
Ketika Presiden SBY dinobatkan menjadi salah satu dari 100 tokoh paling berpengaruh di dunia oleh Majalah Time, Anwar Ibrahim yang mendapat kesempatan menuliskan ulasannya. Obama, yang juga terpilih dari seratus itu, dibahas oleh Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown. Yang mengulas dan diulas memiliki kapasitas yang sebanding, demikian saya melihatnya. Menuliskan tentang SBY atau Obama, tentu banyak yang bisa dan bahkan mungkin lebih baik dari yang mampu ditulis oleh Anwar Ibrahim atau Gordon Brown. Persoalannya tentu tidak sesederhana itu. Tulisan itu mewakili sebuah atoritas, maka penulisnya disebut author. Menulis adalah persoalan authorship, persoalan legitimasi pengetahuan dan ‘pemegang hak’ yang layak dan diakui berpendapat tentang sesuatu.
Ketika Prof. Jacub Rais berpulang menghadap Sang Khalik, saya menunggu-nunggu seorang dengan otoritas yang cukup untuk menuliskan tentang beliau. Saya ingin sekali membaca sebuah obituari tentang Sang Perintis Geodesi Indonesia itu oleh seseorang yang punya otoritas. Siapa yang berhak menulis tetang Prof. Rais? Sekali lagi, siapapun bisa menulis, yang mempunyai ‘otoritas’ keilmuan ini yang penting, karena yang berpulang adalah seorang Ilmuwan. Seperti SBY yang disetarakan dengan Anwar Ibrahim dan Obama yang disejajarkan dengan Gordon Brown, maka Prof. Rais tentu punya padanannya. Jika ditanya satu persatu, mudah ditebak tidak akan ada yang dengan lantang mengakui kesetaraan itu. Bukan perkara kebiasaan orang Nusantara yang memang malu-malu menonjolkan diri, Prof. Rais memang sulit dicarikan padanannya di tanah air tercinta. Di kepala saya, sebagai orang muda di bidang geodesi-geomatika, sebenarnya mampir beberapa nama yang sekiranya layak menuliskan obituary ini. Akan saya simpan sendiri sebelum harapan itu menjadi kenyataan.
Apakah tidak akan ada satu orangpun yang menuliskan kepergian Sang Pelopor ini? Saya bertanya dan sampai hari ini belum terjawab. Hanya bisa mereka-reka, barangkali komunitas geospasial Indonesia punya cara tersendiri melepas kepergian Sang Pelopor ini dan itu tidak harus berupa obituary. Bukankah kami adalah orang-orang geospasial yang menyampaikan gagasan dengan titik, garis dan luasan? Kami tidak pandai memintal kata-kata menjadi prosa yang membuai-buai. Kesedihan, dan kehilangan yang dirasakan oleh surveyor seperti kami, barangkali tak semestinya dinyatakan dengan kata-kata, apalagi puisi. Inilah barangkali sebabnya.
Saya merindukan Prof. Rais. Seandainya saja beliau tahu saya sedang bingung, mungkin beliau akan mengirimkan email pada saya dan memulai dengan kalimat “Jakarta, 31 Maret 2011”. Jika saja beliau tahu seorang muda seperti saya kebingungan perihal sesuatu, pastilah beliau akan menyapa dan menjelaskan duduk perkaranya seperti yang beliau biasa lakukan di milis RSGIS Forum. Milis ini beruntung memiliki seorang senior yang masih mau berdiskusi perihal teknis yang sesungguhnya tidak menjadi bidang kerja orang-orang purnatugas seperti beliau. Beliau memiliki energi yang cukup untuk berbicara tentang ID74 atau DGN 1995 atau WGS ‘84 dengan segala parameter transformasinya, hingga kewenangan maritim dan kedaulatan Nusantara dalam konteks hukum laut internasional. Beliau fasih berargumentasi soal tatakelola organisasi survey dan pemetaan, hingga hal-hal filosofis yang oleh orang-orang teknik seperti kami bahkan mungkin di luar jangkauan. Saya menyimak kembali sebuah email terakhir beliau yang rupanya ditulis tanggal 18 Maret 2011 dan dikirim ke milis RSGIS Forum tanggal 21 Maret 2011:
Jakarta 18 Maret 2011
Dengan hormat,
Saya ingin hadir pada PIT Mapin di Undip, namun karena mungkin terlambat datang dari Sidang UNGEGN di Wina yang diselenggarakan dari 2 s/d 5 Juni mngkin saya tidak sempat hadir. Namun, saya akan mengirim makalah saya tentang NSDI, yang sudah di bookletkan untuk bahan informsi teman-teman.
Paper saya ini merupakan salah satu dasar bagi pembuatan RUU Geospasial, karena memuat studi literauir dari berbagai negara maju maupun berkembang di Amwrika Selatan, India, USA, Eropa, dsb.Dan sejarah yang panjang di Indonesia seja tahun 1938 masih di zaman kolonial Belanda, dan istilah “data spasial” yang datangnya bukan dari profsesi pemetaan pada tahun 1971. Menarik untuk dokumentasi nasional.
Wassalam
Jacub Rais
Email terakhirnya ini menceritakan dengan tepat kapasitas dan kepedulian seorang Prof. Rais. Seorang pelopor yang sudah senja usianya (83 tahun) masih menulis makalah dengan kecermatan tinggi dan merupakan hasil studi pustaka yang ekstensif di berbagai negara. Saya jadi bertanya: bisakah saya seserius itu dengan ilmu pengetahuan ketika usia sudah berkepala delapan?
Menanggapi penjual-belian data Prof Rais pernah memberi pendapat yang menarik. Dalam sebuah diskusi di milis RSGIS Forum tanggal 17 Januari 2007, beliau menulis “[p]emerintah tidak “doing business” dengan data publik, tetapi men”trigger” pembanguan dengan data puiblic domain tersebut, dan pembangunan menghasilkan pajak bagi negara atau penelitian dapat menghasilkan hasil yang dapat dipakai untuk aplikasi yang lebih bermanfaat bagi pembangunan atau nilai tambah untuk aplikasi lainnya.” Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa “[k]alau ada instansi pemerintah membuat datanya menjadi produk untuk meningkatkan masukan keuangan negara itu adalah “keliru”. Data adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembangun fisik suatu negara, dari mana pembangunan tersebut menghasilkan pajak yang dapat dipakai pembangunan fisik, ekonomi dan sosial suatu negara.” Data, menurut Prof. Rais tidak selayaknya dijual untuk memperoleh penghasilan. Data harus dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga memberikan nilai tambah terhadap sesuatu yang kemudian bernilai komersil. Pendapat ini, menurut saya, mencerahkan. Lagi-lagi, ini istimewa karena disampaikan oleh seorang berusia 80an tahun di sebuah milis yang dipenuhi generasi muda yang kadang berdiskusi serius perihal file *.shp dan perangkat open source.
Saya juga mengagumi ketelitian Prof. Rais dalam berargumentasi. Dalam sebuah perdebatan tentang garis pangkal dan garis pantai pada tanggal 8 April 2007, beliau menjelaskan istilah low waterline dengan menulis “[d]alam UNCLOS disebut “low waterline, bukan “the lowest low waterline”. Dalam bahasa Indon[esia] seharusnya garis air rendah bukan garis air terentah sehingga ada yang usul pakai LAT” […] dst. Pendapat ini memiliki dasar yang kuat dan teliti. Sebagai senior yang sangat dihormati, Prof. Rais tidak hendak menyalahgunakan kekuatan dan wibawanya dalam berargumentasi. Beliau tetap teliti dan mendasarkan perkataannya pada sesuatu yang sahih meskipun orang-orang mungkin tidak akan membantahnya karena rasa hormat dan penghargaan. Sikap ilmiah ini selayaknya menjadi panutan para muda seperti saya.
Tanggal 29 Juli 2009 saya menerima sebuah email dari seorang teman, Enda Latersia namanya. “[S]apaan Prof Jacub Rais tuk Pak Andi” demikian tajuk email tersebut. Pasalnya, saat menghadiri ulang tahun Teknik Geodesi UGM, konon beliau sempat bertanya tentang saya. Tidak bisa dipungkiri, ada kebanggan tersendiri nama saya masih diingat oleh beliau. Prof. Rais memang memilki ingatan yang baik dan naluri kepemimpinan yang sangat kental. Rupanya beliau paham betul pentingnya mengingat nama seseorang dan kemudian menyapanya. Dua bulan setelah email itu, saya sedang berada di Hotel Westin Nusa Dua dalam rangka berpartisipasi dalam South East Asia Survey Congress (SEASC) 2009. Saat sedang duduk di lobi hotel, saya melihat sesosok tubuh yang tidak lagi muda. Lelaki itu berjalan tenang dan pelan. Tubuhnya masih tegak, meski usia sudah tidak bisa disembunyikan. Prof. Rais sedang berjalan di lobi dan saya dekati. Beliau menatap saya penuh selidik. Pertemuan yang tidak direncanakan itu rupanya membuat beliau tidak begitu siap. Saya bisa menduga, ada perca ingatan yang menggantung di awang-awang tetapi belum bisa dipastikannya. Prof. Rais tidak bisa spontan mengingat saya sampai saya sebutkan nama saya. “Masya Allah” kata beliau spontan dan mengulurkan tangannya. Saya raih tangan yang sudah tidak muda itu dan menciumnya taksim sebelum akhirnya kami bercakap-cakap. Saya masih ingat dikenalkan pada sekelompok orang dari Kemdari ketika itu. Seorang senior panutan itu tidak lupa mempromosikan para muda seperti saya yang tergagap-gagap berharap cemas bisa menjadi penerusnya.
Terakhir saya bertemu Prof. Rais sebelum di Bali adalah pada tanggal 25 April 2008 di Jogja. Saat itu, Teknik Geodesi UGM berinisiatif mengundang beliau untuk berbicara perihal toponimi, penamaan unsur-unsur rupabumi. Pertemuan itu berkesan karena saya mendapat tugas dadakan untuk memandu diskusi karena dalam perjalanan acara Bapak Subaryono, Ketua Jurusan Teknik Geodesi UGM ketika itu, ada keperluan mendadak. Sebelumnya beliau yang memimpin diskusi secara langsung.
Anak-anak muda yang hadir dalam diskusi siang itu dibuat terpana oleh Prof. Rais. Ingatan beliau dan ketajamannya memukau. Saya masih ingat bagaimana beliau menyampaikan filosifi penamaan unsur-unsur rupabumi. Kemang di Jakarta dinamai demikian karena konon di jaman dulu ditumbuhi banyak pohon kemang. Duren Tiga juga demikian. Beda lagi dengan nama Bandung yang berasal dari bendung (air). Hal lain yang ditegaskan Prof. Rais adalah pentingnya memahami bahwa istilah/bahasa lokal bisa digunakan untuk menamai suatu unsur geografis. Istilah “Ci” berarti air atau sungai, sehingga penulisan yang benar adalah Ci Liwung, untuk nama sungai, bukan Ciliwung dan bukan “Sungai Ciliwung” karena “Ci” sendiri sudah berarti sungai. Ini mengingatkan saya tentang diskusi yang menarik di milis RSGIS Forum terkait penamaan unsur rupabumi dan Prof. Rais menulis:
Jakarta 11 Juni 2007
Lhokseumawe ditulis dalam satu kata, karena “lhok” adalah “teluk” dalam bahasa Aceh, dan ini nama generik. Kota dan bukan teluk, maka Lhokseumawe ditulis dalam satu kata. Kalau ditulis terpisah itu berarti nama teluk. Begitu juga Lhoknga (satu kata)
Salam
Jacub Rais
Dalam diskusi di Jogja, Prof. Rais masih sempat mengingatkan hadirin tentang sikap kebangsaan dan nasionalisme dalam penamaan unsur geografis. Beliau mengritik pengembang modern yang lebih suka menamai perumahannya dengan nama barat. “Saya tidak habis pikir, ada perumahan yang menamai dirinya Vermont. Vermont itu kan nama tempat di Amerika. Mengapa kita harus kebarat-baratan begitu?” demikain Prof. Rais bertanya retorik dan peserta diskusi dibuat tercenung. Apa yang beliau sampaikan tentu saja bukan hal baru tapi menjadi dalam maknanya karena kalimat itu terlontar dari mulut seorang ahli toponimi yang kepakarannya diakui oleh United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN). Lebih dari itu, Prof. Rais adalah oran yang menghabiskan tidak kurang dari 60 tahun hidupnya begelut dengan aspek ilmiah dan teknis geospasial di tanah air. Kata-kata beliau jelas memiliki otoritas.
Malam harinya di hari yang sama, kami menikmati santap malam di Mahi-Mahi Jogjakarta. Saya masih ingat ada di satu meja dengan beliau yang bercerita tidak henti, berbagi pengalaman di masa muda. Berliau bercerita tentang sekolah, tentang pekerjaan, tentang perjuangan mendirikan Teknik Geodesi UGM, Undip dan berbagai kisah lainnya. Sementara itu, Bapak Sumaryo, salah seorang kolega senior dari Teknik Geodesi UGM dengan sabar melayani beliau, termasuk mengambilkan nasi dan menuangkan di piringnya. Saya yang paling muda dalam rombongan hanya menyaksikan dengan takzim terkagum-kagum. Percampuran multigenerasi itu membuat perasaan saya berkecamuk. Saya termasuk kelompok generasi termuda di Teknik Geodesi UGM dan kini berhadapan dengan seseorang yang membidani kelahiran tempat kerja saya. Tercampur antara perasaan bangga karena diberi kesempatan bertemu sekaligus was-was karena secara tidak sengaja terbebani oleh bayang-bayang besar nan tinggi para generasi pendahulu.
Tulisan saya ini bisa bertambah panjang dan tidak berhenti karena sesungguhnya kisah hidup Prof. Rais memang seperti aliran sebuah sungai dengan mata air yang tidak pernah kering. Memang banyak yang bisa kita ingat, pertanyaan pentingnya adalah: seberapa banyak yang bisa kita teladani? Tulisan ini tentu saja bukan obituary karena saya jauh dari kaliber seorang Prof. Jacub Rais. Meski demikian saya adalah seorang cucu murid. Saya sedang belajar kepada seorang sosok fenomenal yang seminggu sebelum kepergiannya masih sempat menitipkan sebuah dokumen ilmu berharga kepada generasi bangsa. Tulisan ini adalah sebuah harapan sederhana seorang anak muda yang berdoa dan berharap tulus agar Sang Pelopor ini kembali kepadaNya dengan kelayakan. Tulisan ini adalah juga doa yang mewakili kaum muda insan geospasial Nusantara yang berharap sungguh-sungguh bisa meneruskan apa yang telah dirintis oleh Sang Pelopor. Pelopor itu tidak saja memulai pendidikan geodesi di Indonesia tetapi juga mengawal dengan ketat pertumbuhannya yang tidak selalu mulus hingga saat-saat terakhir hidupnya di dunia. Tidak salah jika Prof. Hasanudin Z. Abidin menyebut beliau sebagai “Godfather” Geodesi-Geomatika Indonesia. Selamat jalan Prof. Rais.
Selamat jalan “Godfather”. Pak Made tulisannya sangat inspiratif.
gak ada duanya Pak Rais, btw, aku juga menulis ttg beliau di sini: http://arsyakamila.wordpress.com/2011/03/28/prof-jacob-rais-saya-berduka-dalam-atas-kepergiannya/, sempet kaget, karena sehari dihit 400 orang, ternyata setelah googling, sedikit sekali ya yg menulis ttg beliau, padahal…. beliau sangat besar, dan saya yakin byk sekali org penasaran ttg beliau
Tulisan yang sangat menyentuh Bli Andi.
Masih terasa kehilangan sosok pelopor ilmu kebumian di negeri ini.
Serangkaian email beliau di RSGIS terkadang saya baca berkali-kali dalam upaya mengambil sari pati ilmunya sambil berharap bisa dijadikan pondasi ilmiah dikemudian hari.
Selamat jalan Prof.Rais
Terimakasih sudah sharing mengenai beliau Pak Andi. Sangat memotivasi untuk senantiasa berkarya di bidang Geospasial
saya sempat berkunjung ke rumah beliau di kemang, bertemu cucunya yang kebetulan saat itu satu atap pekerjaan dengan saya. tapi sayang, beliau sedang tidak berada dirumah, jadi kehilangan kesempatan bertemu dengan beliau (alm).
Tulisan Pak andi selalu menarik,
terimakasih pak
Ardian (gd_ugm04)
Terima kasih atas tulisan yang sangat mengharukan sekaligus membanggakan. Teruskanlah cita – cita almarhum yang belum terwujud. Semoga sukses.
CY
Tulisan yang inspiratif Bli Andi,
mudah-mudahan ada yang merangkum tulisan-tulisan ilmiah beliau.
Satu hal yang saya ingin teladani adalah sikapnya yang santun dan sabar, menghadapi segala macam sikap orang muda seperti kita, meskipun kita semua tahu kapasitas beliau.
salam,
-budi-