…
Itu kok ada nama saya Bli, he…
Hehe.. Mardian yang ini adalah yg jahat, pemburu yang jadi siluman harimau 🙂 Ngikuti kisahnya ga Mas?
hehe…ada mardian 🙂 saya ngikuti terus pak, sambil nyapu daun pohon jambu di samping rumah, biar ga serem, apalagi kalo pas mak lampirnya keluar… #eh yg ditanya siapa yg jawab siapa #hehe
Waktu itu membayangkan jadi siapa mbak?
Hahaha… Kayaknya masa kecil kita dlu banyak yg mirip ya? Cuci piring dan ngepel lantai!
Betul juga, banyak hal2 kecil yg dulu biasa kita kerjakan jadi sangat handy saat kita di luar negeri. Saat ini di lab kami di USA, saya sampai dijuluki handy-man. Soalnya mereka sering terkaget2 melihat saya bisa aja ngakalin macam2 alat lab yg error.
Betul sekali Mas. Btw, suka sandiwara radio juga nggak? Hehehe