
Ibu saya, meskipun hanya tamat SD, cerdasnya membuat saya kagum. Ketika saya kecil, beliau sering bercerita tentang pentingnya satu huruf atau satu tanda baca dalam kalimat. Beliau memulai ceritanya dengan adegan di pengadilan. Suatu saat, seorang terdakwa divonis hukuman mati. Surat keputusan itu berbunyi “Hukum bunuh tidak boleh ampun“. Nasib terdakwa ini sudah dapat dipastikan, dalam beberapa saat dia akan ke alam baka. Meski demikian, hakim yang akan membacakan putusan ini ternyata menaruh belas kasihan kepada terdakwa. Muncul idenya untuk mengutak atik surat putusan itu. Melihat kalimat putusan itu tanpa tanda baca, diapun mengubahnya menjadi “Hukum bunuh tidak, boleh ampun.” Ada tanda koma yang disisipkannya di antara kata “tidak” dan “boleh” sehingga kalimat itupun akhirnya dipahami dengan makna berbeda. Si terdakwa tidak dihukum bunuh, melainkan diampuni. “Satu tanda baca berharga satu nyawa” demikian ibu saya menutup ceritanya.
Beberapa hari lalu, saya diskusi dengan seorang kawan, wartawan kantor berita Antara. Kami membicarakan perihal tulis menulis, terutama tentang ikhwal peneliti menulis di koran. Memang ada beberapa kawan saya yang tidak setuju dengan peneliti yang menulis di koran. Karma peneliti adalah menulis di jurnal berbobot, bukan di koran. Kawan saya yang wartawan ini rupanya memiliki pandangan lain. Dia berargumen setengah berkelakar “Kalau nulis di jurnal, yang baca sejawat, man. Kalau di koran, yang baca sejagat!” demikian katanya.
Saya tertarik dengan ucapan ini. Lagi-lagi ingatan saya melayang ke masa lalu, saat ibu saya bercerita tentang makna satu huruf. Saya menemukan hal yang sama pada kalimat kawan saya ini: sejawat dan sejagat. Satu huruf yang berbeda tetapi maknanya sedekian rupa berubah. Saya temukan, tidak saja perbedaan makna sejawat dengan sejagat tetapi dampak yang ditimbulkannya. Jika seorang berilmu memang hanya menulis untuk jurnal yang dibaca sejawat maka hanya kolega sejawat saja yang cerdas. Kalau informasi yang sama dilempar ke khalayak melalui media populer seperti koran, maka sejagat lah yang menikmatinya.
Saya, sejak semula, berkeyakinan bahwa seorang pencari ilmu harus juga mengabdikan waktunya untuk menyebarkan ilmu. Memang kenyataannya tidak semua pakar diberi talenta untuk menyampaikan gagasan rumitnya dengan bahasa yang sederhana dan populer. Inilah yang menjadi alasan mengapa para dosen dan peneliti mumpuni lebih sering hanya menulis untuk jurnal spesifik, bukan untuk koran atau majalah yang dibaca orang kebanyakan. Saya sendiri belajar banyak dan berproses lama sekali untuk bisa memulai mencoba menuangkan gagasan di dua media: jurnal dan koran. Tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Saat ditanya apakah ini memang bakat, saya memilih untuk menjawab “bakat berperan, tetapi usaha yang menentukan.”
Menulis opini untuk koran nasional sekaliber kompas, misalnya, tidaklah mudah. Yang lebih penting lagi, tidak ada jaminan bahwa begitu sekali diterima akan terus diterima. Kompas tidak semudah itu. Pada saya, yang terjadi adalah sekali diterima, sudah itu ditolak berkali-kali, lalu diterima lagi dan ditolak lagi berulang kali. Demikian seterusnya. Meski demikian, ada satu prinsip yang saya percaya yaitu “tidak menyerah.” Alasannya sederhana saja, saya tidak ingin gagasan saya hanya dinikmati oleh sejawat, tetapi sejagat. Satu huruf yang berbeda, tetapi ribuan atau jutaan nyawa tercerahkan. Semoga.
Menulis itu susah-susah gampang… 😀
Setuju sekali, Pak. Memang ilmuwan yang baik semestinya bisa menyalurkan ilmunya kepada masyarakat banyak, bukan sekedar kepada koleganya saja. Kan ilmu itu tujuan akhirnya adalah untuk diaplikasikan masyarakat, bukan untuk sekedar disimpan di perpustakaan kampus saja.
Pak Andi, saya jadi ingat kalimat Pak Hasyim Djalal saat sekilas saya menyapanya seusai sebuah rapat.
“Salam buat Andi ya…dia itu aset berharga untuk Indonesia” 🙂
Setuju dengan Mb Astri…Andi memang aset berharga.
Saya selalu intip blog Andi…untuk mencari inspirasi, untuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan saya atau kadang meniru-niru Andi..(mudah-mudahan yang ditiru tidak keberatan..).