Teknologi yang menggelitik


Beberapa waktu lalu saya melewatkan liburan Paskah dengan berkumpul di rumah teman di Wollongong. Saat berkumpul, saya melakukan komunikasi dengan Asti dan Lita di Jogja menggunakan Skype lewat iPad. Anak-anak teman saya adalah teman-temannya Lita juga sehingga mereka bisa ngobrol setelah lama tidak bertemu. Bosan nbobrol lewat Skype, anak-anak teman saya menjauh dari iPad saya dan menghambur main di lantai atas. Tentu saja Lita yang di Jogja tidak bisa melihat dan nbobrol dengan temannya lagi. Dia merasa ditinggal.

Merasa sendiri, Lita bertanya “where are they going Ayah?” dan saya jelaskan. Mengejutkan respon Lita lewat Skype “can I go upstairs with them?” Bayangkan, Lita yang ada di Jogja dan muncul di ruang tamu teman saya lewat iPad ingin ikut ke atas bermain bersama temannya di Australia. Bagi Lita itu bukan lelucon. Itu hal biasa saja, dia memang ingin “ikut ke atas” bermain dengan teman-temannya. Saya terharu mendengar permintaan itu.

Apa yang saya lakukan? Sayapun mengangkat iPad dengan Skype yang masih menayangkan wajah Lita lalu membawanya ke lantai atas. Saya bilang sama anak-anak itu “guys, Lita wants to play with you”. Apakah mereka bingung atau terkejut atau tertawa? Ternyata tidak. Salah satu dari mereka meraih iPad saya, menaruhnya di dekatnya dan mulai bercakap-cakap dengan Lita. Saya takjub.

Pemahaman terhadap ruang, waktu, nyata dan maya ternyata mengalami revolusi yang hebat. Saya yakin, definisi ‘jarak’ bagi anak-anak itu sangat berbeda dengan yang saya pahami ketika seumuran mereka. Jangankan lintas benua, untuk pergi ke Kota Tabanan saja, saya bisa tiga hari tidak nyenyak tidur karena gelisah. Kota Tabanan yang berjarak tidak lebih dari 20 menit dari desa saya terasa begitu jauhnya.

Anak-anak memiliki intuisi yang sangat berbeda saat melihat teknologi. Ini sama dengan Lita yang ketika dikasih iPad langsung memainkannya tanpa bertanya ini dan itu. Dia menjelajah internet dan main game tanpa merasa perlu belajar. Ini berbeda dengan teman segenerasi saya yang merasa gagap dan canggung ketika memegang iPad pertama kali karena merasa “tidak bisa”.

Semalam, untuk pertama kalinya saya melakukan video chat dengan Ibu saya di Desa Tegaljadi. Asti sedang ada di Bali dan menggunakan internet dengan Smart Friend yang ternyata cukup bagus meskipun di Tegaljadi yang cukup terpencil. Saya mengirimkan sebuah gambar peta dalam bentuk jpeg ke Asti lalu menjelaskan gambar itu lewat Skype. Ibu saya juga menyimaknya.

Ibu saya kemudian bertanya “dia bisa melihat layar kita ya?” menduga saya bisa melihat layar laptop Asti karena saya bisa menjelaskan gambar dengan fasih. Asti mencoba menjelaskan singkat, “nggak kok, tapi ayah punya gambar yang sama.” Ibu saya bertanya lagi “ini gambarnya kan dari dia, dia masih punya gambar ini?” Rupanya Ibu saya memiliki persepsi ‘kuno’ tentang perpindahan benda. Jika seseorang memiliki satu barang dan memberikan seluruhnya kepada orang lain, tentulah dia tidak memiliki barang yang sama. Masuk akal. Saya tergelitik dengan pemahaman ini karena bahkan tidak saya pikirkan sebelumnya.

Sedemikian berbedanya konsep kepemilikan dan perpindahan benda dengan kehadiran teknologi informasi. Percakapan sederhana dengan Ibu saya ini membuat saya menyadari betapa sudah jauhnya kita melangkah dan itu kadang tanpa kita sadari. Bagi banyak orang, teknologi informasi adalah keseharian tapi bagi sebagian orang lain, dia adalah misteri yang ajaib. Sama perihalnya, apa yang menurut saya misterius dan ajaib saat ini, mungkin sederhana dalam perspektif pengamat, ruang dan waktu yang berbeda.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

4 thoughts on “Teknologi yang menggelitik”

  1. In the international company, it’s very common to have a meeting via conference call and the attendees come from various place around the globe.

    Sometimes this is doesn’t apply with local company in Indonesia.

    Bottom line, from my perspective, technology is a tool to reach the world….

  2. Any suggestion how to introduce ‘this little magic’ to children? Dari beberapa tulisan yang saya baca sepertinya pak Andi cukup berhasil mengajarkan Lita bagaimana menggunakannya dengan bijaksana. Soalnya beberapa anak kecil yang saya kenal lebih suka menggunakan internet dan gadgets untuk main game sampai seharian penuh daripada untuk bersosialisasi.

    1. Pada keluarga kami, ini bukan soal memperkenalkan lagi Pak. Ini kebutuhan. Saya di Australia, Asti, istri saya, di Bali. Anak saya di Jogja. Mau tidak mau harus demikian 🙂

      Untuk anak Bapak, mungkin bisa diatur dengan sahabat bapak di luar daerah/negeri untuk membiasakan anak2 berkomunikasi. Intinya, carikan dia teman yang jauh dan memiliki interest yang sama. Setidaknya, orang tuanya memiliki interest yang sama yaitu bersosialisasi 🙂

      Selain itu, perilaku ini bisa ‘otomatis’ jika bapak ibunya juga suga bergaul dengan cara demikian.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: