Belajar Public Speaking ala Marty Natalegawa


Saya pernah menulis tips dan trik untuk menjadi pembicara publik atau public speaker, di blog ini. Saya memang bukan pembicara publik professional tetapi punya sedikit pengalaman dan tips yang saya berikan berdasarkan pengalaman itu. Selain dari pengalaman sendiri, saya juga menuliskan hasil pengamatan saya terhadap pembicara publik lain yang menurut saya menarik. Saya pernah menulis rangkaian tips, memberikan contoh presentasi dan juga pernah mengajak pembaca belajar dari pidato Agus Yudhoyono. Kali ini saya ingin mengajak pembaca sama-sama menikmati dan belajar public speaking dari seorang diplomat senior Indonesia: Dr. Marty Natalegawa. Ada beberapa hal dari dari Pak Marty yang masih terus saya pelajari sampai kini.

  1. Pemahaman yang mendalam adalah awal yang baik. Pak Marty selalu terlihat siap dengan materi yang dibicarakannya. Pak Marty tidak hanya berharap dari kelihaiannya bermain kata-kata tetapi mengutamakan penguasaan materi dengan baik. Hal yang harus diutamakan dalam public speaking adalah menguasai persoalan secara rinci dan mendalam. Dengan demikian, setiap kalimat menjadi penting dan sangat sedikit, jika ada, kalimat yang berfungsi sebagai bunga-bunga semata. Pidato semacam ini membutuhkan persiapan yang baik. Ini tidak cocok untuk pidato spontan.
  2. Pemilihan istilah yang tepat. Hal ini ditunjukkan oleh Pak Marty dengan penyampaian yang rinci dan menggunakan istilah-istilah yang tepat seperti yang biasanya digunakan dalam diskusi ilmiah atau forum resmi. Penggunaan istilah yang resmi dan presisi ini memungkinkan penyampaian pesan yang lebih efektif. Misalnya, penggunaan istilah ‘vicinity’ lebih presisi untuk menunjukkan lokasi yang dekat dalam hal jarak, dibandingkan istilah ‘close’ jika berbicara konfigurasi geografis bangsa-bangsa, misalnya. Istilah ‘prolific’ lebih tepat jika membicarakan karakter seorang penulis yang sangat rajin menulis dibangdingkan ‘productive’, misalnya. Meski demikian, hal ini berpotensi menjadikan pidato ‘kering’ dan tidak mudah dipahami jika pendengarnya adalah orang awam.
  3. Menuturkan cerita. Pak Marty, menurut saya, memang tidak terbiasa menggunakan cerita yang bersifat personal untuk melengkapi pidatonya. Hal ini bisa dipahami karena materi yang disampaikannya umumnya adalah tentang hubungan antarbangsa. Meski demikian sekali waktu beliau menggunakan teknik ini. Saat berbicara di Macquarie University, Pak Marty bercerita pengalaman pribadinya ketika membantu keluarga korban bom Bali, untuk kemudian dikaitkan dengan hubungan dekat kedua negara. Dengan cerita itu Pak Marty menyampaikan bahwa Indonesia dan Australia berhasil melewati satu ujian berat dan tetap menjadi sahabat meski banyak cobaan. Story telling memang efektif untuk menyampaikan gagasan besar. Hal ini menjadi favorit para pembicara publik yang berkarakter motivator seperti Barack Obama dan Anies Baswedan.
  4. Improvisasi di tengah pidato. Ketika berpidato dengan teks, Pak Marty kadang menyelipkan materi yang disampaikan dengan improvisasi tanpa membaca teks. Improvisasi ini adalah tambahan yang menguatkan materi yang sudah atau akan disampaikannya. Cerita selipan seperti ini biasanya memuat materi yang baru saja terjadi atau terjadi ketika forum berlangsung sehingga tidak ada dalam naskah pidato tetapi erat kaitannya dengan isi pidato. Hal ini juga baik untuk memberikan sentuhan personal dan keterikatan emosi dengan pendengar. Di saat seperti inilah umumnya pembicara publik bisa lebih leluasa berinteraksi karena jika hanya membaca maka suasananya akan terlalu formal dan kaku, minim interaksi personal.
  5. Menghargai lawan atau rekan bicara. Dalam sebuah forum, Pak Marty akan berusaha dengan baik memberi penghargaan kepada moderator atau pembicara sebelumnya saat dia mendapat giliran. Hal ini bisa ditunjukkan dengan menekankan beberapa materi yang sudah disampaikan pembicara lain dan menekankan persetujuan, bukan ketidaksetujuan, terhadap pendapat pembicara lainnya. Jikapun ada yang tidak disetujui, sebaiknya itu tidak diungkapkan, terutama jika forumnya bukanlah debat. Kepada moderator, penghargaan itu bisa berupa terima kasih yang tulus. Agar tidak generik, maka terima kasih itu bisa diberi sentuhan personal, misalnya menceritakan secara singkat interaksi personal yang pernah terjadi dengan moderator atau menyampaikan prestasi moderator dan mengajak penonton utuk memberi penghargaan, misalnya berupa tepuk tangan.
  6. Intermezzo. Bagi saya pribadi, Pak Marty bukan contoh terbaik untuk ini. Dino Patti Djalal, menurut saya, adalah diplomat Indonesia yang mampu berintermezzo dengan baik dalam pidatonya. Meski demikian, Pak Marty cukup sering melakukannya sebagai respon atas pertanyaan atau kesalahaan yang dilakukannya. Saat berbicara di Canberra, misalnya, beliau salah menyebut Canberra sebagai Jakarta dan itu dijadikan guyon segar tentang jet lag dan berjanji akan lebih fokus ketika berbicara hal-hal yang lebih esensial. Saat berbicara di Macquarie Univesity juga demikian, intermezzo beliau tentang cricket disampaikan untk menjawab pertanyaan atau tantangan dari Chancellor. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pak Marty ketika berbicara di ANU, Canberra saat menjawab pertanyaan soal Papua yang tidak disinggungnya saat berpidato. Pak Marty menjawab dengan mengatakan bahwa topik itu sengaja tidak disampaikan dalam pidato karena dia yakin akan ada pertanyaan bagus soal topik menarik itu. Tentu saja itu disampaikan dengan bahasa tubuh berkelakar. Bagi saya intermezzo ini penting tetapi dalam pembicaraan serius antarabangsa memang sebaiknya tidak banyak karena bisa menimbulkan insiden diplomatik.
  7. Diplomatis. Memang tidak semua orang suka dengan gaya bicara diplomatis dan itu tidak selalu bagus karena pendapat yang diplomatis bisa terkesan abu-abu dan tidak tegas. Dalam kapasitas Pak Marty sebagai diplomat dan terutama menteri luar negeri, sikap diplomatis ini sangat penting. Kemampuan semacam ini ini terkait jam terbang dan pembelajaran yang panjang. Diplomat pada umumnya akan belajar bagaimana mengatakan ‘tidak’ dan ‘ya’ dengan cara yang tidak biasa dilakukan orang kebanyakan. Ada satu lelucon, jika diplomat mengatakan ‘tidak’, itu artinya ‘mungkin’. Jika dia mengatakan ‘mungkin’ itu artinya ‘ya’. Jika dia mengatakan ‘ya’ maka dia bukan diplomat 🙂
  8. Berbicara terstruktur dan lancar. Saya pernah mendengar dari seorang diplomat muda, Pak Marty sering dijadikan contoh yang perlu ditiru jika menghadapi wawancara. Karena pengetahuannya yang luas maka jarang sekali, jikapun pernah, Pak Marty tergagap-gagap saat ditanya sesuatu. Beliau berbicara lancar dan terstruktur. Mendengar pembicaraannya seperti membaca buku yang alurnya mudah diikuti. Hal ini terjadi karena dua hal: pengetahuan yang dalam dan lengkap (tentunya karena banyak membaca dan mendapatkan laporan dari bawahan dalam kapasistas sebagai menteri) dan Bahasa Inggris yang sangat bagus. Yang kedua tentu tidak lepas dari kenyataan bahwa Pak Marty selalu bersekolah di negara berbahasa Inggris dari SMP hingga S3.
  9. Santun, tidak menggurui. Dalam pidatonya dengan Bahasa Inggris, Pak Marty berhasil mempertahankan kesan santun ala budaya timur dengan tetap percaya diri dalam menyampaikan pemikirannya. Jika mendengarnya berbicara, rasanya tidak ada kesan dia meninggikan diri atau meninggikan Bangsa Indonesia yang diwakilinya secara berlebihan. Hal ini ditunjukkan lebih banyak dengan bahasa tubuh, misalnya, senyum yang disertai aksi mencondongkan badan saat berterima kasih kepada moderator atau pengundang.
  10. Positif. Karena posisinya sebagai wakil Indonesia, Pak Marty selalu positif tentang Indonesia. Yang lebih menarik, beliau selalu positif terhadap negara lain. Ketika berbicara soal hubungan Indonesia dengan negara lain, Pak Marty selalu fokus pada hubungan baik untuk mencapai solusi dan tidak mengeksploitasi kesalahan atau keburukan salah satu pihak. Yang hampir selalu dikatakan Pak Marty adalah bahwa “Indonesia and xxx have continued to be part of the solution”.

Tulisan ini tentu saja bisa bertambah panjang tapi sepuluh poin itu sepertinya cukup untuk menggambarkan pelajaran penting yang bisa dituai dari Pak Marty dalam public speaking. Saya juga tahu ada pihak yang tidak suka dengan gaya bicara Pak Marty tetapi secara umum saya merasa perlu banyak belajar dari penampilannya dalam menjadi pembicara publik. Mudah-mudahan pembaca juga demikian. Selamat belajar menjadi pembicara publik yang baik.

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

16 thoughts on “Belajar Public Speaking ala Marty Natalegawa”

  1. Dengan membaca artikel ini,saya mendapatkan gambaran yg positif tentang publik speaking untuk dapat menjadikan dasar dalam berorasi dan suatu nilai tambah dalam khasanah retorika yg dengan rinci memberikan gambaran bagaimana cara menghafapi audiens.

  2. I think to be good public speaker is very important to know about everything,,especially about mentaly,about brave, about ability to using all word…

Bagaimana menurut Anda? What do you think?