[pelajaran kecil hari ini]
Saya adalah satu dari sekelompok pemuda dari desa tetangga. Datang jauh-jauh ke sini menunggang kuda setelah perjalanan satu hari satu malam. Kami datang diutus Kelihan Adat untuk belajar di padepokan yang paling tersohor di desa ini. Kami bangga karena konon kami adalah pemuda terbaik di desa kami yang terpilih untuk datang dan berguru ke sini. Ya, tentu saja terbaik karena untuk terpilih datang ke sini, kami harus melewati sayembara yang sangat ketat. Bukan saja karena pesertanya datang dari seluruh kampung seantero desa, juga karena ujian yang harus dilalui sangat berat. Memanah sebuah jeruk purut yang diletakkan tepat di atas kepala seorang anak kecil tanpa sedikitpun anak panah boleh menyentuh rambut si anak tentu bukan perkerjaan yang mudah. Bukan saja penghargaan untuk datang dan berguru ke sini yang tidak akan kami peroleh, bahkan kepala kami yang akan dipenggal jika panah kami salah sasaran mengenai kepala anak tersebut. Singkatnya, itu adalah sayembara yang sulit dan bergengsi. Tentu kami boleh bangga karena telah melewatinya dengan sangat baik.
Kabar tentang keberangkatan kami berguru ke sini tentu saja menjadi kabar yang menggemparkan seluruh desa. Banyak diantara kami adalah pemuda yang benar-benar berasal dari pelosok desa sehingga keberhasilan semacam ini mengundang pergunjingan hampir semua orang. Saya pribadi telah menyembelih tidak kurang dari 7 kambing untuk syukuran karena saking banyaknya yang harus diundang. Mulai dari kelompok Dharma Shanti, regu suka-duka, kelopok arisan kelapa hingga paguyuban penangkap jangkrik, semuanya minta acara sendiri untuk syukuran ini. Saya menyadari, tentu mereka tidak datang untuk mendoakan atau memberi pesan. Makan-makan gratis adalah sasaran yang sesungguhnya mereka inginkan. Tapi tidak apa-apa, toh saya sudah menjadi orang hebat yang sebentar lagi akan berguru ke padepokan yang tersohor di desa tetangga. Begitulah pikiran saya ketika itu. Ada hal besar yang selalu menjadi harapan saya. Sepulang nanti saya akan menjadi salah satu pemuda terpandang karena sempat berguru di padepokan desa yang terkenal itu. Ilmu kanuragan saya tentu saja akan semakin mumpuni, dan Pak Dukuh akan semakin yakin dengan kesaktian saya. Akibatnya, posisi kepala ronda malam yang sangat bergengsi akan mudah jatuh ke tangan saya. Betapa menyenangkannya. Bukan saja karena tanah bengkok yang akan saya peroleh sebagai imbalannya tapi perhatian gadis-gadis yang akan dengan mudah saya peroleh. Nyoman Sumi, si kembang desa hampir dipastikan akan jatuh dalam pelukan saya. Saya tidak tahan menunggu saat itu tiba.
Ketika kami berangkat, tidak sedikit yang mengangis terharu. Ayah dan ibu pun tersedu melepas putra mahkotanya pergi. Mereka melepas dengan harapan dan keyakinan. Suatu saat saya akan kembali dengan kebanggan. Itulah harapan mereka. Saya dan beberapa sahabat yang berangkat bersama dipenuhi perasaan girang, bangga bukan kepalang. Akhirnya mimpi besar ini tercapai dan saya rasa waktu berhenti sejenak, hidup nampaknya telah selesai dan saya menunaikannya dengan amat baik. Berguncang-guncang di punggung kuda selama satu hari satu malam akhirnya membawa kami ke tanah ini. Tanah yang menjadi mimpi banyak orang. Kebanggaan kami pun menjadi-jadi. Semua kini bukan sekedar cerita, saya benar-benar menghirup udara segar desa yang terkenal ini dan sebentar lagi akan berguru di sebuah padepokan yang tersohor. Itulah yang saya pikirkan ketika pertama kali menginjakkan kaki di sini. Singkatnya, saya datang dan menancapkan tugu kebanggaan dan mungkin bahkan kesombongan. Saya berjanji pada diri sendiri, saya akan menjadi yang terbaik di padepokan ini. Saya telah menghabiskan sebagian besar hidup saya untuk belajar kanuragan dan pastilah saya tidak akan mengalami kesulitan menyerap ilmu di padepokan yang baru. Pokoknya saya akan pulang dengan kebanggan dan tugu yang tetap tegar bahkan megah semakin kokoh.
Kini tiga purnama, setelah tugu itu saya tancapkan di desa ini. Rintik hujan dan angin yang menusuk tulang menemani saya memandang sayu tugu di luar jendela. Tiba-tiba saya seperti diingatkan, tugu itu kini tak setegar dulu. Selintas nampak sama tapi sesungguhnya perlahan namun pasti ketegarannya terkikis angin dingin dan terik matahari di siang hari. Matahari di sini, di luar dugaan saya, ternyata memang berbeda, lebih panas dibandingkan di desa saya. Dinginnya angin yang menusuk sumsum juga diluar perkiraan. Semua itu telah membuat tugu saya perlahan melemah. Dia yang semula ingin saya jaga sebisa mungkin, kini lebih sering saya lupakan. Kesibukan berlatih kanuragan yang kadang sangat melelahkan dan menyita waktu membuat saya telah lupa banyak hal. Berguru di sebuah padepokan yang tersohor ternyata memberi pengalaman yang sangat berat dan melelahkan. Dulu ketika saya menjadi pendekar kecil di desa sendiri, saya bahkan tidak sempat meragukan kesaktian saya karena tidak begitu banyak ajang tanding yang memaksa saya mengukur kemampuan. Kini, semuanya berubah. Setiap saat, kanuragan saya diuji dan dipaksa untuk menampilkan yang terbaik. Saya sadari ternyata saya belum apa-apa. Kanuragan ini masih begitu dangkalnya, sementara tugu kesombongan ini semakin melemah.
Rintik hujan berhenti, menyadarkan saya dari lamunan. Nampak samar bangunan tigu dibalik kabut kelabu telah roboh mengenaskan. Ya, saya sadari kini, tugu keangkuhan saya telah roboh binasa menyisakan puing. Ingin menjerit dalam hati dan menangis sejadinya tapi saya tahan. Sisa kesombongan di dalam diri masih ada, rupanya. Saya mengenang kembali keperkasaan saya ketika memenangkan sayembara ini dan terlintas dalam benak tangisan bangga Ayah dan Ibu yang perpesan penuh harap. Saya harus bertahan. Mungkin tidak untuk sebuah tugu yang lebih megah dan tinggi. Setidaknya saya akan melewati ini dengan menghasilkan sebuah tugu kecil yang tidak cepat lapuk oleh dinginnya angin dan ganasnya matahari di siang hari. Tuhan, ijinkan dan beri kekuatan kepada kami untuk membangun kembali tugu kami yang telah rusak binasa. (Sydney, 2 Mei 04)