Sekitar tiga tahun yang lalu, saya menulis sebuah renungan dengan judul “Tentang sebuah Dendam“. Tulisan ini berkisah tentang dendam saya kepada Kompas yang akhirnya terbalaskan. Setelah bertahun-tahun menunggu, untuk pertama kalinya ketika itu tulisan saya dimuat oleh kompas, dalam rubrik Ilmu Pengetahuan. Itu adalah tulisan pertama setelah sekian kali ditolak.
Diterima Kompas pada suatu ketika bukan berarti jalan lapang di waktu berikutnya. Banyak tulisan saya kemudian kembali ditolaknya dengan enteng. Yang sedikit mengganggu adalah bahwa tulisan dengan topik serupa justru mau diterbitkan oleh media lain yang kata orang bertaraf internasional: The Jakarta Post. Terus terang, fenomena ini membuat saya berpikir ulang tentang kualitas dan reputasi. Tidak mudah untuk mengkategorikan mana media yang lebih hebat dan mumpuni.
Tahun 2007 saya lewatkan tanpa satupun nama saya di Kompas. Tahun 2006 lumayan, ada dua kali, itupun di Kompas Yogyakarta dan Jateng. Justru ketika tulisan saya mulai bertebaran di berbagai media nasional dan internasional di tahun 2007, Kompas tidak menerima satupun tulisan saya. Padahal, saya termasuk rajin mengirimkan tulisan.
Pernah suatu kali ketika kasus batas maritim Indonesia-Singapura mencuat di awal 2007, saya mengirimkan tulisan ke Kompas. Selang beberapa hari saya ditelepon oleh seseorang yang mengaku dari Kompas dan menyarankan saya untuk mengedit tulisan, menyingkatnya menjadi 600 kata dan akan diterbitkan. Bagi saya, ini angin segar. Tak disangka, saya tidak menemukan tulisan itu di Kompas sampai detik ini. Entahlah, apa yang terjadi. Saya melupakannya, Kompas juga manusia 🙂 Atau saya sudah dibohongi orang yang mengaku dari Kompas itu? Entahlah, kini menjadi tidak penting.
Di posting saya tahun 2005 saya menulis “Terima kasih KOMPAS yang terlah mengajarkan cara mengelola dendam menjadi energi pencapaian”. Saya kira ini betul adanya. Saya tidak pernah berhenti mengirimkan tulisan ke kompas walaupun dibuatnya kecewa dengan penolakan bertubi-tubi. Saya juga sempatkan untuk mempelajari kelemahan tulisan saya yang ditolaknya.
Tahun ini, angin segar kembali dihembuskan Kompas untuk saya. Satu tulisan perdana di tahun 2008 baru saja dimuat di penghujung April. Perluasan Wilayah Australia adalah judul tulisan saya yang dimuat di Sorotan. Masih seperti tahun 2005 ketika tulisan saya dimuat pertama kali, perasaan senang pasti saya rasakan.
Satu hal yang akhirnya saya simpulkan adalah bahwa tulisan di Kompas haruslah merupakan hasil pemikiran yang cermat dan terutama harus dengan penelitian yang tidak sebentar. Tulisan saya yang terbit tahun 2005 adalah hasil dari membaca banyak sekali sumber karena ketika itu saya diminta mengajar di University of Wollongong, Australia. Bisa dibayangkan, saya yang ketika itu belum lulus S2 harus mengajar S2, di universitas luar negeri pula. Entah berapa buku dan situs internet yang harus saya lahap. Hasil pencarian yang tidak sebentar itulah yang akhirnya saya sarikan dalam sebuah artikel dan berhasil dimuat di Kompas.
Sementara itu, tulisan yang dimuat hari ini juga merupakan hasil penelitian panjang. Saya telah menekuni bidang ini sejak tahun 2006 dan juga telah melakukan penelitian untuk topik yang sama bahkan sampai Gedung PBB di New York. Saya telah membuat satu laporan ilmiah setara tesis (100 halaman) dalam bahasa Inggris yang harus saya pertahankan di Markas Besar PBB di Manhattan New York. Kesimpulannya, tulisan singkat saya di kompas adalah representasi dari usaha yang panjang dan melelahkan. Meski sekilas nampak sederhana dan singkat, di baliknya ada kekuatan besar yang bernama ketekunan.
Berani bermimpi, itulah salah satu kata kunci yang menjadikan banyak hal besar menjadi kenyataan. Satu hal lain yang penting adalah ketekunan untuk mencoba, akan membuat mimpi menjelma menjadi kenyaaan. Selamat bermimpi dan mencoba.
ya pak, KOMPAS memang memasang standar tinggi untuk opini yang masuk ke sana. Ya, karena sejauh ini KOMPAS adalah media yang men-Indonesia (biasa men-dunia..hehe), jadi harus bener2 qualified dan mencerahkan….selamat pak tulisannya masuk ke kompas lagi….
Pak Andi,
Pertanyaan yg selama ini saya ajukan ke diri sendiri ketika melihat tulisan Bapak di The Jakarta Post adalah :kenapa g ditulis di kompas ya?” terjawab sudah.
Keep spirit…….utk pak andi
Berani bermimpi dan tekun mencoba juga sedang saya jalani Pak. Mimpi tuk bisa berbuat lebih tuk diri sendiri…he….he..3x
Ayo Farid, kamu juga bisa 🙂
Thanks Enda.. begitulah.. yang kita kira mudah kadang susah, yang dipikir susah kadang lebih mudah… Misteri waktu. Kita tidak pernah tahu sebelum mencobanya sendiri. Kata LP sih “kita tidak boleh mendahului takdir” he he he
wah salut pak…
ndak ada matinya.. nulis terus…
gara-gara bapak sama farid.. saya jadi ketularan he3..
kunjungi blog saya dunk pak krisnaarimjaya.wordpress.com
isinya masih curhat-curhatan
makasih pak atas inspirasinya