Saya masih sering tercenung terpana mendengar cerita dari ibu mertua soal kakek beliau yang konon sakti. Kakek buyut, begitu semestinya saya memanggil beliau, adalah seorang dalang yang kata ibu, bisa mendalang di dua tempat sekaligus. Di satu malam beliau disaksikan oleh warga sebuah kampung di Jawa Timur, konon pada saat yang sama beliau tengah memukau kerumunan lainnya di kampung yang jauh jaraknya. Kakek buyut, kata ibu saya, memang sakti mandraguna.
Kisah seperti ini sering saya dengar, bahkan sampai sekarang. Seorang kawan yang tinggal di Australia dan menikah dengan orang bule pernah bercerita serupa. Konon seorang kyai kharismatik di Madura bahkan bisa mengabarkan kematiannya sendiri. Kisahnya, beliau masih bisa jalan-jalan menemui pengikutnya di berbagai tempat dan mengundangnya untuk datang ke pesntrennya. Alhasil, ketika para pengikut berkumpul, sang kyai sudah tidak bernyawa dan konon itu sudah terjadi ketika beliau datang menemui pengikutnya itu. Sang Kyai memang sakti. Tidak saja beliau melampaui ruang dan waktu, beliau juga melampaui kematian. Demikian kira-kira maksud kisah yang diceritakan kawan ini.
Dalam karya seni, kemampuan berada di dua tempat sekaligus ini sering menjadi pemanis kisah. Adam Subandi, seniman eksentrik yang suka memamerkan barang curian di Janji Joni, misalnya, dikisahkan oleh Tony sebagai orang sakti yang bisa ada di Jakarta dan sekaligus di Jawa, bertapa di sebuah goa angker. Di dalam film A Walk to Remember, misalnya, hal serupa terjadi meskipun awalnya berupa angan-angan. Jamie yang diperankan Mandy Moore berangan-angan bisa berada di dua tempat sekaligus dan tentu saja itu sebuah angan-angan kosong. Ajaibnya, Landon, yang diperankan oleh Shane West, berhasil mewujudkan angan-angan kosong itu menjadi kenyataan. Landon mengajak Jamie ke perbatasan North Carolina dan Virginia lalu meminta Jamie menjejakkan masing-masing satu kakinya di dua sisi garis batas. Sambil menatap mata Jamie lekat-lekat, Landon berkata “you are in two places at once”. Kalau selama ini kita mendengar kisah di perbatasan yang miris dan penuh konflik, ini adalah salah satu adegan perbatasan yang begitu romantis.
Intinya, cerita atau keinginan manusia untuk berada di dua tempat itu telah berlangsung lama. Pertanyaan yang layak di ajukan di abad 21 adalah: mungkinkah ini dilakukan tanpa harus menjadi sakti? Landon dan Jamie sudah membuktikannya namun tentu saja bukan itu yang dinginkan orang. Saya bertanya secara serius, bisakah saya seperti kakek buyut saya yang memainkan wayang sekaligus di dua desa yang terpisah jauh?
Jawabannya adalah BISA. Dengan cara yang ‘sedikit berbeda’ dengan kakek buyut, saya bisa mengajar di Wollongong dan Indonesia sekaligus. Dengan apa? Dengan telekonferensi menggunakan Skype. Saya yang sedang minum teh di sebuah sofa empuk di Wollongong bisa berdiskusi santai dengan mahasiswa di sebuah ruang kelas di Surabaya atau mereka yang sedang memenuhi ruang rapat di Sumatera Utara. Saya hadir seperti halnya ada secara fisik karena mereka bisa tertawa, tersenyum, mengernyitkan dahi dan menghela nafas karena kehadiran saya itu. Secara fisik, saya bahkan belum pernah pergi ke Sumatera. Dengan Team Viewer, tidak saja saya bisa berada di dua tempat, saya bisa berada di banyak tempat dalam satu waktu.
Bukan! Bukan yang seperti itu yang kita mau. Kita mau yang sakti, seperti kesaktian kakek buyut itu, yang bisa benar-benar berada di dua tempat secara fisik. Mungkin ada yang berpikir demikian. Sayang sekali tidak ada bukti yang bisa diuji dengan standard ilmiah dewasa ini, apakah betul kakek buyut saya memang berada di dua tempat secara fisik. Tidak juga bisa dibuktikan secara ilmiah apakah Kyai Madura itu memang hadir secara fisik memberitahukan kematiannya kepada para pengikutnya. Tidak ada yang tahu. Pertanyaan oleh mereka yang mendalmi fisika mungkin lebih tragis lagi: apa itu fisik? Bukankah ada sifat partikel dan gelombang pada cahaya? Dan seterusnya.
Maka saya memilih untuk menyetarakan telekonferensi dengan kesaktian kakek buyut saya. Bahwa kesaktian kita sesungguhnya dihasilkan di laboratorium melalui peluh dan darah para peneliti. Mengapa itu tidak kita sebut kesaktian? Karena kesaktian itu kini menjadi produk masal, tidak lagi eksklusif seperti yang dimiliki oleh segelintir orang seperti kakek buyut saya di masa lalu. Apa yang menjadi produk masal bisa kehilangan kesakralan dan pamornya karena dia tidak unik lagi, tidak istimewa lagi. Demikianlah kesaktian itu dewasa ini. Hanya gara-gara kita tidak mengakuinya sebagai kesaktian lagi, kemampuan kita berada di banyak tempat sekaligus tetaplah kesaktian. Betul, saya adalah orang sakti, seperti juga Anda.