Perkelahian yang sangat laki­-laki


Bandara Ngurah Rai, 1 Mei 2014.
Hari masih pagi, saya sudah memasuki ruang keberangkatan domestik. Tubuh agak lelah dan mata masih mengantuk karena perjalanan dari Desa Tegaljadi ke Bandara Ngurah Rai cukup jauh. Malang, tiba-tiba lampu bandara mati. Suasana gelap dan calon penumpang berteriak kompak. Saya diam, mengamati suasana yang mulai panas. Dalam gelap kami berdesakan, suasana makin riuh, emosi mudah meningkat.

Lama tidak ada perubahan, saya mencoba mengabarkan lewat Twitter. Saya ambil sebuah foto suasana penumpang yang berdesakan dalam gelap lalu mengunggahnya lewat Twitter. Saya melaporkan kejadian itu kapada PLN dan ditembuskan kepada akun Dahlan Iskan. Responnya tidak buruk, dalam beberapa menit twit saya dibalas oleh PLN meskipun bentuknya hanya pertanyaan dan konfirmasi. Akun twitter memang tidak bisa menyelesaikan persoalan itu seketika.

Suasana di Bandara Ngurah Rai 1 Mei ’14

Saya sabar menunggu, perubahan tak kunjung tiba. Orang-orang tambah gelisah. Ada yang berteriak emosi bahkan memaki. Tidak sulit untuk terprovokasi dalam suasana seperti itu. Suasana yang gelap, panas dan berdesakan membuat kegelisahan orang­-orang tidak bisa disembunyikan. Yang terpenting, itu bukan hari libur sehingga ada banyak orang yang harus masuk kantor atau beraktivias bisnis. Mati lampu itu membuat banyak orang terlambat. Tidak salah jika mereka marah dan kecewa. Sadar tidak banyak yang bisa dilakukan, saya hanya diam menunggu.

Dalam waktu yang lebih dari sejam, akhirnya lampu hidup kembali. Masalah lain muncul. Penumpang jadi beringas bergerak cepat karena mengejar waktu dan takut terlambat. Tentu saja itu menimbulkan kekacauan baru. Kapasitas X­-Ray yang terbatas tentu saja tidak bisa mengakomodir lonjakan jumlah penumpang yang tergesa­-gesa. Petugas berteriak-teriak mencoba menenangkan tapi penumpang tak kalah tinggi suaranya membela diri karena merasa telah menjadi korban. Ada yang berlari, ada yang berteriak, ada yang memaki. Tidak sedikit dari mereka yang berlari sambil meneriakkan makian. Petugas panik dan wajah mereka tegang. Bandara domestik yang baru saja beroperasi rupanya belum siap menghadapi keadaan genting karena semua pihak masih beradaptasi.

Meski kacau dan menegangkan, saya bisa lewat dari pemeriksaan X­-Ray dan mulai mengantri untuk check­-in. Saya lihat jam tangan, jelas sudah terlambat. Hanya satu keyakinan saya: kalau saya terlambat berarti semua orang terlambat. Jika demikian, kami tidak akan ditinggal pesawat. Jikapun ditinggal, tentu tiketnya tidak hangus karena ini bukan kesalahan kami. Saya berusaha tenang meskipun ada rasa kesal, marah dan kecewa amat berat.

Di saat usaha keras menahan diri dan bersabar, seorang gadis cantik melintas di depan saya menerobos antrian. Ketika saya tegur, dengan penuh keyakinan dia mengatakan dia bersama saudaranya yang di depan. Saya agak ragu dan membiarkannya. Dari kejauhan saya lihat dia mendesak-desak dan baru berkenalan dengan orang yang tidak jauh di depan saya. Taktiknya begitu kasar, sama sekali tidak berbakat menjadi penipu. Kecantikan itu lenyap, lantak binasa bersama serpihan debu hina yang terhambur dari sepatu calon penumpang yang marah, kesal dan naik darah. Saya diam saja, menahan amarah.

Saat mengantri, orang-orang mulai berteriak, berargumen, protes dan meradang. Teriakan tak jelas terdengar dari tempat­-tempat berbeda. saya memilih diam. Di sebelah kanan saya ada seorang lelaki yang mungkin dari kawasan timur Indonesia, nampak garang dan emosional. Tak bisa dipungkiri, dia pasti marah dan kecewa. Di sebelah kiri saya ada lelaki tak henti­-hentinya menggerutu. Di depan kanan ada seorang lelaki berbaju tentara, entahlah dia tentara atau bukan. Sementara itu, di berbagai sudut terdengar teriakan riuh rendah.

Di depan, nampak wajah­-wajah panik penjaga konter. Mereka berpeluh, gelisah dan pucat. Ada kemarahan di wajahnya yang bercampur sempurna dengan kekhawatiran. Hampir tidak ada penumpang yang tidak marah dan para penjaga itu harus menghadapi kenyataan yang pahit itu tanpa bisa menghindar. Yang cilaka, mereka melakukan proses check­-in secara manual. Komputer tidak berfungsi dan semua boarding pass ditulis manual dengan bolpen. Mereka harus melakukan hal­hal rumit yang tadinya dilakukan oleh komputer. Terbayang sulit dan rumitnya. Saya hanya bisa menyaksikan dari jauh dengan marah yang tertunda. Entahlah harus marah pada siapa tetapi marah itu hadir tanpa malu­-malu, tanpa diundang. Yang lebih parah lagi, amarah itu terkungkung tanpa bisa membebaskan diri. Ini yang menyiksa.

Di saat genting seperti itu, seorang lelaki berlari dengan wajah panik dari belakang. Dia menerobos antrian yang dipenuhi orang-orang gelisah itu dan tidak menghiraukan teriakan­-teriakan kecil orang-orang yang tidak rela antriannya diterobos. Lelaki itu panik dan secara konstan mengucapkan kalimat “Saya sudah terlambat, saya harus naik pesawat sekarang”. Entah apa yang terjadi, dia berhasil melewati banyak sekali orang, sampai dia ada di samping saya. Begitu dia akan melewati saya, saya bilang “Antri Pak” dengan nada tegas karena rasanya dia tidak akan mendengar ucapan yang disampaikan dengan nada biasa. “Saya sudah terlambat ini, pesawat saya hampir terbang” katanya dengan nada tinggi dan nuansa yang panik. Lelaki ini melupakan hal yang sangat sederhana: semua orang di sana terlambat dan semua orang kecewa. Semua orang harus terbang dan semua orang memiliki kepentingan. Saya tidak bisa menerima sikap arogan seperti itu.

“Hey, semua orang juga terlambat, Pak” kata saya dengan nada lebih tinggi. Orang­ orang mulai menengok, mungkin kaget karena dari tadi saya tidak ikut berteriak atau memaki seperti beberapa orang lain. “Pesawat saya sudah berangkat ini!” kata lelaki itu berteriak lantang dan menunjukkan jam tangannya. Saya yang jelas­-jelas sudah terlambat dua jam tidak bisa menerima itu. “Hei ANTRI! ANTRI NGGAK!!” kata saya menunjuk wajahnya dengan tangan kiri dan memandang matanya lekat. Teriakan saya mungkin terdengar oleh seluruh orang yang ada pada Jarak 50 meter di sekitar kawasan itu. Mendadak, setidaknya menurut saya, suasana sepi. Saya tidak berkedip menatap matanya. Lekat, tajam, tak gentar sedikitpun. Nyali lelaki bisa dilihat dari matanya. Keberanian yang paling beringas itu memancar dari pandangan mata, bukan dari kepalan tangan atau kekarnya lengan.

Lelaki itu diam dan nampak jelas wajahnya terperanjat, tidak menyangka saya akan melakukan itu. Dia berhenti dengan amarah yang dipendamnya. Tapi semua orang tahu, Tuhan tahu dan para Dewa pun tahu saya melakukan hal yang benar. Lelaki itu juga tahu, saya meneriakkan kebenaran. Meski kesal, dia menghentikan langkahnya. “Ya, ya” katanya seraya mendesak saya seakan ingin melakukan intimidasi fisik atau seakan ingin berucap “kamu mau apa”. Dia salah besar. Saya tidak bergeming, tidak memalingkan wajah saya dan menatapnya dengan energi yang lebih besar. Kelelakian seseorang tidak harus dibuktikan dengan kekuatan fisik tetapi jika waktu memanggil maka naluri paling dasar itu akan muncul dengan sendirinya. Saya kehilangan ketakutan dan rasio berganti naluri. Maka adrenalin mengemuka dan senyum sinispun keluar dari bibir saya sambil tetap menatapnya tajam. Entah apa yang dipikirkan orang-orang di sekitar saya. Yang jelas suasana sepi beberapa menit.

Lelaki itu mengambil keputusan tepat. Dia berhenti terpaksa, lalu melangkah ke belakang saya. Tiba-tiba saya merasakan ada usapan di punggung saya. Lelaki berwajah sangar dari kawasan timur Indonesia tadi ternyata mengusap usap punggung saya. “sabar Pak” katanya dengan nada menenangkan. Hilang kegarangannya, berganti kebijaksanaan yang dibaluri selaput tipis kekhwatiran. Sementara itu, saya lihat perempuan cantik yang tadi menerobos antrian saya, tak bergeming. Menunduk dan tak berani melihat ke belakang. Bapak tentara juga melihat saya dengan tatapan penuh arti. Sementara itu saya bisa merasakan ada aura kemarahan dan kekecewaan dari seorang lelaki yang kini berdiri tepat di belakang saya, tidak bisa berbuat apa apa. Dia menerima kenyataan pahit yang memalukan, tindak tanduknya telah didikte oleh seorang lelaki yang tidak lebih kekar, dan tidak lebih berotot darinya. Dia harus mengakui, kelelakian itu tak harus dibuktikan dengan desakan fisik. Bahwa nyali itu hadir dalam tatapan mata yang dikuatkan oleh keyakinan akan kebenaran.

Dia diam, saya diam. Orang orag di sekitar diam beberapa saat. Tidak ada dialog. Suasana kaku. Memang ini yang harus saya bayar tetapi saya telah melakukan apa yang saya percaya meski berisiko dan mungkin berbahaya. Ketegangan itu berjalan beberapa menit sampai pelan-pelan akhirnya suasana kembali mencair. Nampak orang-orang yang dari tadi geram menahan amarah, kini mulai terbiasa dan tersenyum sambil berkelakar. Saya mulai merasakan lelaki di belakang saya menjinak meskipun belum menyapa. Saya menurunkan tensi, mengikuti suasana yang mulai reda.

“Mas monggo, Mas” ada suara itu dari belakang, menyilakan saya untuk bergerak maju. Suara itu keluar dari mulut lelaki yang sama. Saya lega. Setidaknya dari nadanya dia tidak dendam. Saya tersenyum, meskipun harus diakui belum lepas. Ketika tiba di depan konter, saya mempersilakan lelaki ini mendahului saya. “Silakan Pak” kata saya dan dari wajahnya ada senyum yang agak tertahan. “Silakan, nggak apa apa” kata saya untuk meyakinkannya. “Matur nuwun Mas”, katanya sambil berlalu. Meskipun tadi saya marah, sikap ksatria lelaki itu, yang rela mengubur egonya untuk mengikuti ‘kebenaran’ yang saya teriakkan, adalah kelelakian yang sesungguhnya. Setidaknya dengan cara itu saya menghormatinya. Kami sama­-sama lelaki. Saya tahu, kami sama-sama punya ego yang harus dimanjakan. Kami tidak adu fisik tetapi saya menyebut ini perkelahian yang sangat laki­-laki.

Catatan: dialog yang terjadi mungkin tidak persis seperti yang dikutip di tulisan ini karena keterbatasan ingatan saya tetapi intinya sama. Tulisan ini tidak untuk mengajak para lelaki untuk menjadi orang yang pemarah apalagi gampang main kasar :D. Sebelum Anda membenci, apalagi menyukai tulisan ini, coba bayangkan apa yang akan ditulis oleh lelaki yg saya bentak itu, atau perempuan cantik yang nerobos antrian, atau lelaki dari timur atau tentara itu. Jika saja mereka punya blog dan menulis soal kejadian itu, mungkin saja kesannya sangat berbeda. Tulisan adalah perspektif yang bisa jadi sangat subyektif.

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

7 thoughts on “Perkelahian yang sangat laki­-laki”

  1. Dalam kondisi seperti itu memang sulit untuk menahan amarah tpi mas Andi mampu memberikan teladan untuk membudayakan budaya antri yg masih kurang dimiliki oleh masyarakat Indonesia…thank you so much mas Andi..
    Maaf hanya sebatas pendapat..

  2. Like it! Sepertinya memang harus dibegitukan ya?? Kalau yang sering saya alami di traffic light yang belok kirinya mengikuti lampu lalin, yang ada kan selalu banyak yang melanggar seolah-olah mereka tidak bisa membaca tulisan tersebut. Karena saya tidak punya kuasa menghukum mereka yang melanggar, yang saya lakukan adalah berhenti di paling depan agak ke kiri agar tidak ada kendaraan lain yang bisa lewat

  3. Saya ngelike karena saya pernah mengalami hal dan kondisi yang sama dengan bapak, hanya saja tempatnya berbeda dan yang saya gituin emang mundur tapi ga terimanya kelihatan karena badan saya yang kecil dan usia saya yg beberapa tahun lebih muda dari orang tersebut, hehe.

  4. terminal keberangkatan baru sepertinya belum nyaman ya.
    kemarin siang antrian masih panjang sekali untuk cek-in GA.

    sama seperti bandara jogja saat pagi hari, antrian cek-in mengular.

    Luthfi – Bantul

Bagaimana menurut Anda? What do you think?