Cerita Saya Sekolah S2 #2: Bahasa Inggrisku [ternyata] Berantakan


sambungan dari bagian 1

Sejak pertemuan perdana dengan kedua supervisor, hidup terasa berubah. Ada ketegangan dan kekhawatiran yang secara konsisten hadir. Meskipun saya menjalani hari-hari dengan penuh kelakar dan menikmati setiap penggal waktu, sebenarnya selalu ada kekhawatiran. Bisa bertahan nggak ya? Bisa lulus nggak ya? Pertanyaan itu muncul terus.

Karena mengambil S2 by research, saya hanya wajib mengambil tiga mata kuliah saja. Saya juga belum membuat proposal di awal masa kuliah. Saya masih sibuk belajar hal-hal dasar terkait tesis saya kelak. Maka dari itulah, daripada nganggur, saya habiskan ketiga pelajaran yang diwajibkan. Saya mengambil Global Navigation Satellite Systems (ilmu tentang navigasi dan penentuan posisi dengan satelit seperti GPS), Geographic Information System (GIS) dan the Law of the Sea (hukum laut). Dua kuliah yang pertama sudah cukup saya kenal, terutama GIS, sedangkan Hukum Laut ini benda asing. I had no idea whatsoever.

Sebenarnya, yang paling saya anggap enteng adalah GIS. Di Teknik Geodesi UGM, saya sudah pernah mengambil mata kuliah yang sama dan dapat A. Tentu gampang adaptasinya. Ini hanya formalitas saja, pikir saya. Ternyata meremehkan sesuatu adalah awal dari segala bencana. Kelas saya diajar oleh seorang professor dengan Bahasa Inggris logat Australia yang kental. Saya terkejut bukan kepalang karena sering kali benar-benar tidak paham apa yang dia katakan. Logat Australianya yang kental membuat saya seperti ‘orang hilang’ di kelas. Mata kuliah yang sudah saya kuasai pun jadi seperti benda asing yang penuh misteri.

Saya sedih. Nilai IELTS yang cukup tinggi ternyata tidak ada maknanya, pikir saya. Pasalnya, ketika persiapan Bahasa Inggris di Jakarta dulu, saya diajar oleh orang Amerika. Logatnya yang sangat Hollywood membuat saya tidak belajar sama sekali logat Australia. Maka sebagian besar ucapan dosen GIS saya di kelas masuk telinga kanan keluar telinga kiri tanpa mau nyangkut sedikitpun. Bayangkan, betapi saya membenci diri sendiri. Rasa bersalah dan kesadaran akan kebodohan sendiri membuat saya kehilangan kepercayaan diri.

Saya terjun bebas menuju titik terendah. Tidak ada lagi euphoria karena bisa tinggal di luar negeri. Tak tersisa lagi kesombongan hanya gara-gara bisa perpose di depan Sydney Opera House. Tidak minat lagi pamer keindahan kota, atau keistimewaan berpose dengan Kangguru atau Koala. Pada akhirnya, semua itu tidak penting dan tidak ada maknanya. Waktu seperti selalu mencibir bahwa saya ini ternyata bodoh sekali karena bahkan tidak mengerti bahan kuliah  yang sudah pernah saya selesaikan dengan nilai A saat S1 di UGM dulu. Apa kata dunia?

Di kala saya berada di titik terendah, saya mendapat kabar dari teman saya yang juga sedang S2 di kota lain di Australia. Kami satu kelas ketika persiapan di Jakarta. Saya ingat dia berkata “untung kita tidak sekolah dengan beaya sendiri ya De.” Saya tidak mengerti maksudnya dan dia melanjutkan penjelasannya. “Kalau seandainya kita DO, kita nggak rugi lah karena tidak bayar SPP sendiri.” Ternyata dia juga mengalami kegundahan yang sama. Dia juga terjun bebas ke titik nadir sehingga kehilangan rasa percaya diri. Kata-katanya begitu pesimis dan itu membuat saya makin resah.

Selalu ada godaan untuk menyerah. Untunglah, terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Saya penyandang beasiswa mewakili Indonesia. Keberangkatan saya ke Australia telah menghebohkan warga desa. Senyum dan pesan orang tua dan keluarga besar saya yang penuh harap menjadi energi untuk bertahan. Isteri saya telah ‘mengorbankan’ profesinya sebagai dokter dan rela ikut saya ke Australia. Meskipun kehidupan berjalan lambat dan berat, saya punya cukup banyak alasan untuk bertahan.

Saya mulai rajin menonton TV untuk bisa terbiasa dengan logat Australia. Saya persiapkan diri lebih baik dengan membaca lebih banyak bahan sebelum kelas GIS dimulai agar saya lebih siap. Saya berteman dengan mahasiswa Australia dengan berbagai cara. Kadang saya ikuti berita olahraga karena itu yang menyatukan Australia, kadang saya ikut mereka ke café setelah kuliah. Intinya belajar lebih serius, membaca lebih banyak dan menyimak lebih takzim.

bersambung ke bagian 3

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

8 thoughts on “Cerita Saya Sekolah S2 #2: Bahasa Inggrisku [ternyata] Berantakan”

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: