Istri saya…


Seorang kawan dari negeri seberang bercerita, di kampusnya di Australia pernah ada orang Indonesia yang sekolah S3. Sebut saja Pak Bambang, tentu saja bukan nama sebenarnya. Pak Bambang sangat baik, dia terkenal bahkan sampai hari ini saat studinya sudah lama rampung.

Satu hal yang selalu diceritakan kawan saya dari negeri seberang ini adalah bahwa dia tidak mengetahui nama istri Pak Bambang, meskipun sudah seringkali bertemu. Apa pasalnya? Pak Bambang selalu mengenalkan istrinya kepada orang “this is my wife“. Dalam percakapan sehari-haripun Pak Bambang menggunakan istilah yang sebenarnya umum dipakai yaitu “istri saya”, tanpa menyebut namanya. Cerita ini, bagi saya, cukup menarik dan menghadirkan renungan kecil.

Umum sekali hal ini terjadi pada saya dan para kerabat, menyebut identitas orang-orang terdekat dengan ‘jabatannya’, bukan dengan namanya. Sering saya dan kerabat mengatakan “istri saya”, “adik saya”, “sepupu saya” dan seterusnya tanpa dilengkapi namanya. Lucunya lagi, seringkali istilah “istri saya” ini diucapkan bahkan kepada orang yang sudah mengenal dengan baik “istri saya” ini.

Saya ingat satu kejadian menarik di Jakarta. Seorang kawan mengirim SMS pada saya “maaf aku tidak jadi nengok ke rumah sakit, suamiku mendadak ada tugas ke luar kota”. SMS ini biasa saja tetapi kalau direnung-renungkan jadi aneh karena suami yang dimaksud adalah teman akrab saya, dan orang yang mengirim SMS adalah teman kuliah yg juga karib. Dunia terasa berubah dan keakraban jadi memudar seketika. Rasanya berhadapan dengan dua orang asing yang baru kenal atau bahkan belum kenal.

Mengapa ini terjadi?
Saya duga ini adalah masalah sopan santun. Di sebagian masyarakan, saya tahu hal ini berlaku sangat tegas. Di Bali, misalnya, lelaki yang sudah punya anak, tidak patut lagi dipanggil namanya, tetapi “Pak Anu”, dengan “Anu” adalah nama anaknya. Misalnya saya akan dipanggil “Pak Lita”. Berbeda sekali dengan kebiasaan di komunitas lain yang ‘menurunkan’ nama bapaknya untuk dipakai anaknya, di Bali justru sebaliknya. Nama anaknya ‘dinaikkan’ untuk dipakai bapak dan ibunya.

Saya menyetujui sopan santun dan ini adalah keharusan. Namun baik juga untuk diingat bahwa di peradaban lainnya, sopan-santun itu bisa berlaku sebaliknya. Orang Australia konon akan merasa kurang nyaman jika disebut ‘istri saya’ atau ‘suami saya’ tanpa menyebut nama, apalagi dengan orang-orang yang sudah dikenalnya. Saya sering memperhatikan, bahkan dengan orang yang belum dikenal, biasanya mereka mengatakan “Anna, my wife, bla bla” dan selanjutnya selalu menyebut “Anna” di sepanjang percakapan.

Mana cara yang benar? Tentu saja tulisan iseng ini tidak bemaksud menghakimi salah dan benar. Harapan saya sederhana saja, semoga saja sopan santun ini tidak membuat saya dan para kerabat jadi bahan cerita karena lingkungan tidak tahu nama istri saya bahkan ketika sudah empat tahun berada di tengah-tengah lingkungan itu.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

7 thoughts on “Istri saya…”

  1. Sejujurnya, saya paling cepat lupa nama orang, kalau misal-nya pun dikenalkan hari ini, sebulan lagi kemungkinan besar akan lupa. Jadi saya tidak terlalu masalah apakah nama dikenalkan atau tidak, tapi saya rasa sebagai bagian dari identitas dan pengenalan, nama sebaiknya memang diberitahukan.

  2. hehe saya dan mas arrie lebih senang mengenalkan nama masing-masing dari pada suami saya atau istri saya hehe

  3. hehehe…jadi ingat kebiasaan saya juga: suamiku pergi..
    KArena teman-teman kadang ada yang risih kalau saya sebut “MAs Budi pergi.”
    Tapi kalau lagi iseng, saya bilang “Pacarku yang ganteng pergi..!”, lalu mengabaikan pelototan lawan bicara…:)

  4. URUN REMBUG(MERTUA ANDI): – Brkl tgt kontetnya dan rasa/ lingkungan/budaya:1. nyebutkan nama istrimemangdiperlukan utk istri yg punya jabatan/profesi. spt dr.ASTI(ny.andi).Tapi ibunya(istri saya), budaya lingkungan lebih membenarkan nye butkan buPUTU saja, dilingkungan komunitas BALI MENJADI bU GELGEL. kalo istri saya menjabat baru nyebut namaaslinya. Semua anak saya baru tahu nama ibunya stlh kelas 3 sd.2. org spt BuMega malah tak nyebut nama suaminya.juga ny.Presiden.3. Semua dipantaskan oleh masy. adat dll. 4. MakanyaSejak begitu saya menikah diantara suami istri saya hanya panggil bu dan pak diantara kami. ssdh jadi kakek baru rasanya benar. Tolong dikji lbh mendalam, terutama dari segi rasa/budaya. SUKSMA

  5. mungkin kalau pertama kali bertemu harus disebutkan namanya dan setelah itu bisa menggunakan kata ganti suami, istri, adik dsb.

    Mungkin termasuk memanggil saudara dengan kakak, mas, mbak, dan juga dik, nang, nok, neng dsb. Kalaupun mau menyebut nama ya harus tetap menyertakan mas / mbak / dik dsb.

    Ini yang sudah mulai banyak hilang, banyak yang mulai memanggil menggunakan nama bahkan ke saudara yang lebih tua. kadang risih rasanya.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: